Saturday, February 14, 2015

Kiat Agar Proyek Mobnas Bisa Sukses

Mobil VW beetle tahun 1966, dari Wikipedia

Sekali lagi, kita heboh soal mobil nasional. Dalam rangka ini, sebuah TV Nasional menayangkan dokumenter soal sejarah ‘mobnas’ kita. Muncullah wajah ganteng berkumis, dengan sebuah mobil yang dulu akrab dengan kita. Bentuknya ya biasa saja, cenderung jelek. Lalu, sederet ‘usaha’ lainnya dari berbagai perusahaan yang semuanya tersedak, batuk, atau pingsan sebelum jadi.

Seperti apa maunya mobil nasional kita? Kerja sama dengan tetangga, atau saudara tua? Saya punya satu masukan agar mobil nasional kita berhasil. Saya memang bukan siapa-siapa, tetapi sudah punya pengalaman berkelana ke negara yang punya mobnas keren dan laris manis.

Saya ingin mengingatkan para politikus, pelaku usaha otomotif, para pemimpin negara, para pembuat keputusan, yang semuanya orang Indonesia seperti saya, yang rindu bahwa bangsa yang besar ini bisa produksi mobil sendiri. Saya ingatkan , bahwa syarat pertama untuk mobil nasional kita bukanlah yang murah. Bukan yang terjangkau. Bukan pula yang punya merek baru atau aneh2. Bukan pula yang kerja sama dengan tetangga. Syaratnya apa?

MOBIL NASIONAL KITA HARUS BAGUS!!!

Sadar kan? Di negara yang kadang2 masih feodal ini, kata ‘bagus’ bukanlah kaya pertama yang muncul ketika bicara mobil nasional. Yang ada adalah kata ‘murah’, ‘terjangkau’, ‘irit’. Singkat kata, jelek!

Negara ini punya penyakit lama yang kadang suka kambuh, bahwa yang murah itu ya wajar kalau jelek. Kalau mau bagus, ya harus mahal. Wajar kalau rakyat yang bayar murah menyabung nyawa loncat dari kopaja di jalur Busway setiap pagi. Wajar kalau rakyat yang bayar murah antri sampai koma di puskesmas. Murah kok mau enak!! Begitu kan? Jadi, begitu jugalah mobil nasional kita. Dicari, didesain, direkayasa, supaya murah, merakyat dan… Juelekk!

Mari kita bandingkan dengan mobnas paling sukses di dunia: Volkswagen beetle alias VW kodok. Namanya saja ‘mobil rakyat’ – Volkswagen. Mobnas Jerman ini diproduksi sampai 21 juta unit, dan sampai sekarang menjadi kultus. Kok bisa?

Ide mobnas Jerman ini lahir tahun 1933 di Berlin Motor Show. Penggagasnya adalah Kanselir Jerman waktu itu, Adolf Hitler, yang menginginkan setiap orang di Jerman punya mobil atau traktor. Lalu, apa dia bikin yang jelek dan murah? Tidak! Tanpa tanggung2, beliau memanggil Ferdinand Porsche, salah seorang desainer mobil terbaik pada jaman itu, dan memberikan kontraknya pada Mercedes-Benz di Stuttgart, yang sudah menjadi pusat industri otomotif Jerman. Lalu, dibangunlah sebuah pabrik di Fallersleben, yang kemudian menjadi Wolfsburg, yang menjadi kantor pusat VW sampai hari ini. Jelas bahwa Hitler memilih desainer terbaik, membangun pabrik terbaik, sehingga hasilnya pun luar biasa.

Bahkan pada saat Hitler dan segala kekejamannya kemudian terguling, VW beetle menjadi simbol ‘kebanggaan’ Jerman yang tersisa. Justru produksi VW beetle paling tinggi di masa sesudah 1945 sesudah perang usai, sehingga mencapai 21 juta unit dan menjadi platform mobil yang paling banyak diproduksi di dunia. Karena mobil ini terkenal handal, berkualitas, dan bagus. Keluarga Porsche sendiri kemudian mendirikan perusahaan baru, khusus mobil sport masih dengan basis desain yang sama! Hebat bukan?

Coba liat deretan mobnas kita. Asal tahu saja, orang Indonesia – baik kaya atau biasa saja – tidak suka barang jelek, walaupun murah! Ingat, disini adalah asal pemeo ‘biar tekor asal sohor’. Jadi, jangan heran kalau mobil rakyat nasional yang jelek kemudian terpuruk di pasar. Emang kita siapa, enak aja, dikasih barang jelek?

Buatlah mobil nasional seperti Kijang Innova. Atau Honda CRV. Atau bahkan Ferrarri sekalian! Jadi jika kita melihatnya, dan bisa bangga. Orang lain juga bisa berdecak kagum. Ini lho, buatan Indonesia. Bukan mobil jelek asal murah...

Salam, 

Harnaz


Thursday, February 5, 2015

Cintailah Presidenmu!



“Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian”

Soekarno

Yogyakarta, 19 Desember 1948. Pelabuhan udara Maguwo, Yogyakarta. Taruna Kasmiran, yang bertugas menjaga Bandara Maguwo, sudah gugur di pagi hari beserta setengah kompi pasukannya, ketika mendadak diberondong senjata Belanda. Jam 5.45, 9 pesawat Mustang dan 5 pesawat Kitty Hawk milik Belanda membombardir bandara Maguwo. Kolonel D.R.A van Langen diberi tugas memimpin 2600 pasukan Belanda dengan perintah yang jelas: “Tangkap Soekarno dan seluruh kabinet ilegal-nya”. Tidak sudi Belanda menyebutnya ‘Presiden’. Negara yang baru lepas dari kekejaman Hitler ini, rupanya tidak belajar, malahan ingin berlaku sama kejam pada negara jajahannya. 

Pasukan Kol. van Langen akhirnya mencapai Gedong Agung, tempat Presiden Soekarno baru saja menyampaikan salam perpisahan pada Jenderal Sudirman yang pergi bergerilya. Ajakan untuk ikut bergerilya ditolak oleh Presiden. Beliau kuatir, jika Presiden Republik Indonesia kabur menghilang ke hutan, maka lenyap pula hakikat bangsa Indonesia itu sendiri. Maka, seperti Sri Sultan yang menghadapi Kol. van Langen dengan dada tegap, Presiden Soekarno pun diborgol bak pesakitan dibawah senyum sinis pasukan van Langen.

Presiden – lembaga kepresidenan – adalah lembaga terpenting di Indonesia. Sebelum ada KPK, kepolisian, DPR, Tim Sembilan, KPU, dan lain-lain, yang ada hanya Presiden dan Wakil Presiden. Embryo bangsa ini lahir dari lembaga kepresidenan. Kita bukan bangsa yang kemerdekaannya adalah hadiah dari penjajah. Kita bukan bangsa yang lahir lengkap dengan proses transisi dan legitimasi. Kita hadir melalui seorang Presiden, yang mampu menginspirasi jutaan warganya untuk setia, mengangkat senjata, dan meregang nyawa demi lahirnya sebuah negara.

Namun, dengan berjalannya demokratisasi yang begitu cepat, lembaga kepresidenan kini mengalami abrasi. Jaman Soekarno, Presiden adalah dewa. Ia pemimpin, ia penginspirasi bangsa. Jaman Soeharto, presiden adalah sakral. Jangankan mengancam pemakzulan seperti sekarang – bisik-bisik miring saja bisa membuat Anda menghilang.

Bagaimana dengan sekarang? Memang, Undang-Undang Pemilu menyelamatkan lembaga kepresidenan dengan membuat rakyat bisa memilih langsung Presidennya, sehingga kesakralannya terjaga. Tapi, lembaga kepresidenan kini nelangsa, karena rakyat yang baru melek politik ini menyandera Presiden dengan segala harapan yang mustahil. Presiden dilecehkan. Presiden dikerjain. Presiden di-bully. Sedikit saja salah, bahkan anggota keluarganya tak luput dicaci publik. Yang lain boleh korupsi. Yang lain boleh brengsek. Tetapi, Presiden suci. Apakah ini adil?

Di tengah isu yang marak soal lembaga kepresidenan akhir-akhir ini, saya hanya ingin mengingatkan – cobalah untuk proporsional dan adil pada lembaga kepresidenan yang kita pilih langsung dan kita cintai bersama. 

Ingat, DPR sudah meluluskan uji kelayakan dan kepatutan bagi seseorang tersangka korupsi oleh KPK. Ingat, Kompolnas mencalonkan seorang calon kapolri yang pernah memiliki rekening gendut, dan kini malah menggantinya dengan seseorang yang sama buramnya. Partai politik yang konon memekik merdeka dan berjuang untuk rakyat, kini berbondong-bondong pura-pura bingung, sementara Presiden berdiri sendirian menghadapi publik. Presiden kembali diancam, bukan oleh Belanda, tapi oleh bangsanya sendiri.

Cintailah presiden kita. Ingatlah bahwa embryo Indonesia, DNA Indonesia, urat nadi dan definisi bangsa Indonesia, dikandung oleh presiden. Bukan DPR, bukan polisi, bukan KPK, bukan partai politik.

“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”

Soekarno

Harnaz, 5 Februari 2015