Sunday, August 16, 2009

Terkenang Sungai Lasolo

Terkenang masa nan lalu
Berdua di taman bunga
Bersumpah setia bergurau bersama
Tapi sayang sekejap sahaja

Lagu itu mengalun sayup-sayup di pagi buta. Baru saja ia selesai sholat subuh ketika ia menyalakan radio transistor satu-satunya di rumah itu. Sebuah rumah yang sederhana, lebih tepat disebut bilik. Diluar sana masih gelap gulita, namun langit di ufuk timur sudah sedikit memerah, seolah meregang menggeliat menyiapkan diri untuk datangnya matahari pagi.

Ia mengenakan kaus putih yang digantung di kamarnya. Kaus yang sudah lusuh dan bau, karena sudah berhari-hari tidak dicuci. Ia semula duduk, ingin mengistirahatkan tubuhnya. Walaupun hari masih pagi, tubuhnya terasa sangat, sangat lelah. Ia merenung, membayangkan apa yang telah dilakukannya. Begitu banyak kematian, begitu banyak perjuangan dan darah yang tertumpah. Tiba-tiba, wajah-wajah yang dulu dikenalnya, yang kini sudah sirna jiwanya tertebas kelewang atau tertembus peluru, berkelebatan di hadapannya. Sejak semalam. Itulah sebabnya, tidurnya kurang nyenyak tadi malam.

Di luar sana, nyaris tidak ada angin. Hujan sudah mengguyurnya selama berhari-hari, menambah sulit perjalanan yang dilaluinya. Tahukah Anda, bahwa alam pun bisa senyap? Di musim hujan, biasanya ada jeda dimana tidak ada hujan, namun sebelumnya hujan lebat, dan sesudahnya akan hujan lebih lebat lagi. Pada saat itu, biasanya disebut jeda hujan, alam seolah diam. Binatang pun senyap, angin tewas. Semuanya seolah takzim, dalam persembunyiannya masing-masing, tidak berani keluar sarang. Menunggu. Menunggu hantaman hujan yang akan datang. Menunggu gelontoran ribuan kubik air dari langit yang akan menghajar mereka tanpa henti. Bernafas, bukan lega, tapi siaga. Sayup-sayup, hanya aliran Sungai Lasolo yang terdengar deras di kejauhan.

Terkenang masa nan lalu
Berdua di taman bunga
Bersumpah setia berjanji bersama
Tapi sayang sekejap tak lama

Cemas terasa seluruh tubuhku
Terlihat tanda dijari manismu
Tanda ikatan tak boleh ganggu
Gugur segala cita-cita

Tinggal la tinggal kekasih
Semoga engkau berbahagia

Ia terkejut mendengar sayup-sayup lagu itu. Badannya basah kuyup, setelah menyebrangi sungai Lasolo yang sedang meluap karena banjir. Di pagi buta seperti ini, dinginnya seperti menusuk tulang. Ransel yang dibawanya terasa semakin berat, apalagi sesudah tercelup air.

Ia mengibaskan kepalanya sambil mengerjap. Ia harus memastikan, bahwa alunan musik ini bukan mimpi! Alunan tersebut hilang, namun kemudian muncul kembali. Benar! Ini bukan mimpi! Di depan sana, hanya nampak alang-alang setinggi dahi manusia dewasa. Ia bergerak perlahan, langkah demi langkah dititinya diatas kubangan becek di tepi Sungai Lasolo. Sebuah tanah asing, jauh dari tanah asalnya.

Ia harus melangkah dengan hati-hati. Alam saat itu seolah sunyi senyap, jeda hujan. Nyaris tidak ada angin, dan semua binatang juga nampaknya bersembunyi di sarang mereka masing-masing. Berarti, akan datang hujan yang lebih deras lagi dari kemarin. Sementara ia melangkah, seekor ular nampak berkelebat, melarikan diri karena tempat persembunyiannya terinjak. Ia bergidik, kemudian melangkah lagi menuju datangnya alunan musik dari depan sana.

Terkenang masa nan lalu
Berdua di taman bunga
Bersumpah setia berjanji bersama
Tapi sayang sekejap tak lama

Cemas terasa seluruh tubuhku
Terlihat tanda dijari manismu
Tanda ikatan tak boleh ganggu
Gugur segala cita-cita

Selamat tinggal kekasih
Semoga engkau berbahagia

Ah, lagu itu. Lagu itu tiba-tiba menggetarkan emosinya, mengingatkannya pada masa lalu. Ketika segalanya masih indah. Ia terkenang masa kecilnya, ketika bermain di sebuah pelataran di kampungnya. Ayahnya yang keras, biasanya memanggilnya pulang untuk sholat maghrib. Iapun berlari menuju rumahnya. Dari jauh, nampak pintu rumah itu, seolah berpendar di tengah cahaya matahari yang mulai melemah. Darimanapun ia datang, petualangan apapun yang dialaminya seharian itu, semuanya berakhir di pintu itu, pintu kebahagiaan. Pintu tempat ia kemudian mengambil wudhu, lalu menceritakan petualangannya pada saudara dan orang tuanya. Seperti sarang yang hangat, dan siap menyambutnya setiap saat.

Dalam hatinya, mendadak ada rasa iri. Iri pada ular, yang kini berdiam aman di sarangnya. Iri pada burung-burung, yang kini sedang meringkuk dalam kehangatan sarangnya diatas pohon, satu keluarga beserta anak-anaknya. Iri pada tikus tanah, yang kini sedang berkerumun menghangatkan diri di dalam lubang sarangnya. Sementara ia, ia sendiri, tanpa sarang, apalagi rumah. Keluarganya tercerai-berai, hanya melalui surat ia bisa mengontak mereka. Itupun tak jelas kapan sampainya, atau apakah sampai, atau apakah ia masih bisa menerima balasannya. Atau, malah tidak dibalas sama sekali.

Mendadak ia merasa sesak. Sebuah batu berat seperti menimpa dadanya pagi itu. Ia berdiri, melangkah menuju pintu. Dalam hatinya, ia merenung dengan dalam. Kisah hidupnya seolah terpapar di dalam benaknya. Perjuangan demi perjuangan, perang demi perang. Kemenangan demi kemenangan, namun diakhiri dengan sebuah kekecewaan yang mendalam. Ia tersenyum sendiri. Ia pernah bersumpah, tidak akan kalah oleh senjata. Dan benar - dengan senjata, ia selalu menang. Justru dengan perkataan ia kalah. Justru dengan rantai komando, cita-citanya hancur. Lalu, untuk apa semuanya ini? Apakah semuanya sia-sia? Bagaimana dengan ribuan orang yang mati - apakah kematian mereka juga sia-sia?

Ia bergidik. Ia melangkah keluar, sekedar untuk menghirup udara segar. Alunan musik yang masih mengalun, membawa hatinya pergi melanglang buana ke suatu tempat yang jauh. Suatu tempat dimana ia masih punya sarang. Suatu tempat dimana ia diterima, ia dirawat, dan ia dihangatkan. Tiba-tiba dalam hatinya terbayang pintu itu. Pintu kecil itu, pintu rumah masa kecilnya dulu.

Tiba-tiba ia tersentak. Ia melihat seseorang mengendap di kejauhan. Gawat! Naluri tentaranya mendadak bangkit, seperti seekor harimau yang baru sadar, bahwa beberapa pemburu telah melacaknya. Ia segera berbalik, dan berlari ke arah tepian rumah. Dengan refleks, ia mengeluarkan granat tangan yang selalu disimpannya di dalam saku celananya. Granat tangan, yang disiapkannya untuk menghadapi keadaan darurat. Seperti ini.

Dor! Dor dor dor dor! Dor dor dor dor!

Serentetan tembakan terdengar di udara, disertai derap langkah tiga orang - dari arah berbeda - yang berlari ke arahnya. Lalu, semua gelap.

Terkenang masa nan lalu
Berdua di taman bunga
Bersumpah setia berjanji bersama
Tapi sayang sekejap tak lama

Ia memeriksa mayat itu dengan hati-hati. Sebuah granat tangan nampak dalam genggamannya yang kini sudah lepas. Baju putihnya bersimbah darah.

„Benar, ini orangnya?“ tanyanya.
„Benar! Kita berhasil. Ayo kita kontak Mako di Pakue!“ kata rekannya.

Alunan musik itu pun berhenti, seolah mengikuti gerak alam yang nampaknya semakin sunyi. Rintik-rintik hujan mulai terasa membasahi padang rumput di tempat mereka berdiri. Sebentar lagi, pasti akan turun hujan lebat.

Kunshan, 8 Agustus 2009

Catatan: Seperti dikisahkan Hendro Subroto, Kahar Muzakkar tewas ditembak oleh tim yang dipimpin Kopral Umar, setelah membuntuti Kahar selama berminggu-minggu. Kopral Umar memastikan bahwa yang disergap adalah Kahar Muzakkar, karena mendengar lagi ‘Terkenang Masa Nan Lalu’ dari radio transistor dalam rumahnya. Hanya Kahar Muzakkar yang boleh punya radio transistor di wilayah itu. Di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, Kahar Muzakkar tewas, mengakhiri pemberontakannya.

Tuesday, August 4, 2009

Ulasan Buku “Saya Terbakar Amarah Sendirian”

Wawancara Andre Vltchek dan Rossie Indira dengan Prmaoedya Ananta Toer

« Setelah dihujani dengan budaya yang seperti ini selama berpuluh tahun, negeri ini hanya tahu dan kenal satu saja : hiburan, terutama perjuangan ke arah tempat tidur dan peternakan diri….
Jadi dua pilar yang dibangun pasca tahun 1965 adalah hiburan dan penindasan »
Bab V, Budaya dan Jawanisme, halaman 65.

« Jangan banyak bicara, harus langsung bertindak ! Obatnya hanya revolusi, tidak ada yang lain. »
Bab XI, Revolusi: Masa Depan Indonesia?, halaman 121.

Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, yang sering disebut di buku ini sebagai penulis terbesar di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, membuat hati saya seperti teriris sembilu. Bukan karena kesedihannya, penderitaannya, maupun perjuangannya, tetapi karena pandangannya terhadap Indonesia sekarang ini. Pandangan yang begitu miris, tetapi benar.

Pram menghabiskan sebagian besar hidupnya di penjara. Beliau ditangkap tanggal 13 Oktober 1965, dan baru bisa bebas tahun 1992, itupun setelah menolak wajib lapor. Ketika ia masuk penjara, Indonesia sudah ditepi jurang untuk jatuh ke dalam lembah kekelaman Orde Baru, namun sisa-sisa idealisme perjuangan, nilai-nilai Indonesia merdeka, serta program ‘Nation and Character Building’ dari Soekarno masih ada. Sesudah itu, bersamaan dengan hari-hari kelam Pram di penjara, Indonesia mengalami pula metamorfosis kelam yang terbalik - dari kupu-kupu menjadi ulat.

Di penjara, Pram disiksa. Bukan secara fisik, dengan kekerasan, atau dengan metode penyiksaan a la Guantanamo. Pram lebih kuat dari itu - dan penguasa waktu itu juga sadar, bahwa Pram harus dipatahkan dengan cara yang lebih keji lagi. Pram adalah penulis yang cinta menulis dan hidup untuk menulis. Pram melawan dengan menulis, jiwanya adalah seorang penulis. Apa yang bisa mematikan hidupnya ? Ambil pena dan kertas darinya, maka Pram pun akan mati pelan-pelan ! Begitu kira-kira. Jadi, hukuman Pram nampak sederhana saja : dilarang menggunakan pena atau pensil sekalipun, dan tidak boleh memegang atau melihat kertas selembarpun. Di jaman sekarang ini, dimana rakyat membayangkan ‘penyiksaan’ adalah tamparan di muka seorang putri yang terpaksa menjadi pembantu dalam sinetron kita, hukuman ini nampak tidak masuk akal.

Bagi seorang penulis sungguhan seperti Pram, hukuman ini lebih berat dari hukuman mati, seperti menghukum hidup seorang terdakwa pembom bunuh diri. Iapun nyaris runtuh, namun tetap melawan. Di dalam penjara, ia justru menuliskan salah satu karya terbaiknya, yakni terkenal dengan ‘Tetralogi Buru’. Bagaimana caranya ? Pram mendiktekan cerita karangannya pada rekan sepenjaranya, yang kemudian menuliskannya. Dengan konsisten, Pram menjalin cerita, mengatur plot demi plot, menarik benang merah, dan mempertahankan sifat karakter cerita, hanya berdasarkan pikirannya saja, tanpa bisa mengoreksi, atau meninjau kembali apa yang sudah ditulis. Dan, Pram menulis tentang Indonesia : padahal, ia kini menderita, karena Indonesia. Luar biasa ! Sebuah bukti keteguhan hati, kebulatan tekad, dan perjuangan gigih yang tiada taranya.

Pram pun akhirnya keluar dari penjara, dan Indonesia mengalami satu lagi masa baru, yang dikenal dengan masa reformasi. Ketika Pram menghirup udara bebas di Indonesia, apa yang ditemukannya ? Negara ini dalam keadaan busuk ! Katanya tegas. Tidak seperti kebanyakan orang yang latah melafalkan ‘Indonesia sedang terpuruk’ atau ‘bangsa ini dalam proses pembusukan’, Pram bisa mendefinisikan dengan tepat : mengapa Indonesia busuk dan apa obatnya. Saya selalu tidak suka dan akan menentang habis jika mendengar seorang latah melagukan terpuruknya Indonesia seletah krisis moneter (yang sudah 10 tahun berlalu!). Tapi, terhadap Pram, saya kehabisan kata-kata.

Mengapa Indonesia terpuruk ? Yang pertama, karena Indonesia sebenarnya adalah sebuah bangsa yang baru, yang tidak memiliki budaya, karakter, dan prinsip kebangsaan sendiri. Satu-satunya daya pengikat Indonesia adalah sama-sama pernah dijajah Belanda - sebuah ironi dalam kehidupan kebangsaan kita. Bagaimana dengan budaya Indonesia yang kaya dari Sabang sampai Merauke, dengan batik, songket, dan tenun, dengan tari piring dan tari pendet ? « Apa yang kita kenal sebagai budaya Indonesia adalah budaya lokal dan daerah saja ! » kata Pram (hal. 47). Budaya Indonesia yang sebenarnya justru belum lahir dan harus dicari ! Itulah sebabnya Soekarno, pendiri negara Indonesia, sangat mengedepankan ‘nation and character building’ dalam pidato-pidatonya. Beliau sadar, bahwa beragam budaya daerah ini harus diejawantahkan menjadi sebuah budaya Indonesia yang merasuk kedalam jiwa setiap insan bangsa dalam bentuk etos kerja, semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan persatuan. Nah! Kalau selama ini kita selalu berpijak pada pengertian yang salah tentang ‘budaya Indonesia yang kaya’, bagaimana kini kita tidak terpuruk?

Yang kedua, adalah sebuah konsep yang sangat menarik yang ditunjuk secara keji oleh Pram: prinsip Orde Baru. Indonesia memang sial: belum selesai proses ‘nation and character building’ dari Soekarno, kita kebagian Orde Baru, yang dengan cakap mengerdilkan nilai-nilai bangsa menjadi dua: penindasan dan hiburan. Jadi, kebebasan pers, kemerdekaan pribadi, prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, diganti dengan penindasan. Budaya yang menjunjung tinggi kebebasan individu, seni yang bebas menyuarakan paraunya kehidupan di luar sana, dibungkam dan didegradasi menjadi tontonan hiburan - yang arahnya ditebak dengan jitu oleh Pram - hanya ke arah tempat tidur dan peternakan diri (‘beternak diri’ yang dimaksud adalah berbuat yang aman saja, yang nyaman saja, seperti hewan ternak). Dan ini terjadi terus-menerus sampai-sampai lahir sebuah generasi baru yang hanya mengerti penindasan dan hiburan - generasi muda masa kini, termasuk saya.

Apa ciri-cirinya? Lihatlah televisi kita: penuh dengan sinetron-sinetron yang menjijikkan, munafik, dan memuakkan. Plot yang murahan, karakter yang cetek, konflik yang dangkal. Betapa satu persatu pertunjukkan memuakkan ini menyesakkan televisi kita di sore hari, membius kehidupan puluhan juta warga Indonesia dengan ide-ide palsu. Tapi, coba lihat rating pemirsa dari sinetron ini! Betapapun dihujat dan disetujui kebusukannya, namun tetap saja sinetron ini yang paling banyak ditonton. Mengapa? Bukan salah televisinya atau pemerintahnya - salahkanlah generasi muda hasil peternakan diri, yang tidak tertari dengan berita, dengan ilmu pengetahuan, namun maunya dibius oleh segala sesuatu yang centang perenang - tokoh yang jahat jahat sekali, yang baik luar biasa baik. Tokoh picisan, yang tidak mengajarkan tentang kehidupan! Saya tidak mengerti, mengapa begitu banyak orang terbius dengan acara-acara seperti ini dan tidak menghiraukan berita atau siaran yang lebih bermutu. Ternyata, inilah hasil dari generasi yang mengerti budaya sebagai hiburan!

Lalu apa hasil penindasan? Pram punya cerita ketika ia pertama kali ‘diamankan’ oleh aparat. Yang pertama dialaminya adalah sekelompok orang, yang menutupi mukanya dengan sarung, melempari rumahnya dengan batu. Begitu kerasnya, sampai-sampai kaca jendela dan pintu depan rumahnya ambruk. Tapi, setiap kali Pram keluar, kelompok ini pun lari menghilang. Begitu Pram masuk lagi, mereka datang kembali, dan seterusnya. Pram pun mempertanyakan: mengapa mereka lari? Apakah mereka - yang berjumlah banyak dan membawa batu - takut kepada seorang Pram yang kurus kering dan terbatuk-batuk karena terlalu banyak merokok?

Inilah produk penindasan: kepengecutan! Jaman dulu, sudah lazim seorang anak laki-laki berkelahi di sekolah. Caranya adalah satu lawan satu, dan sesudah keluar pemenangnya, mereka pun saling bersalaman. Sekarang? Tawuran! Puluhan lawan puluhan, kalau perlu belasan mengeroyok satu orang. Tidak ada SATU orang yang berani maju - orang Indonesia hanya berani kalau beramai-ramai! Jumlah seolah menjadi pembenaran tindakan, padahal hanya menyembunyikan kepengecutan. Inilah sebabnya Indonesia kekurangan pemimpin, selalu terhuyung-huyung sendirian, dan sampai sekarang tidak memiliki seorang Soekarno baru. Karena, sudah menjadi budaya bahwa beraninya Indonesia selalu beramai-ramai! Keroyokan! Dan tidak ada satupun orang yang mau mati konyol menjadi pahlawan! Persis sinetron, bukan?

Satu-satunya aset budaya yang dimiliki Indonesia, yakni bahasa Indonesia - kinipun sedang mengalami degradasi yang luar biasa. Kalangan elit bangsa ini justru merasa lebih pintar, lebih keren, lebih intelek, ketika menyelipkan kata-kata berbahasa Inggris ke dalam pembicaraannya. Bahkan untuk sebuah institusi pendidikan, yang begitu penting menentukan arah bangsa kita di masa depan melalui mencetakan generasi baru, tidak memiliki (atau menggunakan) istilah bahasa Indonesia: lihatlah ‘International School’ atau ‘Global Standard School’ yang kini menjamur seperti cendawan selepas hujan. Kalau bahasa menunjukkan bangsa, bagaimana bangsa ini akan maju kalau bahasanya sendiri tidak keren, tidak canggih, dan kurang intelek? Mengapa kita terlena dan terbujuk dalam arus deras yang bercap-cip-cup dalam bahasa Inggris, yang kadang-kadang secara Inggris sendiri tidak benar?

Lalu apa obatnya? Satu kata - REVOLUSI - dijawab dengan gamblang oleh Pram. Bukan reformasi, bukan rekonsiliasi, bukan regenerasi, tapi REVOLUSI. Apa itu revolusi? Bukan cuma gerakan, tetapi sebuah gebrakan! Gebrakan yang mendobrak sendi-sendi rapuh, mencerabut akar-akar busuk, dan menghancurkan fondasi busuk. Revolusi adalah Che Guevara yang bergerilya puluhan tahun di hutan-hutan. Revolusi adalah Mao yang membakar seluruh jejak Cina kuno dalam Revolusi Kebudayaan. Revolusi adalah mengobrak-abrik sistem penjajahan Belanda dan Raja-raja lokal dan menggantinya dengan kemerdekaan. Revolusi itu makan korban, butuh pengorbanan, dan rela berkorban. Siapa yang memimpin ini? Generasi muda tentu saja. Satu-dua orang, yang tidak terpengaruh oleh pembodohan dan pendegilan selama bertahun-tahun. Generasi muda yang tegar dan siap menghadapi trik-trik kotor penguasa yang ingin bertahan. Generasi muda, yang rela berkorban, berjuang demi Indonesia! Generasi muda, seperti Anda dan saya.

Revolusi!

Jakarta, 29 Oktober 2008

Indonesia, Tanah Air Beta!

Ketika diberi tahu mengenai kemungkinan keharusan untuk pindah keluar negri, saya terhenyak. Akhirnya, yang diduga-duga, datang juga. Yang selama ini didiamkan saja, dianggap bisa, kini mencuat dan muncul mengancam: bahwa kepindahan keluar negri, negri yang sedang berkembang pesat, negri yang konon bersih, rapi, dan sangai piawai berbisnis. Lalu apa masalahnya? Mengapa saya kok malah ragu-ragu?

Kadang-kadang saya tidak mengerti, mengapa saya begitu cinta pada negri ini. Setiap kali keluar negri, saya selalu berhasil menemukan hal-hal yang saya rindukan dari Tanah Air, hal yang kadang-kadang tidak diduga sama sekali. Contohnya, ketika tinggal di Eropa selama setahun, saya malah stress. Mengapa? Karena, di Eropa, semuanya begitu rapi, teratur, dan tertib. Lho, bagus bukan? Betul, dalam bulan pertama. Tapi, setelah berjalan dua-tiga bulan, saya stress juga: rumah bentuknya sama semua, jalanan bentuknya sama semua, bangunan bentuknya sama semua. Tidak ada ukir-ukiran pintu a la Jepara, atau bangunan berwarna hijau mencolok seperti yang berdiri di sebelah kanan jalan Tol Jagorawi sekitar Sentul, atau rumah-rumah panggung yang tinggi seperti di Bangka. Yang ada hanya rumah kotak-kotak, dengan jendela kotak berteras bunga - itu saja. Warnanya muda semua, dari kuning sampai merah. Tiba-tiba, keteraturan ini, membuat saya bosan bukan main! Saya pun lari ke hutan. Di hutan, pasti banyak tanaman, banyak binatang yang bermacam-macam. Di hutan, pasti ada keragaman! Tapi, setelah mendaki puncak gunung, saya kecewa. Hutannya pun isinya cuma pohon pinus, pinus, dan pinus! Jenisnya pun sama. Tidak ada pakis, tidak ada ilalang, bahkan semanggi pun tidak ada. Waduh, kok begini ya?

Tanpa terasa, menjadi orang Indonesia adalah menjadi biasa akan keragaman. Biasa melihat beragam rumah dengan desain berbeda: ada yang gaya Sunda, Jawa, Bugis, atau Batak. Trotoar pun berlainan: ada yang tegelnya coklat muda, ada yang berpetak-petak abu-abu, ada juga yang dari batu bulat. Lihat, tegel yang masih bagus dibongkar, sementara jalan yang belum ada trotoarnya dibiarlah berlumpur! Kalau ditanya, jawabannya: kan ada lagunya? Itulah Indonesia.... (mengikuti lagu Indonesia Tanah Airku). Herannya, adalah keberagaman ini, kekacauan ini, keamburadulan ini, yang justru saya kangeni ketika beraad di luar negri?

Teman saya ada yang berkata, bahwa saya adalah satu-satunya orang yang betah di Indonesia, padahal sering keluar negri. Yang lainnya, kata teman saya itu, selalu mengomel ketika pulang ke Indonesia, melihat betapa kacau dan ngerinya negara ini. Sayalah satu-satunya yang selalu merasa bersyukur ketika pesawat saya mendarat di Jakarta, ketika saya menapaki tegel batu bata merah yang sudah kusam, dengan langit-langit yang sudah menghitam karena usia. Sayalah yang selalu bernapas lega, ketika mencium aroma tembakau kretek di udara, ketika menghirup hawa penuh polusi di teras bandara. Tawaran taksi dari orang-orang berpakaian serampangan dan bertampang seram, buat saya seolah-olah bagai nyanyian merdu penyambutan warga yang baru pulang. Otot-otot saya terasa santai, kulit saya seolah bernapas lega, disergap hawa lembab nan hangat dari sore yang panas di Jakarta.

Ketika saya di Eropa, saya pernah ditanya oleh rekan saya. Mereka sangat terkesan dengan sikap saya yang mau membaur, yang mau ikut di setiap kegiatan mereka. Mereka mengeluh, ada kaum imigran yang bertahun-tahun tinggal di tanah mereka, tapi bahasa mereka pun tidak pernah disentuhnya, katanya. Mereka terkesan, bahwa saya bisa beradaptasi dengan mereka. Mereka lalu mengamati, bahwa walaupun mereka tahu bahwa negara asal saya banyak diberitakan sebagai negara brengsek pendukung terorisme, penuh dengan bencana alam dan gempa bumi, tetapi saya selalu nampak gembira ketika pulang, dengan tas penuh oleh-oleh. Bahkan warga negara yang lebih makmur saya terlihat sedih ketika pulang dari Eropa, kata mereka. Lalu mengapa saya kok tidak betah di negeri mereka yang aman tentram? Saya kemudian juga berpikir, iya, mengapa begitu ya? Mengapa saya begitu mencintai negeri asal saya, padahal negeri ini punya sejarah diskriminasi terhadap kaum saya?

Kemudian saya memperoleh jawabannya. Saya bilang, bahwa kalau saya pindah ke Eropa, maka saya akan frustrasi. Mengapa? Karena: mau apa saya di Eropa? Semuanya sudah ada, sudah maju, sudah bagus. Ekonomi kuat, teknologi maju, peraturan jalan, tata tertib lancar. Lalu, saya mau apa? Apa yang bisa saya sumbangkan untuk Eropa? Tidak ada. Saya akan duduk diam, menikmati sistem sosial yang nyaman, sampai tua dan mati karena bosan. Sementara di negeri saya? Banyak yang masih semrawut, banyak yang masih bisa dibenahi! Bahkan kalau saya sibuk bekerja untuk membangun negara saya pun, seumur hidup saya nampaknya tidak akan cukup. Saya akan mati sebagai seorang pekerja yang sibuk, yang sudah berbuat banyak, yang hanya bisa mewariskan pekerjaan pada generasi yang akan datang. Saya akan berguna, dan itulah mengapa saya kerasan! Saya juga akan membuat dunia semakin adil, karena bukankah tidak adil, bahwa di dunia global ini, yang kaya semakin kaya? Negara kaya bisa mengundang semua orang pintar di dunia untuk menjadi warganya, sehingga negaranya dari kaya menjadi semakin kaya? Sementara negara yang miskin, akan semakin miskin? Nah, biarlah saya menjadi penyeimbang. Biarkah saya tinggal di negara saya yang miskin ini, karena saya dikaruniai akal budi yang cerdas oleh Tuhan. Biarlah saya pertanggung jawabkan ilmu yang saya pelajari untuk Tanah Air saya.

Karena tawaran tadi, akhir-akhir ini saya banyak merenung. Apa sih yang membuat saya bahagia? Dimana saya merasa bahagia? Apakah di Eropa, negeri serba makmur dan teratur? Apakah di Asia Timur, yang penuh kesempatan dan sedang giat membangun? Apakah ketika saya berjalan-jalan di Magnificent Mile di Chicago, ataukah ketika saya sedang memandang ke arah Sungai Yanpu di atas menara TV Shanghai? Ataukah ketika saya sedang berdiri di tengah padang pasir di Tamil Nadu, India? Atau ketika saya sedang memandang warna ganggang kemerahan di tepi laut dalam perjalanan dari Incheon ke Seoul? Kalau bukan itu semua, lalu kapan terakhir kali saya merasa tenang, bebas, gembira?

Terakhir kali? Hmm, pastinya ketika saya berdiri di sebuah buritan kapal nelayan. Akhir kencang menerpa kulit saya yang bernapas lega ditengah lembabnya hawa lautan. Matahari nampak mulai condong ke Barat. Entah hukum Fisika apa yang mengharuskannya, tiba-tiba langit menyala ungu kekuningan, ketika sinar matahari mulai terhalang oleh gunung yang nampak mencuat begitu saja dari permukaan laut. Sayapun mengambil kamera saya dan berusaha megambil fotonya - namun sia-sia, karena aturan fokus dan diafragma paling canggih sekalipun tidak akan bisa menangkap aura alam ini. Sayapun meletakkan kamera, duduk di buritan paling ujung, dan menikmati pemandangan yang luar biasa ini, sambil terangguk-angguk diguncang gelombang kecil. Cipratan air laut membasahi kulit saya, seolah sebagai penyegar setelah siang yang panas. Lagu ’Welcome To My Paradise’ terdengar di latar belakang. Disanalah, saya merasa gembira. Di selat antara Manado dengan Gunung Manado Tua. Di sebuah kapal yang membawa saya dari Labuhan Bajo ke Pulau Komodo. Diatas perahu nelayan yang mengarungi Pulau Menjangan di Kepulauan Karimunjawa. Diatas kapal, diantara pulau-pulau. Di Indonesia, tanah air beta!

Jakarta - Shanghai, 23 November 2008
Harry Nazarudin

Esensi sebuah Negara

Baru-baru ini, ada komentar yang membuat saya terhenyak. Asalnya dari salah satu teman saya yang pernah berkecimpung di dunia politik. Ia kebetulan adalah pengritik tajam pemerintah. Ketika diskusi kami menjadi hangat, dia mengatakan satu hal:

„Kalau begitu, ngapain kita mempertahankan NKRI, kalau ternyata NKRI tidak bisa mensejahterakan penduduknya? Negara kan sebuah kontrak sosial, dengan tujuan supaya warganya sejahtera. Kalau tujuan itu tidak tercapai, ya bubarkan saja! Jual saja Sumatera pada Singapura, atau Kalimantan pada Malaysia! Atau, kita lebih baik dijajah lagi saja, asalkan lebih makmur!” katanya dengan keras.

Saya saking terhenyaknya sampai kehabisan kata-kata. Di satu sisi saya tidak mau membantah terlalu keras dan menyebabkan yang bersangkutan tersinggung, tapi di sisi lain saya ingin meledak karena tidak setuju. Namun, bicara dengan seorang politikus begini, saya harus mencari argumen yang tepat. Waktu itu, saya tidak sempat menjawab karena belum menemukan argumen saya. Setelah beberapa hari, barulah saya memahaminya, dan menuliskannya di artikel ini, sekadar sebagai pernyataan pendapat.

Apakah tujuan suatu negara adalah mensejahterakan penduduknya? Dan, apakah jika tujuan itu tidak tercapai, negara tersebut boleh dibubarkan? Jawabannya menurut saya jelas: TIDAK, TIDAK, dan TIDAK!

Pertama-tama, kesejahteraan - yang disini diterjemahkan secara ekonomi - bukanlah satu-satunya tujuan negara. Kalau iya, itu namanya bukan negara, tapi perusahaan. Perusahaan juga kontrak sosial, dimana sekelompok orang bergabung, dengan satu tujuan: menghasilkan kemakmuran (atau keuntungan). Perusahaan ini bisa besar, bisa kaya, bahkan melebihi suatu negara. Perusahaan bisa berkembang melampaui batas wilayah negara, beranggotakan manusia dari berbagai bangsa. General Motors misalnya, perusahaan otomotif AS, memiliki perputaran uang dan jumlah pekerja yang melebihi budget dan penduduk banyak negara. Namun, esensinya tetap hanya satu: menghasilkan keuntungan. Kalau esensi ini tidak tercapai, ya bubar jalan. Tidak ada gunanya mempertahankan perusahaan yang merugi, mau sebesar apapun anggotanya. General Motors pun diumumkan pailit. Jutaan orang, dengan sejarah puluhan tahun, pernah dipimpin manajer terhebat sedunia, punya pahlawan-pahlawan teknologi, namun tetap saja sebuah perusahaan. Begitu rugi, ya tutup saja.

Negara, adalah lebih dari sekedar untung-rugi. Negara adalah identitas, esensi sebuah bangsa. Itulah sebabnya eksistensi negara bisa bertahan walaupun merugi. Kuba, misalnya. Negara komunis kecil ini bertahun-tahun dihantam embargo dan diskriminasi oleh negara tetangganya yang adidaya, Amerika Serikat. Begitu terkucilnya Kuba, sehingga negara ini tidak mampu membangun gedung-gedung, membuat jalan tol, atau membangun bandara supercanggih. Negara kecil ini secara ekonomi merana, namun bangga. Bangga pada pemimpinnya, bangga pada identitasnya. Alhasil, Kuba tetap bertahan, bahkan berkembang dengan caranya sendiri. Kini, Kuba, dengan segala keterbatasannya, punya sistem pelayanan kesehatan terbaik di seluruh dunia. Gratis pula! Pendidikan seni dan budaya berjalan baik, sampai-sampai Kuba menjadi pusat perkembangan musik dan tarian latin. Komoditas yang ada dijaga dengan baik: cerutu Kuba, hingga kini masih mendunia. Akhirnya, masyarakat Kuba menjadi masyarakat yang berhasil, walaupun miskin. Kuba tidak bubar karena merugi. Untung-rugi, Kuba tetap ada. Itulah identitas sebuah bangsa!

Definisi negara memang adalah sebuah kontrak sosial. Namun, kemudian, kontrak ini berkembang menjadi identitas. Disini, menurut saya, ada perbedaan antara tahun 1950-an dengan sekarang.

Dulu, negara benar-benar merupakan kontrak sosial. Sebagai ekses dari Perang Dunia II, di tahun 1940-an, banyak negara jajahan di Asia memperoleh kemerdekaannya, baik dengan tangan sendiri maupun diberikan oleh penjajahnya. Lahirlah Malaysia, Indonesia, Singapura, Burma, dan banyak lagi. Ketika Indonesia akan disatukan pun, muncul keberatan dari Indonesia Timur yang ingin mendirikan negara sendiri. Sampai kemudian dicapai kompromi, disertai sikap kenegarawanan yang luar biasa dari para pemimpin saat itu, yang membuat Indonesia menjadi Indonesia seperti sekarang. Usaha untuk menyatukan Timtim, misalnya, gagal, karena rakyat Timtim tidak menyetujui kontrak sosial tersebut. Jadi, pada waktu itu, negara dibuat berdasarkan ’persetujuan’ - persamaan tujuan, untuk merdeka bersama. Lalu, apa yang terjadi setelah itu?

Mulailah terjadi proses pencarian jatiditi yang panjang. Saya pernah melihat sebuah pameran foto yang sangat mengesankan. Pameran foto ini adalah karya seorang fotografer Belanda yang berkeliling Nusantara untuk mengabadikan detik-detik Indonesia merdeka, lewat denyut masyarakatnya. Saya terharu, sangat terharu menyaksikan foto-foto itu. Foto Bung Karno yang sedang berpidato, dengan mulut terbuka berteriak lantang, tangan menunjuk, dan belasan mikrofon di depan wajahnya, meneriakkan kemerdekaan Indonesia. Seorang anak SD, dengan bangga, menenteng peta ‚Indonesia’, berjalan bertelanjang kaki namun dengan senyum bahagia. Ketika Bung Karno dan Bung Hatta naik kereta ke Jogya, ribuan rakyat menanti di perjalanan, mengangkat tangan mereka. Mereka tidak kaya - banyak yang datang bertelanjang kaki, bajunya lusuh, badannya kurus kering. Namun, di wajah mereka, tersungging senyum yang lebar dan wajah yang sumringah. Wajah seorang merdeka! Wajah bangsa yang merdeka.

Kalau dipikir, rasa-rasanya bangsa Indonesia di tahun 1950-an lebih bahagia daripada sekarang. Mengapa? Padahal, keadaan ekonomi kita sangat morat-marit saat itu. Inflasi mencapai ratusan persen. Kita tidak punya apa-apa, tidak ada mall, tidak ada jalan tol. Bahkan gedung bertingkat pun jarang, apalagi teknologi. Harga-harga tidak stabil, produksi tersendat-sendat. Namun, nampaknya, setiap foto orang Indonesia saat itu selalu penuh senyum, penuh bangga, padahal miskin. Saya punya cover depan majalah National Geographic edisi khusus HUT RI tahun 2008 yang saya simpan. Judul artikel itu adalah ’Sang Raksasa Muda’, catatan seorang jurnalis AS mengenai Indonesia tahun 1950-an. Disana, nampak sosok Bung Karno, dengan kopiah dan pakaian dinas, berdiri di depan meja kerjanya di ruang dinas kepresidenan. Ruang dinas itu nampak menyedihkan - kosong, tanpa komputer, telepon canggih, atau sekadar kalkulator. Yang ada ada meja yang bersih, setumpuk dokumen yang rapi, dan lukisan Soedjojono ’Pahlawan Kemerdekaan’ tergantung di dinding. Namun, senyum Bung Karno mengungkapkan rasa percaya diri yang luar biasa, sehingga kesederhanaan itu menjadi kebahagiaan tersendiri. Juga kalau kita melihat wajah rakyat yang mendengarkan pidato Bung Karno - tidak satupun yang terlihat sedih.

Mengapa?

Karena, walaupun miskin, pada saat itulah bangsa Indonesia punya jatiditi. Seperti dituturkan Pramoedya Ananta Toer, Bung Karno paham betul, bahwa Indonesia sebagai bangsa belum punya identitas pada masa itu. Yang ada, hanyalah ’kontrak sosial wilayah bekas jajahan Belanda’, Untuk itu, Bung Karno adalah yang pertama dan satu-satunya presiden yang berkonsentrasi penuh pada ’Nation and Character Building’ - pembangunan karakter dan bangsa Indonesia. Ia paham betul, bahwa bangsa ini perlu sati identitas, perlu satu nilai, yang dipegang dan dijunjung tinggi bersama. Lahirlah Pancasila, konsep kebangsaan, dan proyek-proyek mercusuar seperti Monas dan Senayan. Melalui pidato-pidatonya, Bung Karno berulang kali menekankan prinsip kebangsaan dan kebanggaan sebagai bangsa. Sehingga, Indonesia berubah dari sekedar kontrak sosial menjadi sebuah bangsa yang sesungguhnya - bangsa dengan indentitas, kebanggaan, dan nasionalisme sendiri.

Itulah juga sebabnya, di masa Orde Baru sampai sekarang, yang terjadi adalah kebalikannya. Kita kaya - sudah tidak miskin lagi (fakta bahwa Anda mengernyitkan dahi ketika saya bilang bahwa kita kaya, ikut mendukung argumen saya). Ekonomi sudah berkembang. Kita sudah punya jalan tol, sudah punya mall. Inflasi terkendali, krisis moneter maha dahsyat sudah terlewati, bahkan pertumbuhan ekonomi kita tercatat positif di waktu krisis. Standar kehidupan meningkat - kalau ortu saya dulu bisa makan di restoran sebulan sekali, saya, kini, bisa setiap hari ke MacD atau KFC. Tapi, apa yang terjadi? Bangsa ini semakin menjadi sedih, muram, terpuruk. Doa syafaat di gereja, dari tahun 1998 sampai sekarang, masih bertemakan ’Tuhan, selamatkan kami dari keterpurukan kami’. Terpuruk terus, tidak bangun-bangun lagi. Padahal rupiah stabil. IHSG mencapai 2.100. Mengapa kita terpuruk terus?

Mengapa?

Karena, kita melupakan Nation and Character Building. Dulu, dibawah Bung Karno, kita miskin, tetapi bangga. Sekarang, kita kaya, tetapi rendah diri. Ada faktor lain dalam sebuah negara selain kemakmuran, selain ekonomi. Ada faktor lain yang membuat sebuah negara bertahan, walaupun miskin sekalipun. Faktor itu adalah identitas. Sekarang, negara ada sebuah identitas. Manusia tanpa identitas, di dunia moderen ini, adalah mati. Banyaknya jutawan yang bunuh diri ketika krisis menunjukkan bahwa bukan uang yang mereka khawatirkan - melainkan kehilangan identitas dan reputasi. Ini lebih mengerikan sampai-sampai mereka rela bunuh diri meskipun masih kaya raya. Sampai sekarang, semua presiden selalu berfokus pada ekonomi, perkembangan, kesejahteraan. Padahal, ada satu aspek yang sangat perlu diperhatikan: nation and character building!

Dengan demikian, ide membongkar negara ini dan menjualnya kepada asing saya tolak mentah-mentah. Karena, negara bukan ada hanya karena kontrak sosial. Negara adalah identitas kita. Dan identitas ini harus kita pertahankan, kita perjuangkan, kalau perlu sampai mati. Negara yang ’menjual’ identitasnya - dan mau dipecah sampai jadi remah-remah - sampai sekarang tidak pernah bangkit lagi, misalnya negara-negara Balkan. Karena, mereka salah menilai komoditas mereka yang paling berharga - identitas, yang diberikan oleh pemimpin besar Joseph Broz Tito. Demikian pula masalah identitas yang akan menjadi pelik di Iraq, karena tanpa Saddam, orang Iraq kehilangan identitasnya. Indonesia punya identitas. Kita masih punya satu identitas yang sama, satu bahasa yang sama. Satu keyakinan bahwa semua orang sama di mata hukum dan pemerintahan, bahwa semua orang berhak dihargai sebagaimana mestinya, tanpa membedakan unsur suku, agama, ras, dan antar-golongan. Satu paham, Pancasila, yang mencakup identitas ideologi Indonesia. Identitas inilah alasan mengapa Indonesia harus dan akan tetap ada. Identitas inilah yang membuat kita bertahan dari gempuran komunis maupun desakan sayap kanan. Identitas ini, yang dibangun oleh Bung Karno, yang diwariskan kepada kita, dan yang wajib kita pertahankan sampai mati.

Jakarta, 16 Juni 2009
Harry Nazarudin

Nasionalisme Dalam Kata dan Tindakan

Dua tahun meninggalnya dr. Erina Natania Nazarudin

Akhir-akhir ini media massa banyak membahas tentang nasionalisme. Ketika berbicara soal negri jiran, soal TKI, atau soal pengambilalihan aset nasional oleh asing, maka jargon-jargon yang berkaitan dengan nasionalisme seringkali dimunculkan. Sayangnya, nasionalisme ini justru muncul dalam ekses yang kurang baik. Entah itu dalam bentuk demonstrasi yang melibatkan bakar-membakar atau teriak-meneriaki atau dalam bentuk lainnya yang tak kalah seram. Alih-alih menjadi slogan yang mendamaikan dan menentramkan hati, nasionalisme malah diidentikkan dengan perang, diarahkan sebagai cacian terhadap etnis tertentu, atau diwujudkan lewat konfrontasi fisik.

Akibatnya, banyak orang yang kemudian menjadi skeptis terhadap nasionalisme. Paham ini dianggap berlebihan, dianggap sebagai jargon yang melulu negatif eksesnya. Paham yang konon dahulu digunakan para bapak bangsa untuk memerdekakan negara kita, kini dipandang sebagai hanya basa-basi pejabat yang korupsi atau didalangi kepentingan uang. Nasionalisme kemudian dipandang sebegitu skeptisnya, sampai-sampai eksistensi nasion - atau negara - itu sendiri dipertanyakan. Apakah nasionalisme masih perlu? Atau nasionalisme sudah basi, dan nasion-nya sendiri - negaranya sendiri - sudah tidak relevan dan sebaiknya dibubarkan saja?

Di tengah hingar-bingar nasionalisme, pada hari ini, lima belas Juli, dua tahun yang lalu, seorang dokter pejuang pergi meninggalkan keluarga kami. Beliau bernama dokter Erina Natania Nazarudin, yang tewas ketika bertugas sebagai dokter PTT di Fakfak, Papua Barat. Ia bertekad untuk pergi ke Papua karena kecintaannya terhadap profesi dan Tanah Airnya. Ia dikenal sebagai pribadi yang ramah, suka menolong, banyak bergaul dengan masyarakat sekitar. Sebagai satu-satunya dokter di wilayah Kokas, ia menghadapi dilema ketika seorang ibu mengalami kesulitan melahirkan, sementara ada pasien lain yang sakit di puskesmas Kokas, dan tidak ada supir untuk mengendarai Ambulans. Maka iapun memberanikan diri mengendarai Ambulans yang besar itu untuk mengantar sang ibu ke Fakfak, lalu segera kembali ke Kokas untuk merawat pasien yang masih terbaring sakit disana. Dalam perjalanan kembali ke Kokas, mobil Ambulans terguling ke jurang, dan dokter Erina kehilangan nyawanya, demi menyelamatkan nyawa seorang ibu, bayi, dan seorang yang sakit di puskesmas Kokas.

Hari itu, setelah mendengar kabar buruk tersebut, suasana duka yang tak terperi menyelimuti rumah kami di Bandung, Jawa Barat. Tiba-tiba, datang seorang bapak yang sama sekali tidak kami kenal. Namun, dari rambutnya yang keriting terlihat bahwa ia adalah seorang warga Papua. Ia ternyata berasal dari Kokas. Ketika mendengar ada seorang dokter yang mengorbankan nyawanya dalam memberikan pelayanan kesehatan di kampungnya, sang bapak sangat terharu dan memutuskan untuk mencari alamat kami dan memberikan penghormatannya. Air matanya nampak menetes, namun bangga, bahwa seorang anak bangsa rela mengorbankan nyawanya demi kampungnya. Beliau disusul oleh banyak anggota masyarakat lain dari berbagai kalangan, yang datang untuk memberikan penghormatan mereka. Tidak ada yang mempersoalkan bahwa mata kami sipit, kulit kami kuning, atau agama kami adalah minoritas. Yang ada adalah sebuah kebersamaan - kebersamaan sebuah bangsa.

Jadi, apakah nasionalisme? Nasionalisme adalah tindakan, bukan perkataan. Nasionalisme adalah sebuah semangat, kerinduan, dan tindakan nyata, yang menunjukkan kecintaan dan bakti kepada Tanah Air Indonesia. Nasionalisme adalah suatu spirit kebersamaan yang diikat oleh rasa kekeluargaan, tanpa memperhatikan identitas suku, agama, ras, atau antargolongan. Hanya satu identitas yang ada: sebagai warga bangsa Indonesia, yang jika perlu berkorban nyawa demi masa depan yang lebih baik.

Ketika peti jenazah dokter Erina Natania sampai di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, kami datang dengan perasaan bercampur-aduk. Namun, begitu melihat hadirin yang datang beserta peti jenazah dengan bendera merah-putih tersampir diatasnya, di dalam hati saya, terselip saya bangga yang luar biasa. Semua kalangan - yang berambut lurus maupun keriting, bermata besar maupun sipit, yang berkulit sawo matang atau kecoklatan - semuanya bercampur baur dengan khidmat, memberikan penghormatan kepada almarhumah dr. Erina Natania Nazarudin. Tidak ada lagi pemisah, yang ada adalah kebanggaan bersama sebagai sebuah bangsa, yang baru saja menyaksikan salah seorang anaknya rela mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan saudara sebangsanya yang lain. Sebuah bangsa, yang menyaksikan kepergian seorang pahlawan pelayanan medis. Dan sebuah keluarga, yang walaupun berhati pilu karena harus kehilangan salah satu anggotanya, namun bangga, bahwa salah satu anggotanya, bisa menjadi pahlawan untuk bangsa Indonesia.

Disini, bangsa Indonesia masih ada. Masih bangga. Dan inilah nasionalisme yang sesungguhnya!

Jakarta, 15 Juli 2009
Harry Hardianto Nazarudin

Indonesia Harus Berani Menjadi Sempurna

“I come from the country where it is OK to be mediocre. Infact, pursuing perfection is seen as something unusual”
Agnes Monica, dalam wawancara dengan Channel News Asia mengenai usahanya mencapai kesempurnaan dalam industri musik.

Pertama-tama, saya terkejut melihat Agnes Monica di televisi asing. Selain Agnes, mungkin hanya Anggun, orang Indonesia yang namanya bisa berkibar di dunia musik internasional. Namun, yang membuat saya lebih terkesan adalah komentar Agnes tentang Indonesia, negara asalnya. Ia menjelaskan bahwa ia ingin mencapai kesempurnaan dalam industri musik, baik dari kualitas suara, kualitas video klip, maupun manajemennya. Namun, usahanya ini harus dilakukan dengan ekstra keras, karena menjadi sempurna bukanlah prioritas bagi kebanyakan orang Indonesia. Dan, ketika saya renungkan, Agnes benar.

Saya tersenyum sendiri mengingat komentar rekan saya ketika menyaksikan sebuah acara di Discovery Channel tentang sulitnya melakukan pengeboran minyak di lepas pantai sebuah negara Skandinavia. Betapa rig-nya harus dibuat di pelabuhan yang jaraknya jauh, lalu ditarik dengan kapal laut berkelok-kelok melewati lekukan fjord, melawan badai dan ombak, sampai mencapai tujuan. “Wah, kalau di Indonesia, kalau ditanya apakah minyak di pantai bisa diambil, jawabnya pasti: susah Pak! Cari tempat lain saja!” begitu kata teman saya sambil terkekeh. Begitu pula dengan proyek-proyek raksasa seperti kereta bawah tanah, membuat pesawat A-380, dan lain-lain. Semuanya dianggap sebagai proyek ‘gila’, yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Padahal, justru Indonesia-lah yang menjadi pelopor proyek ‘gila’ tersebut.

Waktu negara-negara Asia masih baru saja lepas dari belenggu penjajahan, sebuah eforia melanda kawasan ini. Negara-negara seperti India, Burma, Malaysia, Singapura, Taiwan, bahkan Cina, yang sudah merasakan pahit getir penjajahan, kini menjadi merdeka. Bangsa yang dididik kerdil sejak lahir - selalu diajarkan bahwa mereka - kita - berada sederajat lebih rendah dari sang penjajah, sederajat lebih bodoh, dan sederajat lebih kotor, mendadak merdeka. Dan Soekarno, Bapak Bangsa Indonesia, berada di barisan paling depan. Beliau menyadari betul apa yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa ini: kesetaraan. Bangsa-bangsa ini harus mendobrak batasan-batasan feodal yang diturunkan penjajah, dan membentuk sebuah identitas baru.

Maka, mulailah Indonesia menjadi pelopor. Dengan usaha sendiri - walaupun terseok-seok - tentara Indonesia berhasil merebut Irian Barat dari Belanda. Kemudian dibangunlah proyek-proyek mercusuar seperti Monas, Jembatan Semanggi, dan Air Mancur Bundaran HI. Mengapa disebut mercusuar? Karena Soekarno melihat Indonesia sebagai mercusuar - sebuah menara tinggi yang memancarkan cahaya, memandu kapal-kapal lainnya agar tidak tersesat dalam kegelapan! Bukan saja bangunan, tetapi juga program-program serupa, seperti Konferensi Asia Afrika, Ganefo, dan lain-lain!

Kalau kita berbicara dengan orang-orang yang hidup di era 1950-an, mereka akan masih ingat, bagaimana imaji dunia internasional terhadap Indonesia pada waktu itu. “Indonesia” kata seorang rekan asal Taiwan, “Dulu jadi pusat perhatian. Jakarta dulu jadi simbol kemajuan Asia!” katanya bersemangat. Ya - kita pernah bisa seperti itu. Monas dan Semanggi dibangun jauh sebelum Shanghai, Seoul, atau Bangkok mulai membangun proyek-proyek seperti itu. Jadi, kita bisa! Bukan hanya Monas, tapi mahakarya bangsa kita seperti Borobudur dan Prambanan - yang tidak kalah dengan Angkot Wat atau Great Wall, menjadi saksi bahwa sebenarnya Indonesia bisa.

Lalu, apa masalahnya? Mengapa kita sekarang kelihatannya sulit untuk maju? Bahkan untuk mempertahankan satu-satunya mahkota kita, kejayaan di olahraga bulutangkis - itu saja begitu sulit. Ya - karena bangsa ini lupa, bagaimana menjadi sempurna!

Dalam masyarakat kita sekarang ini, ada rasa pesimisme yang begitu besarnya. Rasa pesimisme ini begitu besarnya, sampai-sampai menjadi penghalang utama kemajuan bangsa kita. Bahkan hutang IMF yang dulu rasanya menggunung itu, kini telah lunas. Tapi, rasa pesimisme sebagai akibat dari eforia reformasi, masih belum sirna juga. Rasa inilah yang membuat kita menjadi bangsa gampangan - maunya yang gampang-gampang saja. Susah sedikit saja, maka proyek-proyek ini menjadi terbengkalai karena dicap sebagai ‚terlalu susah’. Lihat saja proyek jalan tol - dimana-mana nampak palang-palang beton yang berkarat tak terurus, sebagai simbol kemandekan kita. Padahal, di negara-negara seperti Cina, jalanan dibuat dalam hitungan hari saja. Di Indonesia, sudah bertahun-tahun, rugi pula!

Kita sudah lupa bagaimana caranya menjadi sempurna. Toleransi kita begitu besarnya, sampai-sampai orang yang masih berjuang menjadi sempurna sering dianggap ‘gila’. Bagaimana masyarakat umum menilai Ugo Untoro, Garin Nugroho, atau Ayu Utami? Dibandingkan dengan sinetron asal jadi, atau bintang film asal cantik? Bahkan ketika sebuah bank ingin mengedepankan bulutangkis, bukan atlit sungguhan, melainkan bintang sinetron yang jadi simbolnya! Nah, itulah sebabnya. Kita menjadi cepat puas, dan lupa mengejar kesempurnaan. Padahal, strive for perfection - atau kesungguhan mengejar kesempurnaan, adalah kunci kesuksesan sebuah bangsa - bahkan sekecil Singapura sekalipun.

Usaha ini tidak mudah, karena masyarakat sudah terlanjur diserbu oleh semua yang serba instan. Namun, masih belum terlambat! Media harus mengedepankan kisah-kisah orang yang mengejar kesempurnaan sebagai teladan - dari peraih Kalpataru, sampai juara Olimpiade Matematika. Mereka harus menghiasi halaman depan, bukan di paling belakang atau terselip di pojok kecil. Film, mengundang peranan besar. Buktinya, film Laskar Pelangi - yang mengisahkan tentang mengejar kesempurnaan - bisa laku keras! Namun, masih terlalu sedikit genre film seperti itu. Bangsa Amerika adalah contoh bagaimana industri film bisa memupuk nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa Amerika. Perlu kerja sama antara pemerintah dan masyarakat seni, namun hal ini bisa dicapai. Kalau Anda berpikir usaha ini mustahil, mungkin Anda juga dirasuki pikiran ‚asal gampang’. Mari kita raih kesempurnaan dalam mengajar masyarakat tentang arti mengejar kesempurnaan!

Kunshan, 3 Agustus 2009