tag:blogger.com,1999:blog-69525130125930768362024-03-13T22:53:01.007-07:00Bagimu IndonesiaTulisan untuk IndonesiaHarnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.comBlogger27125tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-59512714362883957052015-10-28T04:47:00.000-07:002015-10-28T04:47:10.038-07:00Sumpah Pemudi Pemuda<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhq7-avjpxPIV7d1Tt_tPrlyqLo_pIhHmbX0NKU1Po6oH9oP3NAxW9uktNoO-PZbtnimBJc5zSSckahBCtmp6o-gc1zlW1Z09Xcvhd2hP9VIubgjZXfcak_rIWBLBRuR3j0klw6PboTQpd0/s1600/RADEN+AJENG+KARTINI.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhq7-avjpxPIV7d1Tt_tPrlyqLo_pIhHmbX0NKU1Po6oH9oP3NAxW9uktNoO-PZbtnimBJc5zSSckahBCtmp6o-gc1zlW1Z09Xcvhd2hP9VIubgjZXfcak_rIWBLBRuR3j0klw6PboTQpd0/s320/RADEN+AJENG+KARTINI.jpg" width="297" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Saya beruntung bisa hadir dalam salah satu konser yang
diadakan oleh Cordana Youth Choir, yang dipimpin oleh Ibu Aida Swenson, putri
dari Alfred Simanjuntak. Pak Alfred adalah ‘A Simanjuntak’ yang mengarang lagu ‘Bangun
Pemudi Pemuda’, sebuah lagi perjuangan yang sangat terkenal terutama pada hari
ini, 28 Oktober.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Saya ingat waktu itu Pak Alfred sudah sepuh, dan ketika
didaulat untuk menjadi dirigen di salah satu lagu yang dinyanyikan oleh Cordana
Choir. Pak Alfred berjalan tertatih-tatih dari kursi VIP di belakang menuju
panggung di depan, tangga yang berderet-deret menjadi tantangan berat beliau
untuk mencapai panggung. Namun ketika sampai di depan, Gedung Usmar Ismail
mendadak riuh rendah oleh tepuk tangan hadirin, yang kagum atas perjuangan dan
dedikasi beliau untuk musik Indonesia. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
“Inilah Pak A Simanjuntak, yang mengarang lagi Bangun Pemuda
Pemudi” kata MC. Dan Pak Alfred lalu mengangkat tangannya untuk protes. “Salah!
Bukan ‘Bangun Pemuda Pemudi’, tetapi ‘Bangun Pemudi Pemuda’!” tukasnya dengan
mata berapi-api. “Karena pemudi itu lebih penting dari pemuda!” lanjutnya, yang
langsung disambut oleh tepuk tangan hadirin yang lebih meriah.<o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tahun ini, baiklah kita mengingat bahwa definisi bertumpah
darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, adalah berlaku untuk semua
golongan baik mayoritas maupun minoritas yang beridentitas sama: Indonesia. Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928 diadakan di gedung Katholieke jongelingen bond atau
Gedung Pemuda Katolik. Walaupun sejarah mencatat penggagas dan pengurusnya
semuanya pemuda, tapi tercatat Sumpah Pemuda dimulai dengan ‘Kami, poetra dan
poerti Indonesia’. Berarti, ada sejumlah pemudi yang turut hadir dan berteriak
Indonesia! <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Di jaman kekinian yang semakin terpolarisasi ini, masyarakat
kita menjadi terkotak-kotak. Penggunaan gedung untuk ibadah, pemilihan kepala
daerah wanita, bahkan polarisasi kampanye presiden saja bisa menjadi tembok
yang seolah-olah memisahkan saya dengan Anda, dia dan mereka. Begitu mudah kita
bersimpati pada satu golongan ketika berita diskriminasi (yang belum tentu
benar) digaungkan. Dan kita malah menambah gaungnya – dengan me-retweet atau
share di Facebook. Alhasil, kita menambah tinggi tembok virtual yang membatasi
diri kita dengan sesama bangsa Indonesia. <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Sumpah Pemuda, mengingatkan kita akan identitas mulia yang
ditatah di dalam setiap jiwa bangsa Indonesia sejak tahun 1928. Bahwa kita
tidak meributkan ras dan agama, kita tidak malu menjabat tangan saudara yang
berbeda penampilan dan kelas sosial, karena kita memiliki identitas yang sama.
Apakah itu? Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia. Dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Apakah
kita masih bertumpah darah satu? Apakah kita masih berbangsa satu? Dan yang
paling urgent: apakah kita masih menjunjung tinggi bahasa persatuan? Please
dech, kalo gitu... Yuk kembali ke Indonesia! <o:p></o:p></div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Jangan lagi bilang 'Damn, I love Indonesia'. If you are indonesian, then say: "Sialan, saya cinta Indonesia!"</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Memperingati Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015<o:p></o:p></div>
<br />
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Harnaz<o:p></o:p></div>
</div>
Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-52488888330742450362015-02-14T21:30:00.001-08:002015-02-14T23:37:51.246-08:00Kiat Agar Proyek Mobnas Bisa Sukses<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsdLAOEtGpyPE3m7k3v6YLeqz-HDPwY67UX06giRPRH5qZPeltXnsoetide96f1gS46MJuzkfvjM2q3hBHVv_EqiZjyCBwEVvVGIZx7WrSwCCo9CtnXviOcP-62v2Ibc1Pa5hOetPjKp5P/s640/blogger-image--113230382.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgsdLAOEtGpyPE3m7k3v6YLeqz-HDPwY67UX06giRPRH5qZPeltXnsoetide96f1gS46MJuzkfvjM2q3hBHVv_EqiZjyCBwEVvVGIZx7WrSwCCo9CtnXviOcP-62v2Ibc1Pa5hOetPjKp5P/s640/blogger-image--113230382.jpg"></a></div><div class="separator" style="clear: both;">Mobil VW beetle tahun 1966, dari Wikipedia</div><div class="separator" style="clear: both;"><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Sekali lagi, kita heboh soal mobil nasional. Dalam rangka ini, sebuah TV Nasional menayangkan dokumenter soal sejarah ‘mobnas’ kita. Muncullah wajah ganteng berkumis, dengan sebuah mobil yang dulu akrab dengan kita. Bentuknya ya biasa saja, cenderung jelek. Lalu, sederet ‘usaha’ lainnya dari berbagai perusahaan yang semuanya tersedak, batuk, atau pingsan sebelum jadi.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Seperti apa maunya mobil nasional kita? Kerja sama dengan tetangga, atau saudara tua? Saya punya satu masukan agar mobil nasional kita berhasil. Saya memang bukan siapa-siapa, tetapi sudah punya pengalaman berkelana ke negara yang punya mobnas keren dan laris manis.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Saya ingin mengingatkan para politikus, pelaku usaha otomotif, para pemimpin negara, para pembuat keputusan, yang semuanya orang Indonesia seperti saya, yang rindu bahwa bangsa yang besar ini bisa produksi mobil sendiri. Saya ingatkan , bahwa syarat pertama untuk mobil nasional kita bukanlah yang murah. Bukan yang terjangkau. Bukan pula yang punya merek baru atau aneh2. Bukan pula yang kerja sama dengan tetangga. Syaratnya apa?</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">MOBIL NASIONAL KITA HARUS BAGUS!!!</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Sadar kan? Di negara yang kadang2 masih feodal ini, kata ‘bagus’ bukanlah kaya pertama yang muncul ketika bicara mobil nasional. Yang ada adalah kata ‘murah’, ‘terjangkau’, ‘irit’. Singkat kata, jelek!</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Negara ini punya penyakit lama yang kadang suka kambuh, bahwa yang murah itu ya wajar kalau jelek. Kalau mau bagus, ya harus mahal. Wajar kalau rakyat yang bayar murah menyabung nyawa loncat dari kopaja di jalur Busway setiap pagi. Wajar kalau rakyat yang bayar murah antri sampai koma di puskesmas. Murah kok mau enak!! Begitu kan? Jadi, begitu jugalah mobil nasional kita. Dicari, didesain, direkayasa, supaya murah, merakyat dan… Juelekk!</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Mari kita bandingkan dengan mobnas paling sukses di dunia: Volkswagen beetle alias VW kodok. Namanya saja ‘mobil rakyat’ – Volkswagen. Mobnas Jerman ini diproduksi sampai 21 juta unit, dan sampai sekarang menjadi kultus. Kok bisa?</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Ide mobnas Jerman ini lahir tahun 1933 di Berlin Motor Show. Penggagasnya adalah Kanselir Jerman waktu itu, Adolf Hitler, yang menginginkan setiap orang di Jerman punya mobil atau traktor. Lalu, apa dia bikin yang jelek dan murah? Tidak! Tanpa tanggung2, beliau memanggil Ferdinand Porsche, salah seorang desainer mobil terbaik pada jaman itu, dan memberikan kontraknya pada Mercedes-Benz di Stuttgart, yang sudah menjadi pusat industri otomotif Jerman. Lalu, dibangunlah sebuah pabrik di Fallersleben, yang kemudian menjadi Wolfsburg, yang menjadi kantor pusat VW sampai hari ini. Jelas bahwa Hitler memilih desainer terbaik, membangun pabrik terbaik, sehingga hasilnya pun luar biasa.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Bahkan pada saat Hitler dan segala kekejamannya kemudian terguling, VW beetle menjadi simbol ‘kebanggaan’ Jerman yang tersisa. Justru produksi VW beetle paling tinggi di masa sesudah 1945 sesudah perang usai, sehingga mencapai 21 juta unit dan menjadi platform mobil yang paling banyak diproduksi di dunia. Karena mobil ini terkenal handal, berkualitas, dan bagus. Keluarga Porsche sendiri kemudian mendirikan perusahaan baru, khusus mobil sport masih dengan basis desain yang sama! Hebat bukan?</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Coba liat deretan mobnas kita. Asal tahu saja, orang Indonesia – baik kaya atau biasa saja – tidak suka barang jelek, walaupun murah! Ingat, disini adalah asal pemeo ‘biar tekor asal sohor’. Jadi, jangan heran kalau mobil rakyat nasional yang jelek kemudian terpuruk di pasar. Emang kita siapa, enak aja, dikasih barang jelek?</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Buatlah mobil nasional seperti Kijang Innova. Atau Honda CRV. Atau bahkan Ferrarri sekalian! Jadi jika kita melihatnya, dan bisa bangga. Orang lain juga bisa berdecak kagum. Ini lho, buatan Indonesia. Bukan mobil jelek asal murah...</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Salam, </div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Harnaz</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div></div>Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-12555985518706542852015-02-05T04:39:00.001-08:002015-02-05T04:39:31.522-08:00Cintailah Presidenmu!<div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBkoISBGIeZ-RK4IEIz_LIH345TVqp6BEiJqcHsIo-1JUo1o2rzw-gF3N7-LL38veV4DMEYaOPKD1dBv7F1DJlfvbC8k9xM3XMAfB9UdoNLmM3Rhtm6ddRvDpu0wWEKbqOBfGGFwQHLN6g/s640/blogger-image-104278754.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBkoISBGIeZ-RK4IEIz_LIH345TVqp6BEiJqcHsIo-1JUo1o2rzw-gF3N7-LL38veV4DMEYaOPKD1dBv7F1DJlfvbC8k9xM3XMAfB9UdoNLmM3Rhtm6ddRvDpu0wWEKbqOBfGGFwQHLN6g/s640/blogger-image-104278754.jpg"></a></div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;"><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;"><i>“Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian”</i></div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Soekarno</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Yogyakarta, 19 Desember 1948. Pelabuhan udara Maguwo, Yogyakarta. Taruna Kasmiran, yang bertugas menjaga Bandara Maguwo, sudah gugur di pagi hari beserta setengah kompi pasukannya, ketika mendadak diberondong senjata Belanda. Jam 5.45, 9 pesawat Mustang dan 5 pesawat Kitty Hawk milik Belanda membombardir bandara Maguwo. Kolonel D.R.A van Langen diberi tugas memimpin 2600 pasukan Belanda dengan perintah yang jelas: “Tangkap Soekarno dan seluruh kabinet ilegal-nya”. Tidak sudi Belanda menyebutnya ‘Presiden’. Negara yang baru lepas dari kekejaman Hitler ini, rupanya tidak belajar, malahan ingin berlaku sama kejam pada negara jajahannya. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Pasukan Kol. van Langen akhirnya mencapai Gedong Agung, tempat Presiden Soekarno baru saja menyampaikan salam perpisahan pada Jenderal Sudirman yang pergi bergerilya. Ajakan untuk ikut bergerilya ditolak oleh Presiden. Beliau kuatir, jika Presiden Republik Indonesia kabur menghilang ke hutan, maka lenyap pula hakikat bangsa Indonesia itu sendiri. Maka, seperti Sri Sultan yang menghadapi Kol. van Langen dengan dada tegap, Presiden Soekarno pun diborgol bak pesakitan dibawah senyum sinis pasukan van Langen.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Presiden – lembaga kepresidenan – adalah lembaga terpenting di Indonesia. Sebelum ada KPK, kepolisian, DPR, Tim Sembilan, KPU, dan lain-lain, yang ada hanya Presiden dan Wakil Presiden. Embryo bangsa ini lahir dari lembaga kepresidenan. Kita bukan bangsa yang kemerdekaannya adalah hadiah dari penjajah. Kita bukan bangsa yang lahir lengkap dengan proses transisi dan legitimasi. Kita hadir melalui seorang Presiden, yang mampu menginspirasi jutaan warganya untuk setia, mengangkat senjata, dan meregang nyawa demi lahirnya sebuah negara.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Namun, dengan berjalannya demokratisasi yang begitu cepat, lembaga kepresidenan kini mengalami abrasi. Jaman Soekarno, Presiden adalah dewa. Ia pemimpin, ia penginspirasi bangsa. Jaman Soeharto, presiden adalah sakral. Jangankan mengancam pemakzulan seperti sekarang – bisik-bisik miring saja bisa membuat Anda menghilang.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Bagaimana dengan sekarang? Memang, Undang-Undang Pemilu menyelamatkan lembaga kepresidenan dengan membuat rakyat bisa memilih langsung Presidennya, sehingga kesakralannya terjaga. Tapi, lembaga kepresidenan kini nelangsa, karena rakyat yang baru melek politik ini menyandera Presiden dengan segala harapan yang mustahil. Presiden dilecehkan. Presiden dikerjain. Presiden di-bully. Sedikit saja salah, bahkan anggota keluarganya tak luput dicaci publik. Yang lain boleh korupsi. Yang lain boleh brengsek. Tetapi, Presiden suci. Apakah ini adil?</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Di tengah isu yang marak soal lembaga kepresidenan akhir-akhir ini, saya hanya ingin mengingatkan – cobalah untuk proporsional dan adil pada lembaga kepresidenan yang kita pilih langsung dan kita cintai bersama. </div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Ingat, DPR sudah meluluskan uji kelayakan dan kepatutan bagi seseorang tersangka korupsi oleh KPK. Ingat, Kompolnas mencalonkan seorang calon kapolri yang pernah memiliki rekening gendut, dan kini malah menggantinya dengan seseorang yang sama buramnya. Partai politik yang konon memekik merdeka dan berjuang untuk rakyat, kini berbondong-bondong pura-pura bingung, sementara Presiden berdiri sendirian menghadapi publik. Presiden kembali diancam, bukan oleh Belanda, tapi oleh bangsanya sendiri.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Cintailah presiden kita. Ingatlah bahwa embryo Indonesia, DNA Indonesia, urat nadi dan definisi bangsa Indonesia, dikandung oleh presiden. Bukan DPR, bukan polisi, bukan KPK, bukan partai politik.</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;"><i>“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”</i></div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Soekarno</div><div class="separator" style="clear: both;"><br></div><div class="separator" style="clear: both;">Harnaz, 5 Februari 2015</div><div><br></div></div>Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-39773723190286471552015-01-23T05:57:00.001-08:002015-01-23T06:33:21.716-08:00Salahkan Punjabi Untuk Semua Ini!<div><div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4ROzwMnpvaVRbS0nhC4NnUBOmkSnwED3sG1Yl5X0byf90A1mYiBYCKYhkZSh5BmXxr7b1uFv6n69dZ4XPsMTMnpQXKULGNtKQqpsyYJXWhnn3_b_hoBx4YBPGKPb-PIgw470edFI7rWbb/s640/blogger-image-1261087936.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj4ROzwMnpvaVRbS0nhC4NnUBOmkSnwED3sG1Yl5X0byf90A1mYiBYCKYhkZSh5BmXxr7b1uFv6n69dZ4XPsMTMnpQXKULGNtKQqpsyYJXWhnn3_b_hoBx4YBPGKPb-PIgw470edFI7rWbb/s640/blogger-image-1261087936.jpg"></a></div><br></div><div><br></div>Ini adalah sebuah parodi, yang terinspirasi dari televisi. Sedang seru menyiarkan pertarungan dua kadal yang beda nasib: satu cicak, yang lain buaya!<div><br></div><div>Tapi, yuk sejenak kita renungkan. Coba bayangkan, Anda sudah sukses. Karir sudah penuh bintang. Rekening bank sudah... Yah.... Boleh dibilang chubby. Gak gendut-gendut amat, tapi gak melarat pastinya. Rumah sepuluh. Mobil bejibun. Anak-anak kuliah di Amerika. Harusnya, Anda menjadi orang bahagia, bukan? Sejahtera, duduk ongkang kaki. Ngobrol sana-sini, menikmati hasil merangkak puluhan tahun dari trottoir ke kursi empuk sekarang ini. Sesekali dipanggil seminar, banyak kali diundang nikahan pegawai rendahan. "Apa resep bisa sukses seperti Bapak?" tanya sang pegawai sambil menyeka peluh karena budget cekak tidak bisa sewa AC. "Kerja keras Dik, banyak berdoa, dan pantang menyerah!" begitu meluncur dari balik kumis. Bahagia bukan?</div><div><br></div><div>Di alam ideal, maka yang bersangkutan akan tersenyum rela, mandheg pandhito, mundur demi bangsa. Toh lumbung sudah penuh sampai puncak atapnya. Sudahlah, masak satu negara repot gara-gara saya.</div><div><br></div><div>Tapi, kok yang kita lihat di dunia nyata nggak begitu ya? </div><div><br></div><div>Maaf, ini bukan salah yang punya kumis atau yang rambutnya cepak. Ini salah Punjabi! Kok Punjabi? Karena semua ide ini datangnya dari sinetron!</div><div><br></div><div>Ketika datang tawaran sebuah jabatan, bak adegan sinetron, seorang rekan tergopoh-gopoh membawa berita. "Pak, Bapak akan diangkat jadi pimpinan!". Bayangkan wajah Dude Herlino, terbelalak bangga, dengan senyum. Lalu, muncul suara sambil wajah Dude di-close up. "Asiiik! Aku akan jadi pimpinan! Luar biasa! Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau! HAHAHAHA"</div><div><br></div><div>Namun, lamunannya membuyar ketika seseorang nyebelin - katakanlah diperankan oleh Eeng Saptahadi - tergopoh-gopoh membawa berita lain. "Pak, pengangkatan Bapak tidak jadi. Malah, Bapak mau dimasukkan ke penjara!"</div><div><br></div><div>Wajah Dude pun berubah. Jadi sedih. Takut. Manyun. Cemberut. "Hah? Masuk penjara? Siapa yang menzolimi aku begini? Mengapa bisa begini? TIDAAAAAK!!!"</div><div><br></div><div>Adegan berikutnya tentu sang tokoh sedang menunaikan shalat. Berdoa pada Yang Kuasa. </div><div><br></div><div>Setelah itu, lalu ia bangkit, dan mulai lagi ada narasi suara, seiring dengan wajahnya yang mengeras. "Aku tidak boleh menyerah! Jabatan itu adalah hakku! Itu adalah rejekiku! Aku harus melawan!". Biar lebay, ia menonjok tembok sampai tangannya berdarah. </div><div><br></div><div>Maka, iapun berjuang. Menuntut balik. Marah-marah. Mengangkat kepalan keatas, meninju langit sebagai lambang perlawanan. Sikat! Serang! Seorang wanita cantik nampak mengikuti dari belakang. "Aku tahu Mas, kamu pasti bisa..." Bisiknya. Hmmm, dari dandanannya sudah ketahuan, ini orang gak bener nih!</div><div><br></div><div>Akhirnya, kisah pun tidak kunjung selesai karena sebelum sidang pertama dimulai, yang bersangkutan jatuh miskin, mendadak buta, lalu masuk rumah sakit, rujuk dengan istrinya, kemudian kembali kaya lagi. Begitu berulang, sampai tidak terasa, lima tahun berlalu!</div><div><br></div><div>Apa yang dihasilkan? Bendungan? Jalan? Kereta api? </div><div><br></div><div>Bukan. Putri Yang Ditukar dan Tersanjung 27!</div><div><br></div><div>Betul kan apa kata saya. Salahkan Punjabi atas tragedi ini!</div><div><br></div><div><i>Sebuah satir. Kemiripan dengan dunia nyata hanya kebetulan belaka. Sumpah, ini ngarang semua! Foto diambil dari berita2bahasa.com</i></div><div><i><br></i></div><div>Harnaz<div class="separator" style="clear: both;"><br></div></div><div><br></div><div><br></div>Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-9799062612559883112015-01-14T07:07:00.001-08:002015-01-14T07:07:46.470-08:00Kelayakan dan Kepatutan<div><br></div><div><span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><b class="main highlight" style="box-sizing: border-box;"><div class="separator" style="clear: both;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCp2b5LuhQByqwnI5tAhAzRZVdEYcwWHCSt6rl1bXzWiu3LQfmDf_4tY-tlW9kD0PRNG8OP4Ao2JN_Mhoa0SOY0Rw5wIolZLoz1ihqFBwQ3O4DLZwufY2h0LgSEYUVFha9N2rfYi2qNNZD/s640/blogger-image--295863477.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCp2b5LuhQByqwnI5tAhAzRZVdEYcwWHCSt6rl1bXzWiu3LQfmDf_4tY-tlW9kD0PRNG8OP4Ao2JN_Mhoa0SOY0Rw5wIolZLoz1ihqFBwQ3O4DLZwufY2h0LgSEYUVFha9N2rfYi2qNNZD/s640/blogger-image--295863477.jpg"></a></div><br></b></span></div><div><span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><b class="main highlight" style="box-sizing: border-box;">layak <sup style="box-sizing: border-box;">1</sup> <span style="box-sizing: border-box; font-style: italic; font-weight: normal; padding: 0px 3px;">/la·yak /<span style="box-sizing: border-box; padding: 0px 3px;"></span></span></b> <em class="jk" title="adjektiva (kata yang menjelaskan nomina atau Pronomina)" style="box-sizing: border-box; margin: 0px 3px; border-bottom-width: 1px; border-bottom-style: dotted; border-bottom-color: rgb(255, 0, 255); cursor: default;">a</em> <b class="num" style="box-sizing: border-box; padding: 0px 5px; border-top-left-radius: 9px; border-top-right-radius: 9px; border-bottom-right-radius: 9px; border-bottom-left-radius: 9px; text-shadow: rgb(255, 255, 255) 1px 1px 2px;">1</b> wajar; pantas; patut: <em style="box-sizing: border-box;">berikanlah mereka kehidupan yg --;</em> <b class="num" style="box-sizing: border-box; padding: 0px 5px; border-top-left-radius: 9px; border-top-right-radius: 9px; border-bottom-right-radius: 9px; border-bottom-left-radius: 9px; text-shadow: rgb(255, 255, 255) 1px 1px 2px;">2</b> mulia; terhormat: <em style="box-sizing: border-box;">krn jasanya, dia mendapat kedudukan yg --;--</em></span><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><br style="box-sizing: border-box;"><b style="box-sizing: border-box;">pa·tut</b> <em style="box-sizing: border-box;">a</em> <b style="box-sizing: border-box;">1</b> baik; layak; pantas; senonoh: <em style="box-sizing: border-box;">perbuatan baik itu -- dipuji; tidak -- seorang anak melawan orang tua; diperlakukan dng --;</em> <b style="box-sizing: border-box;">2</b>sesuai benar (dng); sepadan (dng); seimbang (dng): <em style="box-sizing: border-box;">rumahnya kurang -- dng jabatannya yg tinggi itu;</em> <b style="box-sizing: border-box;">3</b> masuk akal; wajar: <em style="box-sizing: border-box;">pd hemat saya tuntutan mereka itu tidak boleh dikatakan tidak --;</em> <b style="box-sizing: border-box;">4</b> sudah seharusnya (sepantasnya, selayaknya): <em style="box-sizing: border-box;">orang yg berjasa kpd negara -- diberi penghargaan; penjahat itu -- dihukum seumur hidup;</em> <b style="box-sizing: border-box;">5</b> tentu saja; sebenarnya: --<em style="box-sizing: border-box;"> ia tidak sanggup membayar utang krn uangnya sudah habis;</em></span><br style="box-sizing: border-box; font-family: 'Helvetica Neue', Helvetica, Arial, sans-serif; font-size: 13px; -webkit-text-size-adjust: auto;"></div></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto; background-color: rgba(255, 255, 255, 0);"><em style="box-sizing: border-box;"><br></em></span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Saya bukan ahli undang-undang dan saya bukan ahli ilmu pemerintahan. Jadi, mustahil saya jika ikut membahas isu hangat pemilihan Kapolri dari sisi hukum maupun ilmu pemerintahan. Yang saya lumayan tahu daripada tempe yang lain adalah soal bahasa. Jadi, ijinkan saya menyajikan sedikit pemikiran mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam drama panggung politik paling mutakhir di Indonesia belakangan ini. </span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br></span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Saya menyoroti dari kata-kata yang digunakan untuk melukiskan kriteria pengujian calon pemimpin lembaga negara oleh DPR - bahasa Inggrisnya <i>fit and proper test</i> - dalam bahasa Indonesia adalah uji kelayakan dan kepatutan. Nama uji ini menjelaskan hakikat daripada pengujian yang dilakukan - yakni memastikan bahwa calon yang lulus uji adalah orang yang <i>layak</i> dan <i>patut</i> menduduki jabatan tersebut.</span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br></span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Definisi kata layak ada pada bagian awal tulisan ini, yang diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (kbbi.web.id). Yang pertama artinya adalah wajar - wajarlah kalau seorang polisi menjadi kepala kepolisian, bukan? Masak seorang nelayan yang menjadi kepala polisi! Kemudian arti lainnya adalah pantas. Jika seseorang memiliki karir yang bagus, memiliki usia yang cukup matang, sudah cukup berpengalaman, maka layaklah ia menjabat. </span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br></span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Kata layak juga mengandung makna khusus: sesuatu yang mulia, terhormat. Layak bukan saja berarti sedang, tapi lebih: sesuatu yang luar biasa.</span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br></span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Kata patut mirip dengan kata layak, namun memiliki nuansa lain: kesusilaan. Kata 'senonoh' sepadan dengan patut, yang berarti sesuatu yang tidak hanya benar dan mulia, tetapi juga sesuai dengan norma susila. Arti berikutnya adalah sepadan dan seimbang, bahwa kemampuan seseorang seimbang dengan jabatannya. </span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br></span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Arti kata patut kemudian bertambah: wajar dan masuk akal. Artinya dalam batas kewajaran - walaupun seorang anak jenius usia 12 tahun mungkin layak menduduki jabatan, tapi belum tentu masuk akal atau wajar. Lalu arti berikutnya adalah sudah seharusnya atau sepantasnya: sudah sepantasnyakah sebuah jabatan dipangku oleh yang bersangkutan? </span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br></span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Kata layak dan patut jauh lebih kaya daripada <i>fit</i> dan <i>proper</i> dalam bahasa Inggris. Dalam kedua kata ini terkandung sebuah ukuran nilai, norma, susila, dan kewajaran. Baik saja tidak cukup, pandai saja tidak bisa. Ada nilai kesempurnaan disana, yang dituntut dari sebuah jabatan. </span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br></span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Menurut Anda, apakah prinsip kelayakan dan kepatutan terpenuhi?</span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br></span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Salam,</span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br></span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;">Harnaz</span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><span style="-webkit-text-size-adjust: auto;"><br></span></div><div class="sublema" style="box-sizing: border-box;"><br></div>Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-42334267400831943122014-11-14T07:41:00.000-08:002014-11-14T07:48:23.094-08:00Ganti Nama Koalisi DPR!<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhE2AZVTr-6fKn98cEGtf9wGYohsV_VpIWNF7JpwXcJOr-_4r-RRNSxHShhwEuyaID5E4BoF5vvtKnPtsRZW0aYxM-xZIHTqla6OK2xzpLFd0TpqpURxnYGPzKjbzaLOS6q7k3pqn9MmS_4/s1600/Untitled-1.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhE2AZVTr-6fKn98cEGtf9wGYohsV_VpIWNF7JpwXcJOr-_4r-RRNSxHShhwEuyaID5E4BoF5vvtKnPtsRZW0aYxM-xZIHTqla6OK2xzpLFd0TpqpURxnYGPzKjbzaLOS6q7k3pqn9MmS_4/s1600/Untitled-1.jpg" height="160" width="400" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;"></span></span> </div>
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;"></span></span><br />
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Kondisi DPR saat ini masih ricuh. Walaupun tuntutan rakyat
sudah jelas, bahwa yang diinginkan adalah jabat tangan dan kerja sama, tapi
yang ada baru jabat tangannya saja. Kerja sama-nya belum. Bahkan kelihatan
sulit sekali, kedua kubu masih saling klaim, saling serang. Sepandai apapun
seorang politisi menyembunyikan perasaannya dengan senyum ketika berjabat
tangan sambil disorot TV, tetap saja publik bisa melihat keengganan dan
kepalsuan senyumnya. Apakah sebabnya bisa sampai begini? Adakah jalan
keluarnya?<o:p></o:p></span></span><br />
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Ada satu usulan yang sangat mudah dan sederhana yang ingin
saya sampaikan. Yakni: ganti nama koalisi DPR, jangan MERAH PUTIH atau
INDONESIA HEBAT. Mengapa? Sebegitu pentingnyakah sebuah nama?<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Nampaknya, ya. Prof. Daniel Kahneman adalah seorang profesor
psikologi yang memenangkan hadiah Nobel 2002 melalui penelitiannya di bidang
perilaku manusia dalam kegiatan ekonomi. Dalam bukunya, “Thinking Fast and Slow”
(2011, Farrar, Straus and Giroux), Kahneman berbicara mengenai sesuatu yang
disebut <i style="mso-bidi-font-style: normal;">anchoring</i>. Fenomena <i style="mso-bidi-font-style: normal;">anchoring</i> adalah memprovokasi alam bawah
sadar melalui sebuah kata atau gambar tertentu, yang kemudian mempengaruhi
keputusan seseorang.<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Misalnya begini. Pernahkah Anda pergi ke supermarket dengan
rencana membeli gula, tetapi membawa pulang dua karton jus jeruk? Ketika sampai
di rumah, Anda bingung sendiri. Kenapa jadi beli jus jeruk? Tentu saja – faktor
yang mempengaruhi alam bawah sadar Anda sudah tidak ada, karena Anda ada di
rumah. Tetapi di supermarket, kebetulan perusahaan jus jeruk menempel gambar
besar-besar dimana-mana. Gambar jeruk segar, yang terbelah, oranye mempesona.
Tulisannya pun menggoda: “Minumlah jus jeruk, agar tubuh Anda segar seketika!”.
Tiba-tiba, Anda merasa haus. Tiba-tiba, Anda kepingin sekali jus jeruk. Inilah
kekuatan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">anchoring</i>!<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Tidak hanya dengan gambar, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">anchoring</i> juga bisa berlaku pada kata-kata. Itulah sebabnya
perusahaan periklanan sudah tahu sejak lama untuk menghindari kata-kata negatif
dalam iklan. Misalnya, daripada berkata “jangan membuang sampah sembarangan”,
lebih baik berkata “buahlah sampah pada tempatnya”. Terasa lebih sopan bukan?
Kata “jangan” berkonotasi melarang, galak, sok tahu. Sementara “buahlah” lebih
akrab, berupa ajakan, dan mengandung empati. <o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Ingatkah kita, darimana asal nama MERAH PUTIH dan INDONESIA
HEBAT?<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Ya – dari pertarungan pemilihan presiden paling sangar
sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sebuah pertarungan yang diakhiri dengan
kemenangan tipis, melalui penyangkalan demi penyangkalan sampai hampir
menghentikan ekonomi negara. Pertarungan penuh siasat, yang menempatkan rakyat
melawan rakyat, kawan atau lawan.<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Apa yang terjadi jika slogan pemilihan presiden yang sudah
usai, dan harusnya beres, kini dipakai lagi di DPR? Kata ‘MERAH PUTIH’ akan
memprovokasi alam bawah sadar baik sisi kawan maupun lawan, yang dilawan dengan
‘INDONESIA HEBAT’ yang sama buruknya. Padahal, sejak dulu Panwaslu sudah mahfum
mengenai efek ini. Itulah sebabnya ada minggu tenang sebelum pemilu, dimana
semua slogan, kata-kata kampanye, foto, dan iklan partai dihapus. Supaya
pikiran rakyat kembali tenang, tidak dipengaruhi slogan apapun, dan bisa
memilih sesuai dengan nuraninya. <o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Jika Pilkades saja menerapkan minggu tenang, mengapa di
tingkat nasional justru slogan pilpres digunakan terus sampai ke DPR? Dengan
memori begitu buruk, bagaimana DPR bisa damai jika masih ‘meneruskan’ nama dan
perseteruan pilpres yang sudah usai?<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Mari kita usulkan untuk mencoba mengganti nama koalisi.
Sebuah langkah sederhana yang tidak sulit bukan? Misalnya, KOALISI BERSATU dan
pihak lainnya KOALISI KEBANGSAAN. Biar semua benar-benar mulai sesuatu yang
baru, dan melangkah bersama dengan identitas baru: sesama anak bangsa yang
saling membantu satu sama lain, demi rakyat. <span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Harnaz</span> <o:p></o:p></span></div>
</div>
Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-80597625865457968962014-10-28T04:50:00.000-07:002014-10-28T05:00:40.337-07:00Bahasa Indonesia dan Sumpah Pemuda<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt; text-align: left;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah
darah<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>jang satoe, tanah Indonesia.<o:p></o:p></span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: large;"></span><br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt; text-align: left;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang
satoe, bangsa Indonesia.<o:p></o:p></span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: large;"></span><br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt; text-align: left;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean,
bahasa Indonesia<o:p></o:p></span></span></div>
<div style="text-align: left;">
<span style="font-size: large;"></span><br /></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt; text-align: left;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Soegondo, Batavia, 28 Oktober 1928<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_GnjJZOacP3JH4S0lw9Zf32akYPmWfm_6CpLCCvgTdZhwIN68DHwKiW1bhnnfwJfWNS4zdNhILBZvv1mfP3BnIv_AN-gkaKJA7q3ovWMauLJl4Z1kJVIB312eXd96_lOG_YkeinOlv_Fk/s1600/1024px-MuseumSumpahPemuda-15-Jong_Java.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEj_GnjJZOacP3JH4S0lw9Zf32akYPmWfm_6CpLCCvgTdZhwIN68DHwKiW1bhnnfwJfWNS4zdNhILBZvv1mfP3BnIv_AN-gkaKJA7q3ovWMauLJl4Z1kJVIB312eXd96_lOG_YkeinOlv_Fk/s1600/1024px-MuseumSumpahPemuda-15-Jong_Java.jpg" height="212" width="320" /></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<o:p><span style="font-family: Calibri;"> </span></o:p></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Sadarkah Anda, bahasa bahasa Indonesia adalah harta yang
begitu penting yang kita miliki? Tanah bisa dipecah, bangsa bisa terbelah.
Tetapi bahasa tetap menjadi perekat dan pemersatu bangsa, sampai hari ini. <o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Tahukah Anda, bahwa hanya ada dua negara yang ‘membuat’
bahasanya sendiri di dunia ini: Korea dan Indonesia? Bahasa dan aksara Korea
terbentuk selama ratusan tahun, sementara bahasa Indonesia disahkan dan
digunakan hanya dalam waktu 69 tahun. Namun, bahasa ini telah memiliki 30 juta
penutur asli dan 230 juta penutur saat ini. Luar biasa!<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Saya pernah ke India, dimana saya menyaksikan dua orang
India hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa mantan penjajah mereka, yakni
Inggris. Ketika saya ditemani rekan saya asal Kalkuta untuk terbang ke Tamil
Nadu di India Selatan, teman saya sama turisnya dengan saya: di Selatan,
bahasanya sudah bukan Hindi lagi. Bahkan tulisannya pun tidak bisa dia baca!
Saya bersyukur, bahwa sebagai orang Indonesia, kemanapun saya pergi di
Indonesia, saya bisa berbicara bahasa Indonesia. <o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Tahukah Anda darimana asal-usul bahasa Indonesia? M. Yamin
dalam Kongres Pemuda Kedua yang menghasilkan Sumpah Pemuda, berkata bahwa hanya
ada dua bahasa yang bisa dijadikan bahasa persatuan: bahasa Jawa dan bahasa
Melayu rendah. Kemudian, beliau menyimpulkan bahwa bahasa Melayu rendah atau
Melayu pasar inilah yang lebih luas jangkauannya dan lebih cocok menjadi bahasa
pergaulan. <o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Bahasa Melayu sebenarnya berasal dari Sungai Batanghari di
Jambi. Kerajaan Hindu-Buddha Malayu pada abad ke-7 Masehi di Batanghari adalah
pelopor bangsa Melayu, yang kemudian menyebar sampai ke semenanjung Malaysia.
Dari sanalah tumbuh bahasa Melayu Tinggi, yang lebih dekat dengan Bahasa
Malaysia sekarang ini. Titik pentingnya adalah pertengahan abad ke-19 ketika
Raja Ali Haji dari Kerajaan Riau – Johor membuat kamus pertama untuk Bahasa
Melayu, mematenkannya menjadi bahasa resmi sepenuhnya. <o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Bahasa Indonesia, jelas berbeda dengan bahasa Melayu.
Perbedaannya lebih jauh dari dialek Austria, Swiss, dan Jerman Tinggi
(hochdeutsch) di Eropa. Semua orang Indonesia paham bahwa kalau ke Malaysia,
lebih baik berbicara bahasa Inggris karena kita akan bingung mendengar hari
bulan, telepon kecemasan, dan rumah sakit korban lelaki. Jika demikian, pada
titik mana bahasa Indonesia dan bahasa Melayu berpisah?<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Alkisah, tahun 1928, ketika M. Yamin memaklumkan Sumpah
Pemuda, adalah bersamaan dengan periode keemasan sebuah bentuk sastra sempalan
Melayu, yakni sastra Melayu Tionghoa. Pada masa ini, setiap bulan terbit cerita
bulanan dan satu novel berbahasa Melayu Tionghoa, dari Batavia, Semarang, dan
kota-kota lainnya. Walaupun namanya ‘Tionghoa’, namun tidak semua penggiatnya
beretnis Tionghoa. Kata ini merujuk pada asal penuturnya yakni orang Tionghoa,
namun kemudian diadopsi oleh kaum Pribumi dan memiliki tokoh Pribumi seperti R.M.
Tirtoadisoerjo, Semaoen, dan Mas Marco Kartodikromo. <o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Mengapa disebut Melayu pasar? Karena bahasa ini memang lahir
di pasar. Kota multietnis seperti Batavia, tidak bakal bisa berinteraksi jika
tidak ada bahasa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">lingua franca</i> atau
bahasa perdagangan. Dan siapakah yang ada di pasar? Orang-orang Tionghoa tentu
saja! Kaum yang sejak jaman politik segregasi Belanda diberi tugas mengurus
perdagangan. Dan darah sastra dari Tiongkok, meskipun kini sebagian besar tidak
lagi bisa berbahasa Mandarin, masih kuat mengalir ketika tahun 1856 Belanda
mencabut sensor pers. Maka bermunculanlah koran dan media cetak berbahasa
Melayu pasar, yang dimiliki, dan digiati, baik oleh kaum Pribumi dan kaum
Tionghoa. Dan dari sinilah mulai tumbuh sempalan bahasa baru: Bahasa Indonesia!<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Bagaimana dengan anggapan bahwa bahasa Indonesia berasal dari
Kepulauan Riau? Jika Anda pernah ke Riau, Anda pasti mahfum bahwa bahasa daerah di
Kepulauan Riau lebih mirip melayu Malaysia daripada bahasa Indonesia. Tapi, ada
apa di Kepulauan Riau? Sejak dahulu, dari Natuna sampai Kuala Tungkal, dari
Pangkalpinang sampai Tanjungpinang, terdapat titik-titik perdagangan dan jaringan
perkapalan yang memiliki banyak populasi orang Tionghoa. Disini antara penggiat
melayu Pribumi dan Tionghoa berinteraksi membentuk sebuah bahasa perdagangan,
Melayu Tionghoa, atau Melayu Pasar, cikal-bakal bahasa Indonesia!<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Jika Raja Ali Haji adalah pahlawan yang mematenkan Bahasa
Melayu, lalu siapakah tokoh mirip bagi bahasa Indonesia? Adalah seorang
bernama Lie Kim Hok, yang dilahirkan tahun 1853 di Buitenzorg (Bogor sekarang)
dan menguasai bahasa Sunda, Melayu, dan Belanda. Beliau merasa terganggu karena
varian Melayu yang digunakan di Batavia mulai berantakan tanpa tata bahasa. Untuk
itu, tahun 1884 ia menerbitkan sebuah buku 116 halaman berjudul “Malajoe
Batawi: Kitab deri hal Perkataan-perkataan Malajoe, Hal Memetjah Oedjar-Oedjar
Malajoe dan Hal Pernahkan Tanda-Tanda Batja dan Hoeroef-Hoeroef Besar”. Lie Kim
Hok adalah orang pertama yang mematenkan aturan Melayu Pasar, atau disebut
Melayu Betawi, dalam sebuah buku tata bahasa, dan membuat terobosan secara
linguistik menjadi bahasa baru. Bahasa inilah yang kemudian berkembang menjadi
Bahasa Indonesia. <o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Kita harus bersyukur dan bangga dengan bahasa kita, bahasa
Indonesia. Dan melalui sejarahnya, kita menyadari, bahwa terbentuknya Indonesia
sekarang adalah hasil dari perjuangan setiap unsur masyarakatnya, tanpa
kecuali. Merdeka!<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<span style="font-size: large;">Harnaz281014</span></div>
Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-58265817030831828512014-10-27T08:19:00.003-07:002014-10-27T08:22:06.120-07:00Depriyayinisasi Menteri di Indonesia<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyQfSPUf54J-egltWAFiPAUpsTdKRkSN0RoWXLXOBV8CgdNimH5JRufC4crsVWXhFK-P50Lu1kNImVSi8lrxFpV-ScWI4FDoMSPMQZLWvc11TL5XteVtGAoxX5F95BRTYisHfv5Exvgqw9/s1600/Jokowi.png" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyQfSPUf54J-egltWAFiPAUpsTdKRkSN0RoWXLXOBV8CgdNimH5JRufC4crsVWXhFK-P50Lu1kNImVSi8lrxFpV-ScWI4FDoMSPMQZLWvc11TL5XteVtGAoxX5F95BRTYisHfv5Exvgqw9/s1600/Jokowi.png" /></a></div>
<span style="font-family: Calibri;"></span><br />
<span style="font-family: Calibri;">Seperti biasa, terjadi pro dan kontrak terkait pengumuman
menteri Kabinet Kerja Pak Jokowi – Kalla. Ada yang suka, ada yang tidak, ada
yang mulai mengkritik dari soal rokok sampai soal gaya bicara yang kikuk.
Tetapi, marilah kita melihat dari sisi lain. Ada sebuah terobosan penting yang
terjadi pada hari Minggu, 26 Oktober 2014, yakni depriyayinisasi menteri
Indonesia. <o:p></o:p></span><br />
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Secara definisi, priyayi adalah golongan masyarakat Jawa keturunan
dari adipati dan gubernur yang ditunjuk oleh Sultan Agung, raja Mataram, pada
abad ke-17. Dari sudut aristokrasi Belanda, para priyayi disebut sebagai ‘bangsawan
jubah’ (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">nobles of the robe</i>), yakni
orang yang mendapatkan status karena merupakan keturunan dari seseorang yang
memiliki jabatan administratif. Mereka selama berabad-abad mendedikasikan hidup
bagi pekerjaan administratif dan pemerintahan, bekerja dengan pengabdian kepada
Sultan. Prinsip priyayi adalah lebih baik halus daripada kasar, lebih
mementingkan batin daripada lahir.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Selama penjajahan Belanda, terjadi perubahan perlahan-lahan
terhadap budaya priyayi. Belanda tidak pernah mencengkeram Indonesia kuat-kuat
dalam masa penjajahannya. Tetapi, Belanda menggunakan pemerintah lokal – para
bangsawan dan priyayi – untuk memerintah. Maka, terjadi pergeseran dalam budaya
priyayi. Jika sebelumnya priyayi didasari dedikasi luhur pada Sultan, kini
dedikasi adalah untuk Belanda. Belanda pula yang memutuskan, apakah seorang
priyayi ‘diangkat’ atau ‘dicopot’.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Dari titik ini, hubungan antara jabatan dan kinerja mulai
memudar. Setelah diangkat menjadi pejabat, seorang priyayi ‘disanjung’ oleh
sederet fasilitas. Ia dipilih karena trah, bekerja karena anugerah. Ia terlatih
untuk berada dalam rata-rata – tidak terlalu menonjol karena akan bahaya jika
terlihat Belanda, tidak juga terlalu kejam karena menimbukan protes warga yang
sekali lagi akan menarik perhatian Belanda. Memang, ada satu-dua yang berani
membela rakyat. Tetapi, mayoritasnya, aman-aman saja. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Inilah ‘menteri’ jaman dahulu. Seorang yang dipilih oleh
Presiden karena jasanya pada negara. Sebuah proyek balas budi, setelah berjuang
demi kemerdekaan. Sebuah posisi penuh fasilitas yang bisa dinikmati asal adem
ayem saja. Tidak perlu capek-capek berprestasi. Sekali lagi, ada satu-dua
pengecualian. Tetapi, mayoritasnya adalah program yang mogok dan rencana kerja yang
jalan di tempat.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Rekan saya dari Inggris, terheran-heran melihat
iring-iringan patwal yang mengawal menteri yang akan menghadiri seminar di
hotel tempat kami menginap. “How many police officers are constantly guarding
your minister?” katanya. Kami hitung: dua motor di depan, dua motor di
belakang, satu mobil Fortuner berisi 4 orang. Delapan! Ini baru patwalnya,
belum lagi ‘jajaran’-nya yang hadir beberapa jam sebelumnya. Jika dihitung,
bisa 14 orang totalnya! “In the UK, the ministers had to take the Tube to avoid
traffic!” kata teman saya yang memang sinis. Tapi, itulah kenyataan di
Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Sampai, saat Pak Jokowi mengumumkan menteri Kabinet Kerja.
Minggu, 26 Oktober 2014. Pak Jokowi memutus tradisi menteri dan kementerian
kita, dengan melakukan de-priyayi-nisasi jabatan menteri. Yang ada hanya tim
yang siap kerja, seperti kick-off meeting sebuah project. Para menteri – baik politisi
senior, cucu mantan presiden, maupun konglomerat terkenal, semua menurut pada
presiden, berbaju putih, dan berlari kecil menuju barisan. Siap kerja, tanpa
batik mewah eksklusif atau jamuan makan malam indah. Pengumumannya pun dilakukan
di halaman – bukan di gedung-gedung mewah seperti biasa. Para menteri tidak <i style="mso-bidi-font-style: normal;">sowan</i> ke Bapak Presiden, tetapi
memandang Presiden sebagai direktur. Ketika wartawan mau mewawancara direktur,
maka Pak Jokowi pun mengarahkan untuk bicara langsung dengan para manajer.
Langsung dengan para menteri. Soalnya, kini tugas direktur – Presiden Jokowi –
hanya memberikan arahan. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Saya rasa, ini merupakan terobosan yang harus diapresiasi.
Kabinet Kerja memutus rantai ratusan tahun yang menghantui kinerja
administratif pemerintahan Indonesia. Kini, menteri adalah manajer, pekerja,
yang dinilai berdasarkan prestasi dan kinerjanya. Jabatannya tidak dari langit,
bukan anugerah, tetapi hasil komitmen, dan harus berprestasi jika ingin
mempertahankan jabatannya. Jika, tidak berprestasi, maka – layaknya seorang
manajer – bisa dipecat oleh atasannya. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Semoga, terobosan ini disambut oleh para menteri yang
berlomba-lomba memberikan kinerja yang baik. Tidak perlu lagi mengandalkan
posisi rata-rata, karena sekarang justru yang rata-rata yang akan dibuang!<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Selamat bekerja Kabinet Kerja, kami menanti kerja keras Anda
semua!<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Harnaz - 27102014 <o:p></o:p></span></div>
</div>
Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-19428922943167990762014-10-03T18:30:00.004-07:002014-10-03T18:33:09.139-07:00Hati-hati Amerikanisasi Demokrasi kita!<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Apa itu Amerikanisasi? Bukan, saya tidak berbicara mengenai
antek-antek. Saya berbicara soal demokrasi Amerika yang kini sedang rusak, dan
resiko rusak ini yang menjalar ke Indonesia!<o:p></o:p></span></span><br />
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Kok bisa demokrasi Amerika Serikat rusak? Ya – seperti ditulis
oleh William Liddle, seorang indonesianis asal Ohio, dan juga banyak pengamat
politik lainnya di AS: demokrasi di negara itu sedang ‘sakit’. Sejak jaman
George W. Bush, sampai kemudian Barrack Obama, terjadi trend yang disebut ‘partisan’.
Desain demokrasi sebenarnya adalah kekuasaan mayoritas dalam pemilihan umum.
Artinya, yang mayoritas berhak memilih pemimpin sendiri sehingga tidak terjadi
kekuasaan despot, abadi, atau tirani. <o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Tetapi, apa yang terjadi kalau tidak ada mayoritas? Kalau
setiap pemilu suaranya 40:40 dengan 20 persen saja yang belum memutuskan? Yang
20% ini namanya <i style="mso-bidi-font-style: normal;">swing vote</i>. Dan dalam
demokrasi yang ‘sakit’, yang menentukan siapa pemimpin masa depan justru 20%
ini, dan bukan mayoritasnya!<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Mengapa ini bisa terjadi? Memang, Amerika Serikat menganut
sistem dua partai saja, Demokrat dan Republik. Tapi, masalah utama yang
sangat cepat ‘membusukkan’ demokrasi, adalah semangat partisan. Maksudnya apa?
Partisan artinya pemilih – rakyat – memilih partai karena fanatisme semata,
bukan karena kinerja, program, atau prestasi. Jadi, salah benar, bejat suci,
partai saya adalah A. Dan Partai A selalu terbaik, selalu didukung, apapun yang
terjadi. Inilah yang disebut partisan. Semangat demokrasi adalah memilih yang
terbaik sehingga kalau fanatik begini, sistemnya tidak akan berjalan.<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Terjadilah kemudian apa yang disebut sebagai ‘tirani
demokrasi’. Saya pernah mengobrol dengan rekan dari Afrika. Dan saya bertanya,
di Afrika banyak negara demokratis, yang mengadakan pemilu rutin, namun tetap
dihantui kemiskinan, kekejaman, dan tirani. Mengapa demikian? Dia menjawab,
karena sistem demokrasi disana dirusak oleh partisan berdasarkan suku. Artinya,
suku membuat partai, dan setiap anggota suku <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>fanatik memilih partainya. Akibatnya: yang
menang pemilu selalu suku mayoritas, betapapun bejat pemimpinnya! Bagaimana
jika suku minoritas bosan ditindas? Mereka harus memberontak, membentuk negara
baru, dimana mereka mayoritas. Baru bisa berkuasa!<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Inilah yang disebut tirani demokrasi, yang bisa terjadi di
Indonesia!<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Indonesia memang beruntung, tidak memiliki kecenderungan
partai sesuku dan sistemnya multipartai. Namun, polarisasi pilpres 2014 yang
diwarnai perang media dan urat syaraf politik, yang buntutnya masih kita
rasakan sekarang. Jika dulu kita tidak punya oposisi, mengandalkan musyawarah
mufakat, kini parlemen kita terkotak dengan jelas dan orang malah bangga
dibilang ‘oposisi’ – dan tentu saja beliau akan beroposisi tanpa tedeng
aling-aling! Hal seperti ini, belum pernah terjadi di Indonesia, negri musyawarah mufakat. Kondisi ini harus
dicegah!<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri; font-size: large;">Kita harus ingat, bahwa inti demokrasi adalah memilih
pemimpin yang terbaik – tidak berdasarkan suku, agama, fanatisme politik, atau
alasan lainnya. Semangat inilah yang membuat negara-negara demokratis menjadi yang termaju dan termakmur di dunia. Tetapi iika ini tidak dilakukan, maka demokrasi tidak berjalan –
apapun namanya, bahkan di Negeri Paman Sam sekalipun! Kuncinya, rakyat jangan mudah
tertipu mesin media partisan (media yang mendukung fanatisme partai). Tetaplah
melihat suatu masalah dengan kepala jernih, dan berpendapat untuk kepentingan
kita sendiri. Supaya demokrasi yang kita perjuangkan sepenuh hati ini, tidak
rusak sebelum kita nikmati!</span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"></span><span style="font-size: large;"> </span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri; font-size: large;">Mari kita tolak partisan. Kita tolak partai-partaian. Kita tetap satu, mengawasi pemimpin kita yang sedang berkuasa. Dan ingat ketika waktunya untuk memilih - pilihlah dengan bijak! Ingat, di luar sana sekarang, ada yang rela mati demi mendapatkan apa yang kita nikmati sekarang. Mari kita nikmati dengan bijak dan pastikan demokrasi membawa Indonesia gemilang!</span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Jakarta, 4 Oktober 2014<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="font-size: large;">Harnaz<o:p></o:p></span></span></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<o:p><span style="font-family: Calibri; font-size: large;"> </span></o:p></div>
<span style="font-size: large;"></span><br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span><o:p></o:p></span></div>
</div>
Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-62230982144618529102014-09-27T03:41:00.001-07:002014-09-27T03:41:59.640-07:00Demokrasi dan Intuisi Kita<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<span style="font-family: Calibri;">Kebetulan, tanggal 25 September 2014, saya menonton ulang
salah satu film kesukaan saya, berjudul ‘Lincoln’ (2012) yang disutradarai oleh
Steven Spielberg. Sepanjang sejarah, sangat sedikit film yang membahas khusus
mengenai produk undang-undang, dan ini adalah salah satu yang terbaik. Film
‘Lincoln’ tidak membahas Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke 16,
melainkan membahas kelahiran Amandemen ke 13 Konstitusi Amerika Serikat, yang
kemudian dikenal sebagai undang-undang yang melarang perbudakan. <o:p></o:p></span><br />
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Film ini menyajikan drama pengesahan amandemen konstitusi di
House of Representative (DPR) yang sangat menarik, mirip dengan yang kita
saksikan belakangan ini di DPR kita. Bahkan di tahun 1865, strategi perjuangan
menuju pengesahan produk perundangan sudah terjadi: ada dua kubu berseteru, ada
pelobby, ada transaksi, ada negosiasi. Disinilah keindahan film ini, yang
begitu jujur menampilkan sisi busuk dari sebuah proses politik. Busuk, namun
menghasilkan produk yang baik. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Dari proses pengesahan Amandemen ke-13, peranan Presiden
Abraham Lincoln sangat dominan. Beliau menerima tantangan berat dalam
perjuangannya. Fraksinya kalah suara di parlemen, Perang Saudara yang sedang
berkecamuk juga menambah bebannya. Tapi, ia dengan gigih memperjuangkan
Amandemen ke-13 – bahkan mempertaruhkan reputasinya sendiri dengan ‘berbohong’
mengenai delegasi dari Negara Konfederasi yang ingin berdamai. Apa yang membuat
Lincoln begitu gigih memperjuangkan penghapusan perbudakan? <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">“Intuisi” kata Lincoln ketika berkali-kali ditanya mengenai
hal ini. Intuisi, bahwa sebenarnya esensi demokrasi yang dijunjung tinggi oleh
Konstitusi Amerika Serikat bertentangan dengan asas perbudakan. Intuisi, bahwa
hak yang sama untuk semua warga negara harusnya berlaku juga bagi warga kulit
hitam. Intuisi, bahwa kemerdekaan yang begitu kuat diperjuangkan oleh imigran
kulit putih Amerika Serikat, harusnya juga berlaku bagi imigran kulit hitam dan
semua bangsa. Lincoln kemudian meminta anggota Senat mendengarkan ‘intuisi’
mereka masing-masing sebelum melakukan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">voting</i>.
Apakah perbudakan itu sejalan dengan asas demokrasi yang begitu mereka junjung
tinggi, atau berlawanan?<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Dengan intuisi inilah kemudian Amandemen ke-13 disahkan
tanggal 31 Januari 1865. Ada pro, ada kontra, kondisi riuh, dan kesamaan hak
antar ras baru 200 tahun kemudian bisa benar-benar dihapuskan. Tapi, kubu
pro-Amandemen menang. </span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Jakarta, 25 September 2014. Sayang sekali, kita tidak punya
Abraham Lincoln, yang rela berjibaku demi tercapainya sebuah idealisme
demokrasi. Kita juga tidak punya Thaddeus Stevens, seorang senator yang gigih
memperjuangkan amandemen. Yang kita punya adalah usaha Koalisi Merah Putih untuk
menggusur pilkada langsung, tindakan walk-out dari Partai Demokrat yang
melancarkan tindakan ini, dan diketoknya palu yang mengecewakan rakyat. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Konon, toh demokrasi bisa melalui mekanisme demokrasi.
Toh, negara-negara maju lainnya juga menggunakan sistem representasi. Malahan,
pilihan langsung melanggar sila ke-4 Pancasila. Apakah benar begitu?<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Mari kita bicara mengenai ‘intuisi’ dalam penafsiran demokrasi.
Inilah yang menjadi pegangan Lincoln dan Thaddeus Stevens dalam memperjuangkan
Amandemen ke-13. Ini pula yang perlu kita pegang dalam menilai keabsahan
pilkada langsung. Secara intuitif, apakah pemilihan kepala daerah secara
langsung sejalan dengan demokrasi, atau bertentangan?<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Demokrasi dalam bahasa Yunani berarti ‘kekuatan rakyat’.
Lawan katanya adalah aristokrasi yang artinya ‘kekuatan elit’. Kekuatan rakyat
diterjemahkan sebagai kondisi dimana warga negara memiliki hak setara dalam
pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka (</span><a href="http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi"><span style="color: blue; font-family: Calibri;">http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi</span></a><span style="font-family: Calibri;">).
Maka, secara intuitif, semakin definitif warga negara bisa menentukan pilihan
pemimpinnya, semakin ideal pelaksanaan demokrasi di negara tersebut. Bukan
berarti demokrasi tidak bisa terwujud tanpa representasi – tetapi demokrasi pemilihan
langsung adalah bentuk demokrasi yang lebih murni. Karena melalui representasi ,
elit DPR dan DPRD sangat bisa kemudian berubah menjadi aristokrasi – kekuasaan
golongan elit semata. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Tadinya saya berencana menulis artikel untuk melaporkan
gilang gemilang kemenangan pilihan langsung rakyat untuk pilkada, dan
menyamakannya dengan Amandemen ke-13 Konstitusi Amerika Serikat. Sayangnya,
sejarah berkata lain. Mungkin, intuisi para wakil rakyat di Senayan berbeda
dengan intuisi saya, seorang warga negara biasa...</span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Jakarta, 27 September
2014<o:p></o:p></span></div>
</div>
Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-18654009557294435382014-09-21T09:32:00.000-07:002014-09-21T09:32:36.094-07:00Bernegara di Jalanan Kita<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Kunjungan sahabat saya untuk pertama kali ke Indonesia
baru-baru ini membuat saya terhenyak. Mereka berasal dari sebuah negara maju di
Eropa, dan kami sudah kenal bertahun-tahun. Saya selalu ‘mengiklankan’ betapa
indahnya Indonesia kepada mereka, sampai 12 tahun setelah kami pertama kali
berkenalan, akhirnya mereka memberanikan diri terbang ke Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Yang membuat saya terhenyak bukan reaksi mereka ketika
mencicipi petai goreng atau melihat kawah berasap di Bandung. Tetapi, reaksi
mereka terhadap kondisi lalu lintas di Indonesia. Betapapun saya menjelaskan supaya
mereka jangan kuatir, bahwa saya sudah bisanya berkendara di neraka ini, tidak
membuat mereka nyaman. Motor, mobil, pejalan kaki, mendadak melintas,
menerobos... neraka! Metromini berhenti semaunya. “Mengapa minibus itu
berhenti? Apakah dia tidak peduli pada mobil yang mengantri dibelakangnya?”
tanya teman saya. “Mengapa polisi membiarkannya terjadi?” tanyanya lagi. Saya
bingung mau menjawab apa. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Ingatkah Anda, kapan terakhir jalanan kita ‘berwibawa’?
Ingatkah Anda, kapan kita berkendara dengan nyaman, polisi ditakuti karena
jujur dan menegakkan peraturan, dan lalu lintas teratur rapi? Saya ingat di
tahun 1980-an, jalanan kita masih relatif berwibawa. Semua pengendara motor
wajib menggunakan helm. Sepeda motor berjalan di jalur paling kiri. Menerobos
lampu merah adalah pelanggaran besar. Melawan arus apalagi!<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Sekarang, bolehkah saya berargumen, bahwa kemajuan suatu
negara bisa dinilai dari lalu lintasnya? Siapa yang tertib, seperti Singapura,
Malaysia, Austria, berarti negaranya maju. Yang berantakan, seperti India,
Bangladesh, Pakistan, berarti belum maju.<span style="mso-spacerun: yes;">
</span>Nah, kalau saya boleh bertanya, apakah Indonesia mengalami kemajuan atau
kemunduran sejak tahun 1980-an?<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Jika Anda berpendapat lalu lintas tidak penting untuk
dibenahi, nanti dulu. Di bawah ini ada beberapa poin mengenai lalu lintas kita
yang perlu kita cermati:<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="margin: 0in 0in 0pt 0.5in; mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -0.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;"><span style="font-family: Calibri;">1.</span><span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font: 7pt/normal "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Calibri;">Lalu lintas menunjukkan budaya. Apakah Indonesia
bangsa yang beradab atau biadab? Mohon maaf, jika menilai dari perilaku bangsa
kita di jalan raya, yang terakhir lebih tepat, terutama di kota besar. Kalau
ingin menunjukkan Indonesia beradab dan berbudaya, marilah mulai dari jalan
raya! Niscaya setiap tamu asing menghargai keteraturan kita, bukan
geleng-geleng melihat absennya aturan di jalanan kita. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0pt 0.5in; mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -0.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;"><span style="font-family: Calibri;">2.</span><span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font: 7pt/normal "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Calibri;">Jalan raya adalah simbol kewibawaan negara.
Dimanakah hadirnya negara dalam kehidupan kita? Diluar urusan setahun sekali
seperti KTP atau bayar pajak, negara hadir tiap hari dalam perjalanan kita.
Diantara mobil saya dan mobil sebelah, ada negara yang mengatur. Dan, kinerja
negara pun paling mudah dinilai dari sini. Jika negara absen di jalan raya,
mungkin saja negara sudah tidak ada bagi rakyatnya!<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0pt 0.5in; mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -0.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;"><span style="font-family: Calibri;">3.</span><span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font: 7pt/normal "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Calibri;">Citra polisi perlu diperbaiki di jalan raya. Ya!
Jujur saja, dimanakah Anda paling sering melihat seorang berseragam kepolisian?
Densus 88? Brimob? Bukan – polisi lalu lintas tentu saja. Ingin memperbaiki
citra kepolisian? Mulailah dari polisi lalu lintas! Disinilah kepolisian
memiliki jendela dimana setiap rakyat bisa melihat dan menilainya, setiap hari.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin: 0in 0in 0pt 0.5in; mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -0.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;"><span style="font-family: Calibri;">4.</span><span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font: 7pt/normal "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Calibri;">Angkutan umum perlu jadi teladan di jalan raya.
Ini yang saya tak habis pikir – mengapa di Jakarta semua bus, metromini, dan
kopaja ‘kebal hukum’? Mereka bisa membunuh siapa saja, melempar penumpangnya di
tengah jalan, dan tidak ada yang menyentuhnya. Di negara maju, angkutan umum
justru adalah teladan penegakan hukum. Merekalah simbol kehadiran negara,
simbol tegaknya undang-undang. Apakah segitu susahnya menertibkan bus dan
konco-konconya yang sebenarnya dijalankan atau diatur oleh BUMD atau negara? <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin: 0in 0in 10pt 0.5in; mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -0.25in;">
<!--[if !supportLists]--><span style="mso-bidi-font-family: Calibri; mso-bidi-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-list: Ignore;"><span style="font-family: Calibri;">5.</span><span style="font-size-adjust: none; font-stretch: normal; font: 7pt/normal "Times New Roman";">
</span></span></span><!--[endif]--><span style="font-family: Calibri;">Galakkan iklan layanan masyarakat berlalu
lintas. Terlalu sedikit kita mendengar dan membaca, betapa berbahaya bermotor
tanpa helm, betapa merusaknya sikap berteduh semaunya ketika hujan, atau betapa
kejinya berhenti sembarangan. Daripada iklan pencitraan, mungkin lebih baik
uang negara dialirkan membuat iklan layanan masyarakat untuk perbaikan lalu
lintas!<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Belakangan ini, dalam politik, terjadi sebuah trend yang
kurang menyenangkan. Sikap mengalah, yang menjadi keunggulan politik Indonesia
selama puluhan tahun, mulai menghilang. Yang ada adalah sikap ingin menang
dengan segala cara, sikap tidak mau mengalah, yang penting saya menang. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Apakah sikap ini terasa familier? Jangan-jangan, seorang
pejabat yang biasa berkendara dijaga oleh voorijder yang garang memaki
kendaraan lain supaya minggir, merasa beliaulah yang berhak jadi penguasa
negara ini. Jangan-jangan, jagoan bermotor yang tadi pagi lebih baik ngotot adu
jotos daripada mengaku salah (boro-boro minta maaf), nantinya akan ngotot
dilantik jadi pejabat walaupun sudah terdakwa korupsi. Jangan-jangan, kernet
bus yang biasa melintas semaunya di Slipi, kelak menjadi pengusaha yang
menjadikan OB sebagai direktur demi mendapatkan proyek. <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Jangan-jangan, pandangan Radhar Panca Dahana di koran Kompas
beberapa waktu lalu salah. Jangan-jangan, sebuah revolusi mental bisa terjadi
tanpa proses panjang antar-generasi, namun hanya dengan merevolusi cara kita
berkendara. Jangan-jangan, jika rakyat diajar santun di jalanan, jika negara
bisa berwibawa tanpa korupsi di jalanan, jika rakyat bisa mengaku salah dan
minta maaf di jalanan, revolusi mental bisa bergulir lebih cepat. Atau
sebaiknya saya mengganti ‘jangan-jangan’ dengan ‘mudah-mudahan’? <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Saran saya sederhana: wahai pemerintah, mulailah jadi
teladan bagi rakyat di jalan raya. Jalan raya adalah sekolah bernegara. Jika
ingin bernegara dengan beradab, beradablah dulu di jalanan!<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Salam,<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0in 0in 10pt;">
<span style="font-family: Calibri;">Harnaz<o:p></o:p></span></div>
</div>
Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-22690408513913768682012-01-29T03:10:00.000-08:002012-01-29T03:10:21.150-08:00Obituary: Drg. Daniel Nazarudin, born Thio Tjong Bing. A Good Dentist, A Great Person, The Greatest Dad.<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<br />
<div class="MsoNormal">
On Monday, January 23<sup>rd</sup>, 2012, at 20.40, my father, Drg. Daniel Nazarudin, born Thio Tjong Bing, passed away. He was 64.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Thio Tjong Bing was born in Pekalongan, Central Java, on February 3<sup>rd</sup>, 1947, to Thio Tjin An and Oey Sioe Kim. Thio Tjin An owned a car workshop in Pekalongan, which is why my father always had a passion for all things mechanical. In our family, he is ‘the last handyman’ – while the younger generation prefer to throw away broken stuff and getting new ones, he would dutifully spend much time and money in trying to fix broken equipments. Just weeks before he passed away, he had a project to fix our water pumps, causing a shortage of water supply in our house for a while – then he later told me: “You’re right – in the end I decided to buy a new one!”. But he didn’t give up – eventually he did fix the broken pump and now we have 2 pumps in our house.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Thio Tjong Bing had an older sister, Thio Giok Hiang. Both had a happy childhood, my dad being the adventurous one and his sister being the obedient one. He often spoke of my grandmother’s fondness for kungfu novels and movie theatres, and my grandfather’s excel in Dutch language and music. His happy childhood was cut short as his father, Thio Tjin An, passed away when he was in Junior High School. I remember my grandmother told me that both children came crying to her, because they were afraid that they can’t go to school anymore. “From that moment on, I sold everything I had, one by one, to finance the education of your dad and your aunt” said my grandmother.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Pursuing education brought Thio Tjong Bing from Pekalongan to Semarang, where he spent his Senior High School at Loyola College, and then to Bandung. My father always wanted to be a civil engineer or an architect. But at that time, he did not have a chance to go Bandung’s Institute of Technology, which had a good architecture department (where his sister studied and I got my degree from). Instead, faith brought him to the Faculty of Dentistry, Padjadjaran University, also in Bandung. He doesn’t like dentistry, but that does not stop him from being a perfectionist at work. “I never liked dentistry, so I need more energy to perform my work perfectly” he said once. “Being a dentist is a dilemma: when you’re young, you have a lot of energy, but not enough experience so you have only few patients. When you’re older and more experienced, you’ll have more patients, but not anymore the energy to perform the work – so you just can’t reap the maximum financial benefit out of this profession” he said.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
After he retired from hospital duty and focused on his own practice, he seemed to enjoy his work more – not because of the work itself, but because his profession prompted him to meet a huge network of friends. “When I go to your father to fix my teeth, it takes him 15 minutes to do the job and 45 minutes to chat!” commented a friend of mine. He was always a ‘people person’, and in people finally he is at peace with his career.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
It is in his university years, in 1967, that the Indonesian Government required all Chinese Indonesian to bear an Indonesian name. He chose ‘Daniel Nazarudin’ as his name, stated by a decree on the same year. It is also in this period, that he met my mother, Ketty Wilandow (born Oey Ketty), a student at the Law School of the University of Parahyangan in Bandung. They told me a story of how they met: it involves a roundabout at Jl. Dr. Otten, Bandung. Under the shade of the waving mahogany branches, my father rode a motorcycle on one side of the roundabout, going from his dorm at Jl. Dago to his campus at Jl. Dipati Ukur, while my mother rode a motorcycle on the other side, going from her house at Jl. Pasirkaliki to her campus at Jl. Merdeka. Their family already knew each other, so the story is probably romanticized, but yet it is in those frequent rendezvouz that they fell in love. My mother, three years senior to my father, was fixing her mind to her study, not marriage. “But your father was very persistent” she said with a smile.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
They got married in Queen Restaurant Bandung, on December 22<sup>nd</sup> , 1974. After the marriage, they had three children: Harry Hardianto Nazarudin, and twin sisters Erika Amelia Nazarudin and Erina Natania Nazarudin. My memories of my childhood were very happy ones, although we did not have much at that time. I remember my father went to work on a red ‘Duck’ Honda 50 motorcycle, often braving through rains and bad weather. I remember our first black and white TV, which was a great luxury for us. But my father always cherished his cars – it is by the cars he owns, he measures his success. We went from a frequently-broken battered-old Peugeot 405, to a rattling loud red Daihatsu Taft, and finally my father managed to buy his first pride: a green Honda Civic Wonder sedan. “I dreamt last night, that your grandpa came and had a look at our new car!” he exclaimed to me one morning.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Tooth by tooth, filling by filling, he managed to grow our family’s finances from scratch. We moved from a small house at Jl. Bima 155, where he had his private practice, to Jl. Walik 11. We spent some years there, then moved to Jl. Bima 98, right in front of his practice, so he does not have to travel far to go to work. This house was his dream: bought as a run-down house, he built it brick by brick over long periods of time, depending on a tight budget, to become a 2 story residence. His prized car also improved: now it’s a white Honda Accord Maestro. He used to polish and treat the car like his most valuable possession, nobody could tamper with its white paint.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Nothing could have prepared us for what was coming in 2007: on a dark day, July 15<sup>th</sup>, 2007, his daughter, dr. Erina Natania Nazarudin, who studied medicine and was sent on assignment in Fakfak, West Papua, lost her life in a car accident after having saved 2 lives: a mother and her baby with a birth problem. It was a shock for the whole family, whom hitherto had a peaceful, calm, and happy life. This was the first introduction to death, in its most dreadful form, for the whole family. My father was deeply saddened by the incident. But after a while, he seemed to accept it. “Erina is already happy in Heaven” he said, repeatedly. “It is the living that we need to take care of”.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Dad has an uncanny ability to laugh. Whenever he gathers with his companions, there is always laughter on the table. His friends call him names, and he would retaliate. He is a true sanguine: from laughter to anger, from sadness to joy, for him it’s just a matter of time. They were all short bursts – he was never sad or angry at long periods of time. He is always good with people, he can connect with almost everybody. Being a doctor, his true calling is to help people. And he is always proud of it. “Doctors work on their own – there is no boss to supervise you. So you can only be true to yourself” he said. That’s also why, he never became ‘a businessman’ he’d always wanted to be. The business world is just too complex for him – full of mischief and dark strategies. Yet, sometimes he became disappointed with himself, not being able to be ‘the rich businesspeople’.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
On death, he had one wish. “I don’t want to be sick for a long time” he said once. “If my time comes, just make it quick – I don’t want to be a burden to the living”. Just a few weeks before, we had a conversation when he visited me in Jakarta, discussing about family members who have been given longevity. “Most of them, Dad, are not like your father – exuberant dynamic person with bursts of emotion. Most of them are calm, relaxed people, who accept life as it is and not trying to change it too much. So you have to be like that, if you want to live a long life” I told him. He smiled – he knew he’s not that type, and neither am I. On January 24<sup>th</sup>, 2012, in the arms of his wife Ketty Nazarudin, at their residence in Jl. Bima 98, Drg Daniel Nazarudin passed away suddenly after having his last dinner: a hearty portion of chicken satay and lontong from his favorite, RM Sate ‘Asli’ at Jl. Maulana Yusuf Bandung. He passed away according to his wish: blisteringly fast, sending another shockwave for the family.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
But then again – as Dad always said: we need to care for the living, as the dead is already happy with Lord Jesus in Heaven. Looking back, if there is one thing that I could change, it is that I would like him to see myself making a family, going through struggles and tribulations as he did, listening to his advice along the way. It is rather sad that as my journey is starting, his ended. What I can do now, is to share memories of him, like he did with his own father, and uses it to propel my life into the future with great confidence and strength, so Dad would visit me in a dream one day when I buy my first Ferrarri and said: Well done son! I know you can do it!</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
Farewell, Dad. Till we meet again.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
PS: please pray for my mother, Ketty Nazarudin, who is currently being treated for stroke at a hospital. May the Lord give her strength to move on.</div>
<div class="MsoNormal">
<br /></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBwGhFbR8Ogl2aVEuSdoU_K_qkOATYqliaHlWxD_sa3t5kLGwGEJmwASKOaj4hPLObGfSu4hq0M0HDrsJqqgxMWSSt27qXSuXtJ4x94o14TRnPjQXR4u8sqbSmpssK3GGnTJ4V5VcXt0UD/s1600/IMG_0026+(1140+x+1711)+(570+x+856).jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgBwGhFbR8Ogl2aVEuSdoU_K_qkOATYqliaHlWxD_sa3t5kLGwGEJmwASKOaj4hPLObGfSu4hq0M0HDrsJqqgxMWSSt27qXSuXtJ4x94o14TRnPjQXR4u8sqbSmpssK3GGnTJ4V5VcXt0UD/s320/IMG_0026+(1140+x+1711)+(570+x+856).jpg" width="213" /></a></div>
<div class="MsoNormal">
Bandung, 29 January 2011</div>
</div>Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-11522556330361927492011-08-18T01:26:00.000-07:002011-08-18T01:27:55.703-07:00Antara Tubuh Dan Jiwa Yang Merdeka
<br />
<br /><p>Sebuah perenungan tentang kemerdekaan </p>
<br /><p>
<br /><em>The Israelites said to them, “If only we had died by the LORD’s hand in Egypt! There we sat around pots of meat and ate all the food we wanted, but you have brought us out into this desert to starve this entire assembly to death.”
<br /></em>Exodus 16:3
<br /><em>“Therefore, say to the Israelites: ‘I am the LORD, and I will bring you out from under the yoke of the Egyptians. I will free you from being slaves to them, and I will redeem you with an outstretched arm and with mighty acts of judgment.
<br /></em>Exodus 6:6</p>
<br /><p>
<br />Merdeka! Senang bukan menyebutkannya? Kata ‘merdeka’ dalam bahasa Indonesia tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris. Terjemahan Inggris hanya memiliki ‘independence’ yang berarti kemandirian, atau ‘freedom’ yang berarti kebebasan. Yang satu berarti bisa menentukan nasib sendiri, yang lain artinya bebas melakukan apa saja. Tetapi, ‘merdeka’ memiliki arti ‘mandiri’ dan ‘bebas’ sekaligus, bahkan lebih dari itu. ‘Merdeka’ juga berarti sederajat, setara, punya kehormatan dan harga diri yang sejajar. Beruntunglah bahasa Indonesia yang memiliki kata ini. Pantas saja, dulu kata ‘Merdeka’ terpampang dimana-mana dan membuat penjajah Belanda terpana – karena menerjemahkannya pun mereka tak bisa!
<br />Tapi, apakah kita sudah memahami arti kemerdekaan yang sesungguhnya? Merdeka bukanlah sesuatu yang indah-indah saja. Merdeka, pada saat didengungkan oleh Bung Karno dan kawan-kawan pejuang pada tahun 1945, adalah sebuah ide gila. Bukankah hidup dibawah penjajahan Belanda itu indah? Lihatlah rel kereta api yang dibangun, jalan raya Anyer – Panarukan. Lihatlah Pelabuhan Sunda Kelapa yang megah, lihatlah bangunan kolonial di Batavia yang indah dan tak kalah dengan negeri Belanda. Lihatlah karya arsitektur art deco tropis dari Schoemaker, dari Vila Isola sampai Hotel Homann. Indah bukan? Ya! Lihatlah pesta dansa-dansi a la Belanda di Harmonie. Tak heran, gaya hidup ini dinamai Mooi Indie – Hindia yang Cantik! Lalu, untuk apa merdeka? Untuk apa bebas? Untuk apa mandiri? Bukankah kita hidup enak dibawah lindungan payung oranye Kerajaan Belanda? </p>
<br /><p>
<br />Inilah pertanyaan yang sama yang diajukan oleh bangsa Israel. Sesudah Allah menunjukkan kuasaNya yang luar biasa, dengan memberikan sepuluh tulah kepada Firaun dan negeri Mesir, termasuk meluputkan bangsa Israel dari kejaran Mesir dengan membelah Laut Merah, bukan puji syukur yang Ia dapatkan. Bukan sujud sembah yang Ia terima. Melainkan justru bangsa Israel yang bersungut-sungut! Ya Tuhan, bukankah lebih enak dijajah Mesir? Disana banyak roti dan daging. Disana banyak air. Memang, bangsa Israel dijajah. Tapi, dijajah kan tidak selalu dipecut, bukan? Dijajah juga berarti dijamin oleh penjajah. Tidak perlu memikirkan makan, semua disediakan majikan. Tidak perlu memikirkan infrastruktur, semuanya dibangun oleh majikan. Tidak perlu pusing membeli senjata, perlindungan diberikan oleh majikan. Enak bukan? Kalau sekali-kali dipecut sampai mati, atau disamakan dengan anjing dan dilarang masuk ke kelompok elit, ya itu sudah resiko!</p>
<br /><p>
<br />Bukankah kenyataan ini adalah sebuah ironi? Ya, ironi yang begitu nyata. Bangsa Israel, dan Bangsa Indonesia, tidak boleh lupa. Allah memang berjanji menganugerahkan kemerdekaan, seperti yang Ia sabdakan dalam Keluaran 6:6. Ia menjanjikan tanah perjanjian, dimana semua orang bisa hidup sama rata, tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Namun, kemerdekaan itu mengandung tanggung jawab! Dengan merdeka, berarti suatu bangsa harus membangun segala sesuatunya sendiri. Suatu bangsa harus mencari makanannya sendiri, membangun jalan-jalannya sendiri, berperang sendiri, dan mempersenjatai diri sendiri. Dalam kisah keluarga bangsa Israel dari Mesir, terlihat berkali-kali bahwa walaupun bangsa Israel sudah keluar dari Mesir secara fisik, namun jiwa mereka masih jiwa bangsa jajahan. Pikiran mereka masih pikiran budak, padahal sudah merdeka. Mereka mau enaknya saja. Dibilang jangan makan manna hari Sabat, masih saja ada yang bandel. Diperintahkan menunggu diberi minum, masih saja bersungut-sungut. Bahkan, belum selesai Musa bercakap dengan Allah, mereka sudah membuat lembu emas dan memujanya! Namun, Allah dengan sabar namun tegas mendidik bangsa Israel untuk memerdekakan pikiran mereka, memerdekakan jiwa mereka. Kejam memang, dan butuh waktu 40 tahun sampai generasi bangsa Israel betul-betul merdeka. Bahkan Musa sendiripun tidak bisa masuk ke Tanah Perjanjian! Begitu kerasnya Allah mentransformasi jiwa sebuah bangsa, dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka. Karena, hanya bangsa merdeka sejati yang mengerti arti kemerdekaan, dan mengisinya dengan kemajuan dan kemakmuran!
<br />Bangsa Indonesia kini sedang menempuh perjalanan yang sama. Lepas dari penjajahan Belanda, kita sudah secara fisik merdeka, namun mental kita masih mental negara jajahan. Kita kelimpungan mengatur keamanan, kesulitan mengatur produksi pangan, dan tertatih-tatih menata ekonomi. Hari-hari dibawah Orde Baru memang menawarkan kemajuan, namun akhirnya bangsa Indonesia jatuh lagi ke dalam penjajahan. Setelah reformasi, kita masih juga tertatih-tatih. Kita masih berusaha mengusir jiwa-jiwa terjajah, dan menggantikannya dengan pikiran-pikiran baru yang lebih bebas. Sudah banyak kemajuan! Seni dan budaya kini bisa dipraktekkan dengan bebas. Media pun bebas, setiap orang berhak dan layak berbicara. Indonesia menjadi negara yang toleran, dengan toleransi yang tidak dipaksakan, melainkan hadir dari lubuk hati setiap rakyatnya yang cinta damai. Bukan berarti tidak ada ancaman – ancaman selalu ada, namun Tuhan Allah senantiasa menyertai perjalanan bangsa kita. </p>
<br /><p>
<br />Mengapa demikian? Tuhan kan tidak menurunkan manna untuk kita? Saudaraku, manna itu sudah turun. Dalam bentuk tanah yang subur. Dalam bentuk negara yang tetap bersatu. Dalam bentuk ekonomi yang bisa bangun sendiri tanpa campur tangan asing. Dalam bentuk setiap manusia Indonesia yang sambil tersenyum mengayuh becak atau mendorong gerobak, demi memutar roda ekonomi dan mencari sesuap nasi. Tidak ada negara selain Indonesia yang bisa selamat didera kerusuhan massal seperti 1998, krisis moneter dan melemahnya rupiah secara luar biasa, ataupun diinjak-injak oleh ego IMF yang ternyata lebih banyak membawa durjana daripada manfaat. Tapi, lihat kita sekarang! Berdiri tegak sebagai sebuah bangsa. Ekonomi kita sudah bangkit, bahkan bank-bank yang dulu begitu tinggi hati tahun 1998, sepuluh tahun kemudian meringkuk malu ketika kita tidak tersentuh krisis keuangan global berikutnya. Kita sudah selamat, melalui ancaman kiri dan kanan, tanpa campur tangan asing. Kita masih disini, saudaraku, adalah bukti kemuliaan Allah, penyertaan Allah atas bangsa ini. </p>
<br /><p>
<br />Untuk itu, apa yang perlu kita lakukan selanjutnya? Mulailah berpikir dan bertindak seperti orang merdeka! Janganlah lagi berpikiran sebagai orang terjajah. Memerdekakan pikiran jauh lebih sulit daripada memerdekakan tubuh: ingat, Tuhan Allah hanya perlu waktu semalam untuk memerdekakan fisik Bangsa Israel dari Mesir, tetapi Ia butuh 40 tahun untuk memerdekakan jiwa mereka. Kita tidak perlu menunggu selama itu, karena prinsipnya sudah diberikanNya untuk kita pelajari. </p>
<br /><p>
<br />Mulailah bertindak sebagai orang merdeka. Uruslah sandang, pangan, dan papan. Bangunlah jalan-jalan dan pelabuhan. Kobarkan semangat kemerdekaan melalui pidato, kata-kata yang menyegarkan, dan olah raga. Ingat, seperti yang Tuhan Allah lakukan, kita perlu ingatkan diri kita berulang-ulang, bahwa kita sudah merdeka. Terakhir, wujudkanlah kemerdekaan kita dalam peranan yang lebih aktif dalam percaturan hidup dunia. Tunjukkanlah, bahwa Indonesia – negara yang merdeka ini – selalu menjunjung tinggi asas kemerdekaan sejati, tanpa standar ganda dan kepentingan lainnya. Tunjukkanlah, bahwa toleransi dan kekeluargaan kita sudah menang melawan pertempuran panjang dengan ekstremisme dan individualisme. Tunjukkanlah, bahwa dengan senyum dan keringat, serta berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, kita sudah merdeka. Dan akan merdeka terus, sampai selamanya.</p>
<br /><p>
<br />Tomang, 17 Agustus 2011
<br /></p>Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-89979805300931293572010-12-29T07:07:00.000-08:002010-12-29T07:10:45.940-08:00Kapan Terakhir Anda Bangga Jadi Orang Indonesia?Buat Timnas Indonesia, yang baru saja memenangkan leg kedua, selamat! Bagaimanapun sistem kompetisinya, kalian sudah bisa memenangkan pertandingan 2-1 di Senayan, melewati masa krisis tertinggal 0-1 dan serangkaian kegugupan karena beban dan tuntutan media. Namun, Timnas Indonesia tetaplah menjadi pemenang kali ini. Jangan lupa, timnas punya satu jasa besar lagi di penghujung tahun ini: berhasil mengeluarkan jiwa seorang pemenang dalam diri kita, orang Indonesia!<br /><br />Katakan saja sejujurnya: kapan terakhir kali Anda BANGGA jadi orang Indonesia?Bagus kalau masih ingat, tapi kebanyakan pasti sudah lupa. Kalau ditanya, kapan terakhir kali Anda MALU jadi orang Indonesia? Pasti semua lancar menjawab! Waktu Mas Gayus tertangkap basah menonton tennis dengan wig-nya yang belah tengah itu, waktu kita tidak berdaya melihat TKW kita disiksa diluar negri, dan lain-lain. Sangat mudah untuk MALU jadi orang Indonesia bukan? Susah bangganya!<br /><br />Nah, inilah salah satu lagi jasa kalian, wahai Timnas Sepakbola Indonesia. Kalian berhasil membuat sekian banyak orang BANGGA menjadi orang Indonesia! Di kawasan Niaga Sudirman Jakarta, di Bekasi, Bandung, bahkan Surabaya dan Jayapura; atau di dunia maya, Twitter, Facebook, Blackberry Messenger; saya melihat jutaan nuansa merah putih di sana-sini, dengan tulisan yang menggetarkan jiwa: Garuda di dadaku. Lihatlah food court di mall yang baru saja saya kunjungi: berbagai orang dari berbagai lapisan masyarakat, yang kulitnya coklat, putih, kuning, hitam, jerawatan atau bahkan penuh burik, semuanya campur baur menonton perjuangan kalian. Tidak ada satupun yang berani menarik bayaran, atau meminta kita membayar tiket. Kan kita semua sama: orang Indonesia! Kursi food court yang biasanya jadi rebutan kini dibagi dengan ramah, bahkan beberapa orang yang tidak saling mengenal duduk semeja nonton bersama. Kok bisa? Karena kita sama-sama BANGGA jadi orang Indonesia!<br />Dan itu semua adalah jasa kalian, Timnas Sepakbola Indonesia! Kalian memberi alasan bagi kami untuk BANGGA jadi orang Indonesia!<br /><br />Hingar-bingar ini mengingatkan orang pada Piala Dunia di Jerman tahun 2006. Banyak orang di Indonesia tidak menyadari bahwa Jerman juga memiliki krisis identitas, krisis nasionalisme. Nasionalisme Jerman dalam Perang Dunia II pernah menjadi sebuah bentuk yang menakutkan dibawah kekuasaan Partai Nazi-nya Adolf Hitler. Sejak itu, orang Jerman seringkali merasa ‘malu’ menjadi orang Jerman. Walaupun negara Jerman kini adalah negara supermaju dengan ekonomi superkuat, tapi krisis identitas itu tetaplah ada. Nama ‘Jerman’ selalu melekat pada ‘Nazi’ sehingga segala setiap warga Jerman takut untuk menyandang nasionalisme Jerman, tidak bangga menjadi orang Jerman.<br /><br />Piala Dunia 2006 di Jerman mengubah semuanya. Olah raga, khususnya sepak bola yang memang populer di Jerman, menjadi jawabannya. Tiba-tiba, dengan sarana sepak bola, orang Jerman boleh berbangga lagi menjadi orang Jerman. Bendera Jerman berkibar-kibar di seluruh negri, di mobil-mobil, dan kaus Timnas Jerman marak dimana-mana. Saya yang berkunjung ke Jerman pada waktu itu beruntung bisa melihat eforia yang positif ini. Bahkan saya baru tahu salah satu rekan saya ternyata orang Jerman, dari bendera yang tertancap di jendela mobilnya. “Yes, I am German!” katanya BANGGA. Tidak ada lagi ketakutan karena diasosiasikan oleh Nazi. Yang ada hanya kebanggaan sebagai penyelenggara Piala Dunia, walaupun hanya jadi pemenang ketiga setelah Jerman kalah dari Italia di Semifinal. Namun, berkahnya luar biasa, membuat orang Jerman bisa BANGGA lagi jadi orang Jerman.<br /><br />Inilah juga berkah yang dibawa oleh Timnas Sepakbola Indonesia, membuat kita BANGGA jadi orang Indonesia!<br /><br />Dengan ini, teriring juga pesan untuk para pemimpin negri ini. Lihatlah rakyatmu yang sudah begitu haus dengan nasionalisme! Lihatlah semua orang yang berbaur menjadi dua warna: merah dan putih, walaupun dalam sebuah even lingkup ASEAN saja! Lihatlah rakyatmu yang sudah bosan MALU mendengar berita-berita miring tentang negrinya, dan begitu rindu untuk BANGGA jadi orang Indonesia! Dan penampilan Timnas Sepakbola Nasional tahun ini berhasil menjawab kerinduan itu. Bagaimana caranya? Gampang: dengan bersungguh-sungguh!<br /><br />Lihatlah kesungguhan Alfred Riedl dalam mengatur tim-nya. Lihatlah kesungguhan Irfan Bachdim, Gonzales, Nasuha, M. Ridwan, dan kawan-kawan, begitu mereka melihat jutaan orang mendukung mereka di kursi stadion. Saya yakin, walaupun Gonzales disogok milyaran rupiah untuk mengalah pada timnas Malaysia, atau Bambang Pamungkas disogok berkilo-kilo emas untuk membuat gol bunuh diri ke gawang Indonesia, tidak ada yang bergeming. Bahkan supporter pun tidak terpancing menggunakan laser di Senayan. Mengapa? Karena kesungguhan mereka, nasionalisme mereka, BANGGA-nya mereka menjadi orang Indonesia! Inilah benteng anti korupsi, benteng anti nepotisme, benteng anti kolusi yang sudah kita lupakan: NASIONALISME!<br /><br />Ingat, bahwa bangsa ini dibangun hanya bermodalkan nasionalisme. Sebelum 1945, kita belum jadi satu bangsa. Kita terpecah-pecah, tersebar di ribuan pulau yang sulit berkomunikasi satu sama lain. Kita terbelah, kiri-kanan maupun atas-bawah. Namun, dengan hentakan pidato Bung Karno, serta gelombang pemikiran brilyan para bapak bangsa kita, jutaan manusia penghuni ribuan pulau ini bisa bersatu dibawah panji Indonesia. Bukan hanya itu, bahkan gerombolan manusia ini berani mendeklarasikan diri sebagai berbangsa satu, bertanah air satu, Indonesia! Lebih gilanya lagi, rombongan massa ini bisa membuat bahasa-nya sendiri: Bahasa Indonesia, yang kemudian digunakan oleh lebih dari 240 juta orang Indonesia. Sadarkah Anda? Kita satu-satunya bangsa di dunia yang berhasil membuat bahasa sendiri, tidak mencontek Inggris atau Belanda! Padahal, apa sih pengikat kita sebenarnya? Hanya sama-sama bekas jajahan Belanda! Lihatlah: berangkat dari sebuah ‘bekas jajahan’, nasionalisme berhasil membawa Indonesia menjadi sebuah bangsa. Itulah dahsyatnya nasionalisme!<br /><br />Jadi, wahai pemimpin negri, kembalilah ke akar bangsa ini, kembalilah ke apa yang membuat kita kuat: Nasionalisme! Gaungkanlah semangatnya dimana-mana melalui olah raga. Uruslah sepak bola dengan benar, bulu tangkis harus terus dibina, semua cabang olah raga harap digarap dengan becus. Dan, kobarkanlah semangat nasionalisme dengan kata dan tindakan. Niscaya, bukan saja piala AFF atau Piala Asia, bahkan Piala Dunia-pun akan bisa kita raih. Mengapa tidak? Masakan dari 240 juta orang Indonesia kita tidak bisa menemukan 11 orang yang bisa main bola sampai juara?<br /><br />Ayo teruskan perjuangan kalian Timnas Indonesia! Ingatkan lagi pada kami, betapa BANGGA-nya jadi orang Indonesia!<br /><br />Jakarta, 29 Desember 2010Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-14205646015069043262010-11-09T23:05:00.000-08:002010-11-09T23:07:05.229-08:00Pertarungan Para DewaKisah ‘Pertarungan Para Dewa’ atau Clash of the Titans adalah salah satu kisah legenda Yunani yang cukup terkenal dan bahkan sudah pernah difilmkan oleh sutradara Hollywood. Kisah ini adalah kisah yang sangat menarik untuk diperhatikan, terutama di masa sekarang ini yang konon katanya penuh dengan bencana dari Tuhan. Kisah ini dimulai dengan sebuah pertanyaan sederhana: mengapa para dewa begitu kejam menyiksa manusia? Mengapa para dewa begitu bengis, memaksa manusia untuk memberikan berbagai macam persembahan, dan sesudah semuanya dipenuhi, toh akhirnya manusia pula yang disiksa dengan berbagai cobaan?<br /><br />Adalah Perseus, seorang manusia setengah dewa, anak haram dewa Zeus, yang dibesarkan oleh keluarga nelayan yang mengasihinya dengan sepenuh hati. Ia begitu sayang kepada orang tua angkatnya, manusia yang lemah dan ringkih ini, sehingga ia merasa kasihan pada mereka dan justru marah pada dewa. Mengapa orang-orang baik ini, nelayan tak berdosa ini, seolah-olah diperas habis-habisan oleh dewa-dewi di Olympus, yang seharusnya melindungi dan mengasihi manusia? Apalagi, ketika Hades, Dewa Kegelapan, seenaknya mengirimkan bala tentara setan yang tanpa sengaja membunuh orang tua angkat Perseus. Perseus pun murka.<br /><br />Perseus kemudian bersumpah, akan menggunakan kekuatan manusia – tanpa ke-dewa-annya – untuk membunuh Hades dengan cara menghancurkan Kraken, mahluk mahamengerikan ciptaan Hades yang bisa memunahkan umat manusia. Perseus pun berjuang menghadapi penyihir Stygi, hantu Djinn, bahkan berhasil memotong kepala Medusa, dewi mengerikan berambut ular yang bisa mengubah semua mahluk yang dipandangnya menjadi batu. Sepanjang perjalanan, Perseus terus memperjuangkan kemanusiaannya, dengan sesedikit mungkin menggunakan kekuatan mukjijat, melainkan dengan tipu muslihat dan akal sederhana, sampai ia bisa mengakali para dewa. Toh, Zeus, sang ayah, tidak tinggal diam. Ia mengirimkan Pegasus, kuda bersayap kendaraannya, dan sebilah pedang yang ditempa di Olympus, yang sanggup memenggal kepala seorang dewi seperti Medusa sekalipun.<br /><br />Tapi, apakah Zeus membantu Perseus dengan melontarkan petir pada setiap lawan yang dihadapinya? Tidak. Zeus duduk memandang dengan cemas di Olympus, berharap Perseus menang. Perseus tidak serta-merta menang dengan kuda terbang dan pedang. Ia harus bertarung, memeras akal, dan melalui gunung-gemunung dan sungai maut untuk mencapai tujuannya. Namun, Perseus akhirnya berhasil. Ia potong kepala Medusa, dan dibawanya ke hadapan Kraken, sehingga Kraken, raksasa mengerikan itu, menjadi batu dan kemudian hancur berantakan. Hidup manusia! Teriak Perseus ketika Kraken yang bersiap menelan semua mahluk hidup, kini menjadi batu yang retak berguguran.<br /><br />Kisah ini memang sebuah adaptasi, namun mengandung makna filosofis yang cukup mendalam. Pertanyaan pertama masih belum terjawab: mengapa Tuhan merancang begitu banyak bencana bagi manusia? Mengapa semua persembahan dan doa yang dipanjatkan, semua dzikir dan pertobatan yang diteriakkan, kadang-kadang seolah jatuh ke sepasang telinga yang tuli? Toh, gunung tetap meletus, tsunami tetap menerjang, dan badai tetap mengamuk? Inilah titik dasar dari pergumulan dalam kisah ini. Dengan demikian, apakah manusia masih harus berdoa dan bersembahyang? Apakah sudah tidak ada gunanya lagi, memberikan persembahan dan bertobat? Lalu, pertanyaan akhir yang selalu muncul: dengan demikian, apakah Tuhan ada?<br /><br />Kisah Pertarungan Para Dewa merupakan sebuah kisah yang sangat tepat melukiskan pergumulan ini. Manusia memang tidak bisa bertopang dagu saja – kita perlu seorang Perseus. Seorang pemimpin, yang berani lantang berteriak untuk menantang para dewa. Seseorang yang berani menghunus pedang dan berbuat sesuatu, untuk melawan apa yang terjadi. Bukan dengan doa, bukan dengan dzikir, dan bukan dengan lebih banyak lagi persembahan. Tetapi dengan sebilah pedang, dan semangat kemanusiaan, bahwa apapun masalah yang ada, bisa ditaklukkan: apakah itu kepala Medusa berambut ular yang harus dipotong ataupun Kalajengking Raksasa di padang gurun. Ya: semuanya harus dilawan dengan sabetan pedang, cipratan darah, dan keringat. Tapi, Perseus akhirnya menang!<br /><br />Perseus memiliki makna berbuat sesuatu. Inilah yang kurang kita lakukan. Setiap kali ada bencana, yang diteriakkan adalah keprihatinan, kesedihan, teriakan dzikir dan doa, memohon pada Tuhan supaya bencana berhenti. Kita seperti Spyros, nelayan ayah angkat Perseus, yang hanya bisa meratap lalu mati ditelan ombak! Bahkan manusia seperti ini, seolah dengan mudah saja ‘menyalahkan’ Tuhan atas bencana yang terjadi, sebagai pelarian untuk lepas tanggung jawab, padahal bencana itu terjadi karena kelalaian sendiri.<br /><br />Coba ingat ‘bencana’ Situ Gintung yang sebenarnya bukan ‘bencana’, melainkan sebuah kelalaian murni. Lihatlah betapa pemuka agama waktu itu berteriak pada semua orang untuk ‘tabah atas cobaan Tuhan ini’? Ini sama sekali bukan hasil karya Tuhan, bahkan Tuhan bisa tersinggung dengan pernyataan ini. Bukan Dia yang membangun situ, bukan Dia pula yang membangun rumah di jalur situ, dan bukan Dia pula yang bertugas mengontrol keretakan dindingnya! Dia hanya menciptakan hukum Fisika, yang merumuskan bahwa air yang terus menerus ditambahkan pada sebuah bejana berdinding tipis akan mampu menjebol dinding tersebut. Lalu, kita sebut ini ‘cobaan Tuhan’? Mohon maaf – ini murni manusia yang mencobai manusia lainnya!<br /><br />Lalu bagaimana dengan tsunami, bencana gunung berapi? Untuk ini, kita harus melihat bagaimana prinsip Perseus mendasari pemikiran bangsa Eropa. Di Jerman, saya pernah menghadiri sebuah rapat didalam ruangan yang seluruh dindingnya terbuat dari kaca. Padahal, waktu itu bulan Desember dan angina bertiup kencang sekali. Pohon cemara melambar-lambar, menghamburkan salju yang turun kebawah, sementara di atas tanah sudah ada 40 cm salju yang menumpuk sejak kemarin. Suhu diluar -15oC. Tapi, kami bisa duduk nyaman di ruangan itu. Suhu ruangan 28oC, tak sedikitpun angina dari luar terasa masuk ke ruangan. Padahal, pemandangan indah bisa kami nikmati lewa kaca. Bagaimana caranya? Dengan doa? Dzikir? Persembahan? Tidak! Dengan teknologi. Seluruh kaca terbuat dari silica dengan teknologi tertentu yang anti-pecah, merupakan system kaca ganda dengan gas Argon yang diinjeksikan diantara dua kaca agar hawa dingin terinsulasi. Dinding, penyekat, atap, bahkan tiang penyangga, semua didesain untuk menahan dingin dan menyimpan panas. Inilah pedang Perseus yang ditempa di Olympus. Dengan teknologi, orang Jerman bisa mengalahkan cuaca, sementara orang di Mongolia, Cina, atau India, masih harus meringkuk kedinginan di musim dingin yang tidak sedingin di Jerman hari itu.<br /><br />Indonesia perlu Perseus – yang tidak menyerah dan berdoa, apalagi menyerahkan tanggung jawab pada Tuha. Indonesia perlu Perseus, yang menggunakan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk melindungi diri dari kemungkinan bencana. Bahwa kita lahir di sebuah pulau yang dikelilingi laut dan memiliki gunung berapi di tengahnya, sudah bukan rahasia lagi sejak awal. Lalu mengapa kita masih gelagapan menghadapi tsunami dan letusan gunung api? Karena kita masih Spyros, belum Perseus. Nah, celakanya, Perseus ini harus dating dari Indonesia dan tidak bisa diimpor dari Eropa atau Amerika. Karena, tidak ada satupun Negara di dunia ini yang memiliki gunung api dan garis pantai sepanjang Indonesia. Kita tidak bisa bertanya pada orang Barat atau Jepang atau Cina, bagaimana menghadapi letusan gunung berapi dan tsunami. Teknologinya harus dating dari kita sendiri! Apakah dengan cara mengukur suhu perut bumi, atau dengan mengukur getaran gempa secara tiga dimensi, atau dengan melakukan finite element analysis terhadap pergerakan pelat bumi? Wallahualam. Yang jelas, sesuatu harus dilakukan – seperti Perseus, kita harus berjuang, meneliti, mengeluarkan energi dan dana, untuk melindungi kita dari kemarahan para dewa. Tidak pernah cukup hanya berdoa dan bersembahyang!<br /><br />Lalu, apakah Tuhan diperlukan? Toh, di kisah ini, Perseus tidak mungkin menang tanpa pedang yang ditempa di Olympus, bukan? Perseus tidak mungkin menang tanpa Pegasus, tanpa bantuan dari Io, maupun tanpa tiga tali keeping Drachma untuk sang pengemudi perahu, bukan? Ya – Tuhan itu ada dan Ia pasti akan bertindak. Namun, jangan berharap Tuhan akan turun dari langit dan membereskan masalah kita semua – hanya karena kita berdoa dan berdzikir. Berdoa bagus, berdzikir apalagi. Tapi, keduanya harus disertai dengan perbuatan – pertempuran, sabetan pedang – supaya perang bisa dimenangkan. Toh, Zeus tersenyum bangga ketika Perseus bisa menyelamatkan manusia dengan usahanya sendiri. Tuhan pun, akan tersenyum bangga jika kita, bangsa Indonesia, bisa menghadapi bencana-bencana dengan rencana teknis dan taktis yang bisa melindungi kita dari fenomena ala mini. Ia justru akan murka, ketika doa dan dzikir dijadikan alat untuk melempar tanggung jawab dari manusia, kepada Tuhan yang tidak bersalah!Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-6210297881843041562010-07-15T02:09:00.000-07:002010-07-15T02:38:14.794-07:00Berdamai Dengan KematianMenghadapi kematian memang gampang-gampang susah. Gampang, karena mengucapkan kata 'mati' itu lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata "Mampus lu!" atau "Mati dah gua..." sering sekali kita ucapkan, baik sengaja maupun tidak, hehe. Bahkan mati seolah-olah menjadi pilihan dalam hidup, seolah-olah sebagai emergency button yang kadang-kadang dengan warnanya yang merah dan bentuknya yang menonjol dengan sexy-nya, menggoda kita untuk menekannya. Padahal, kematian yang sesungguhnya, apalagi yang tidak diduga-duga, sangat lain bentuknya dengan 'mampus' yang kita lafalkan. Kematian yang sesungguhnya sangat berat, karena merupakan sebuah kondisi yang konstan, padahal hidup ini tidak ada yang konstan. Makan, lapar lagi. Kaya, bisa miskin. Mati adalah konstan, sehingga kadang-kadang pikiran kita seolah-olah ditampar berkali-kali setiap kali dia mengecek kenyataan dan mendapatkan bahwa yang mati tetaplah mati dan belum berubah.<br /><br />Tahap pertama dalam menghadapi kematian pasti adalah menerima kematian itu. Sebenarnya penerimaan ini bukan pilihan - mau tidak mau ya harus diterima. Hanya, memang pikiran dan jiwa manusia butuh waktu untuk me-register dalam prosesornya bahwa yang bersangkutan sudah tidak ada. Pikiran kita berkali-kali mengecek kenyataan, bahkan rasanya tidak akan kaget bila yang sudah meninggalkan kita itu masih mengirim sms atau pesan facebook. Ini adalah sebuah proses yang sangat-sangat melelahkan, karena berkali-kali proses pengecekan dilakukan, berkali-kali pula kita disadarkan akan kepahitan dan kehilangan yang terjadi. Lalu muncul pertanyaan yang paling jahat: mengapa? Dan demikian seterusnya.<br /><br />Tetapi, Tuhan memang Maha Adil. Beliau sudah menyiapkan suatu sistem dalam jiwa kita yang membuat proses ini tidak berlangsung selamanya. Otak dan hati kemudian akan mulai belajar menerima kenyataan kehilangan tersebut. Hati dan pikiran mulai sedikit rileks, tidak lagi melakukan mengecekan berulang-ulang. Ini berarti kehilangan yang bersangkutan sudah diregister dalam alam bawah sadar kita. Hidup mulai kembali normal, biasanya dalam jangka waktu setahun setelah kehilangan. Saya sendiri merasa heran, betapa besar perbedaan antara setahun sebelum dan sesudah kehilangan. Tuhan memang Maha Adil.<br /><br />Sesudah bisa menerima, tahap berikutnya adalah hidup dengan kematian. Ini artinya, antara hidup dan kematian berjalan berdampingan. Hati dan otak sudah meregister bahwa yang bersangkutan sudah tidak ada. Hidup berjalan kembali. Matahari terbit dan tenggelam, anak-anak lulus dan pindah sekolah. Tapi, yang bersangkutan tetap tidak ada. Otak sudah tidak teriak lagi, tetapi masih diam. Tidak berceloteh. Hidup diusahakan berjalan tanpa yang bersangkutan. Kalau bisa jangan diingat, kalau bisa ditiadakan. Kalau bisa jangan dibicarakan, supaya hidup tidak terganggu. Tapi, masalahnya, kematian adalah konstan. Mau dicuekin pun, kematian tetap ada di pojok. Menyeringai dengan jahatnya. Begitu kita sedih, begitu otak lelah dan lengah, kematian menelusup masuk. Mengungkit kenangan dan argumen lama. Keluarlah kalimat pengandaian yang paling jahat: seandainya... kalau waktu itu...<br /><br />Inilah yang disebut hidup dengan kematian. Hidup berjalan, kematian juga berjalan. Berdampingan, sikut-sikutan. Masing-masing berebut perhatian otak dan hati kita. Masing-masing berusaha menarik perhatian nurani dan jiwa kita. Masing-masing teguh berada di tempatnya, membuat kita seolah tercabik di tengah-tengah. Hidup menjadi kosong, karena kita berada diantara hidup dan kematian. Ke kiri tidak, ke kanan tidak. Lama-lama, tenaga akan habis, dan kepahitan akan menaklukkan optimisme kita. Itu kalau kita tenggelam dalam tahap ini, dan tidak berbuat sesuatu untuk maju ke tahap berikutnya!<br /><br />Apakah tahap berikutnya? Berdamai dengan kematian. Sebuah kata-kata indah yang saya dapatkan dari sebuaj episode Kick Andy di MetroTV. Episode yang mengisahkan keluarga yang ditinggalkan sanaknya ketika menjadi korban jatuhnya pesawat Adam Air beberapa tahun lalu. Trenyuh melihat mereka di TV. Saya baru kehilangan seorang adik saja sudah begini, apalagi ini, satu keluarga seketurunan hilang semua dalam waktu singkat. Namun, judul episode ini membuat saya tersentuh, karena inilah tahap berikutnya. Kita harus berdamai dengan kematian.<br /><br />Maksudnya berdamai adalah, kenyataan kehilangan bukan lagi dianggap sebuah tabu. Orang yang kita cintai tidak lagi kita simpan dalam-dalam dalam kotak hati yang tertutup rapat, kalau bisa jangan diperlihatkan siapa-siapa. Kenangan-kenangan yang ada kita buang, kita letakkan nun jauh disana, kalau bisa jangan teringat lagi. Ini bukan damai namanya, ini berarti musuhan dengan kematian. Kematian kita anggap musuh, kita jauhkan, kita lupakan. Namun, sudah menjadi sifat kematian yang sangat konsisten. Seringainya tetap tersungging di pojok saja, dan ia akan kembali sejauh apapun kita berusaha menghindar. Ingat, kita selalu berubah, sementara kematian konstan. Ia persisten. Ia tetap disana, sementara kita bolak-balik. Dalam proses bolak-balik ini, pasti satu atau dua kali kita bersenggolan dengan kenangan kematian, dan seringainya sekali lagi melemahkan kita.<br /><br />Berdamai berarti berjalan berdampingan dengan kematian. Berdamai berarti mengenang orang terkasih sebagaimana adanya. Berdamai berarti tidak menghindar dari kenangan kematian, tetapi bergandengan tangan dan melangkah bersama mengarungi kehidupan. Mengganggap kematian sebagai sebuah kenyataan pahit yang akan membawa berkah, yang sudah terencana. Menerima, bahwa rencanaNya diatas rencana kita. Mengakui, bahwa toh kita semua akan berakhir sama - kita hanya berbeda waktu. Jadi, untuk apa ditangisi? Untuk apa dihindari? Waktu toh sama konsistennya dengan kematian. Waktu toh tidak bisa kita rem atau kita percepat. Waktu kita sendiri, tidak bisa sedetikpun kita percepat atau perlambat. Jadi, nikmati saja! Waktunya akan tiba bahwa kita berkumpul kembali. Kenanglah waktu-waktu yang lalu, bersiaplah menuju waktu yang akan datang, tiba waktunya.<br /><br />Tuhan memang Maha Adil. Ketika Ia menciptakan kematian yang konstan, ia juga menciptakan waktu yang sama konstannya. Waktu pada akhirnya akan menang, sampai Ia datang untuk kedua kalinya. Untuk apa kita kuatir?<br /><br />Berdamai dengan kematian berarti menghargai kematian dan kehidupan apa adanya. Berdamai dengan kematian berarti mengenang yang tercinta dengan terbuka, tidak menyimpannya dalam hati. Berdamai dengan kematian adalah langkah terakhir, yang tidak jatuh dari langit, tetapi sesuatu yang harus kita usahakan. Harus kita perjuangkan, dan menjadi pembelajaran besar buat hati kita. Itulah sebabnya banyak sekali jiwa-jiwa besar hidup di tahun 1960-an. Karena, begitu banyak orang pada waktu itu didera kehilangan hebat akibat Perang Dunia II. Lihat apa akibatnya! Mereka keluar sebagai pemenang, jiwa mereka kuat, hatinya teguh, jauh jika dibandingkan dengan generasi sekarang. Itulah manfaat dan kekuatan yang diperoleh dari perdamaian dengan kematian.<br /><br />Jadi, berdamailah dengan kematian. Jangan musuhi dia, jangan hindari dia. Hadapi dia - jabatlah tangannya. Nicaya seringai sinis itu akan menjadi senyum manis, dan kenangan yang dulu indah, akan menjadi indah kembali.<br /><br />Toh.... kita cuma berbeda waktu!<br /><br />3 Tahun Meninggalnya dr. Erina Natania Nazarudin<br />Kedoya, 15 Juli 2010Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-82392433921319472912010-02-15T08:20:00.000-08:002010-02-15T08:22:11.512-08:00On Being 33<p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><em>“I’m 33 at the moment, </em></span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><em>I’m still a man, but you see I’m a they</em></span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;"><em>Kid on the way, babe, a family on my mind…”</em></span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">‘100 years’ by Five for Fighting</span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><?xml:namespace prefix = o ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:office" /><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">Well, yes, fellas, I officially turn 33 today. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">If I think about it, 33 ain’t so bad. And for me becoming 33, it ain’t so bad either. I think I have achieved, thanks to the blessings of the the Lord, more things than most 33-year-olds can achieve. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">This year, for example, I have made a step in my career to move into a new position abroad. This brings me out from good old <?xml:namespace prefix = st1 ns = "urn:schemas-microsoft-com:office:smarttags" /><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region>, at least officially, to the ever-progressing <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">China</st1:place></st1:country-region>. I moved from the sleepy <st1:city st="on">Jakarta</st1:City> suburb by the name of LIPPO Cikarang to a busy suburb of <st1:city st="on"><st1:place st="on">Shanghai</st1:place></st1:City>, a city called Kunshan. I have established my position in the organization, fought through a painful merger process, and finally decided to start a brand new department, dealing with tissue. From my humble beginnings in oversized working clothes blotted with oil stains and polyurethane splashes in the sleepy town of Karawang, I have turned into an indonesian expatriate (not many of us around) showing up everyday with a suit and a tie in a high-tech office near Shanghai. I talk, discuss, and debate with much older foreigners from a much more advanced countries, in 2 different languages. Sometimes I show myself as a selfish kid who wants to change the world, with baldening hair and a double chin. Short, talks too much, with a loud voice, always seems angry and intimidating when I state my opinion, although really, I am not. That’s just the way it is, if I feel the fire about something. Not bad, for a 33 year old. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">From the traveling world, I still kept my promise to visit 2 new islands or provinces every year in <st1:country-region st="on"><st1:place st="on">Indonesia</st1:place></st1:country-region>. This year has brought me to see the city of <st1:city st="on">Balikpapan</st1:City> and Tenggarong in Borneo, my first venture to this island (second, if you count my transit from <st1:city st="on">Manado</st1:City> to <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City> 2 years ago). I saw <st1:city st="on"><st1:place st="on">Balikpapan</st1:place></st1:City>’s beautiful moon bear reserve and strange ‘orange durian’ fruit. The second opportunity was Lampung, with a wonderful jungle adventure trip in Way Kambas. I traveled to <st1:country-region st="on">Japan</st1:country-region>, the wonderful city of <st1:city st="on"><st1:place st="on">Matsuyama</st1:place></st1:City>, dipped my bare body in the oldest hot bath in the country. I traveled to <st1:country-region st="on">South Korea</st1:country-region>, visiting the serene <st1:place st="on"><st1:placetype st="on">temple</st1:PlaceType> of <st1:placename st="on">Daeheung-sa</st1:PlaceName></st1:place>. The crown jewel was of course a visit to the Taj Mahal in <st1:place st="on"><st1:city st="on">Agra</st1:City>, <st1:country-region st="on">India</st1:country-region></st1:place>, which changed my whole perspective on love. New year’s eve was in <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Singapore</st1:country-region></st1:place>, watching the beautiful firecracker show in the Esplanade. Not bad, for the 33<sup>rd</sup> <span style="mso-spacerun: yes"> </span>year of one’s life. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">In the hobby world, some achievements have also been made. I wrote several articles to the Jakarta Post after seeing many interesting concerts. One of them was a performance by the Nusantara Symphony Orchestra in Balai Sarbini, <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City>. One article was also published about my journey through the jungle in Lampung. I continuously write for Jalansutra mailing list, travel reviews of <st1:country-region st="on">India</st1:country-region> and <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Japan</st1:country-region></st1:place>, which both receive very warm respond from the forum. After moving to <st1:country-region st="on">China</st1:country-region>, I write quite a lot of christian articles, each one replaces every missed visit to the church (either if I am in <st1:country-region st="on">China</st1:country-region> or if I wake up too late in <st1:city st="on"><st1:place st="on">Jakarta</st1:place></st1:City>). All in all, quite well, for a 33 year old while busy traveling the world and working abroad. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">From the financial side, it has also been not so bad, although there are still challenges for the future. My house is completely paid for this year, which I learned about after the bank rejected my installment for the mortgage (What was the problem? Why was the transfer rejected? Hello? Oh, all paid for? No more mortgage payment? I tell ya, it takes some getting use to not paying anything after all these years of mortgage installments). Then I applied for a business mortgage, renew the machines of my laundry, refurbished the whole house/laundry, making part of my dream ‘to live in a house that looks and feels just like a room at the JW Marriott Hotel Surabaya’ partly come true (32 inch flat TV, yes, air conditioning, yes, carpet and sofa, naaaah). The laundry is now gearing up to pay the mortgage, still struggling with manpower and low orders. We’ll manage. Not bad, for a 33 year old businessman wannabe. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">But still, I am not happy. I know God has blessed me with all these, and I am sure he is smiling now at me, looking down on me, sitting in my room in Tomang, writing on my laptop. Do you want to know, what I think he’s saying? “OK now boy, watcha gonna do?”. That’s that.</span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">Yes, when you’re young, and by ‘young’ I can still gladly say, in the 20-s, the world belongs to you. You have nothing, zero, and can only progress to positive, even with the slightest progress. So, you have nothing to loose! You think you can do something, and you do it. And for someone like me, I think I can do everything. I dare to try, that’s my philosophy. Managing position? Why not! Washing other people’s underwear to earn money? Hell, I can do that! Writing as a part-time journalist? Oh yeah, bring it on. Writing a travel journal? That’s a piece of cake! Have your own business? Come to papa!</span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">So here I am, a most-of-the-time expatriate manager, part-time laundry owner, part-time journalist, part-time travel writer, part-time business owner. All in parts, nothing in wholes!</span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">And when I get to know that Pramoedya Ananta Toer dedicated all of his life to writing, even without pen and paper; that Warren Buffet dedicated his life to investing, even without an inheritance; that Bill Gates dedicated his life to software, even without a degree in computing; I blushed. Here I am, a 33 year old, achieving partly of everything and being really good at nothing. Not good, not good at all. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">I remembered in my high school days, when I was in the same situation. I tried to play organ, learn karate, study, and became active in student’s organizations, until I get sick of all of them. Then, I met a bunch of friends who were doing nothing but playing all day, from house to house, from one video game to another. Then I told my mom and dad, that I want to stop trying so hard. I want to relax now, afterall, highschool years come only once in life. I just want to enjoy life, hang with my friends, have fun. I warned them that my performance at school was probably going to slightly slip from the usual no. 8<sup>th</sup> or 9<sup>th</sup>. They said, yes, by all means, do it. And I did it. And you know what? My performance was not worse, it was better! My rank was lifted up to 3<sup>rd</sup>, 2<sup>nd</sup>, even 1<sup>st</sup> at times. I excelled far better then I was before, until I was eligible for the best Technical Institute in the country (that was when all the fun stop, though). Anyway, I felt ‘the call of nature’ back then to relax, and just do what I enjoy the most, forget trying to be best at everything, just be excellent at one thing. And I did. And I was. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">Now, I am feeling this ‘call of nature’ again. I think, I have to do something. I have to forget trying to be best at everything, and seek out within myself, what I want to do the most. Is it becoming a professional manager with suits and ties? Or an enterpreneur with laundry uniform? Or a writer and a journalist? I believe I have the talents from God to do these things. That’s why, even with so little time invested, I still get good responses. But without focus, it’s nothing. It’s just occasional blogs, without a book, occasional articles, without front-page, occasional manager, without the board. So I have to be serious now, because like high school times, 30-s also only happens once in life. Once I screw up here, I’d be too old for everything, too late for anything, and it’ll be too long to achieve something. I have to stop, tell myself to relax, and do the things I like to do the most, and focus on it. Then, I’d become someone. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">What do I want to achieve anyway? An interesting comment came from one of my closest friends. When I told her about my achievements in business life, with salaries, status, and management levels, she smiled. “That’s not what you’re looking for, isn’t it? You are aiming for something else, aren’t you?”. Yes. She is right. I don’t think I want to be remembered as a manager who successfully manage a division until retirement. I don’t think I want to be remembered as a businessman who marvels in cheating banks into giving credits that made me a millionaire. Perhaps, I don’t even want to be a millionaire. What do I want to be then?</span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">I remember back in my university, I was queuing for a payphone in the library (yes, if you turn 33 years old today, you’d remember the day). There was a much older person queuing in front of me, with a simple coat and an old, ugly leather bag. I thought he looked like a postman. But when he picked up the phone and started to talk, I was surprised. He spoke with a very fluent american english, starting with, “Hello, this is Professor Joko. May I speak to…”. My God. When I told this story to my dad, he wisely said, “Son, that man needs no Rolex watch or Louis Vuitton bag to make other people respect him. People respect him for what he is”. Wow. Cool. That, I want to be. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">So I guess I’d have to tell my parents, that I am not going to be a millionaire. Maybe not even a rich director of a company. Or at least, I am not going to invest so much time, effort, energy, thoughts, talents, brainpower, attitude, earnest work, willpower, and prayers, to become one. But I will invest all of those to become noble. To be the first indonesian to win a noble prize, either peace or literature (hell, maybe chemistry!). To be remembered as a person, blessed with talents, having a one-track-mind to achieve a single goal, using all of his effort, to be… well… remembered. To leave a mark for the society. To stand for <st1:place st="on"><st1:country-region st="on">Indonesia</st1:country-region></st1:place>. If I’d end up as a millionaire, that’s fine of course. But I won’t spend so much time for money. I want to spend more time for a cause. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">That’s that. Happy 33th birthday, Harry Hardianto Nazarudin. May your dreams, come true. </span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">And, yes. Getting married. I know. It’s already late. You’re starting to sound like my parents…..</span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><o:p><span style="font-family:Times New Roman;"> </span></o:p></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"><span style="font-family:Times New Roman;">Tomang, February 12, 2010</span></p><p style="MARGIN: 0in 0in 0pt" class="MsoNormal"> </p>Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-69384542879120472282010-02-14T00:51:00.000-08:002010-02-14T00:54:07.081-08:00Selamat Tahun Baru Imlek Untuk Yang Merayakan!<!--StartFragment--> <p class="MsoNormal">Sudah dua bulan berturut-turut Republik Rakyat Cina, termasuk kota Kunshan tempat saya tinggal sekarang, dihajar oleh hawa dingin yang tak terperi. Apalagi dalam masa yang disebut ‘san ciu’, atau 3 x 9, 27 hari sesudah Winder Solstice yang tahun lalu jatuh pada tanggal 22 Desember. Tiba-tiba angin dingin seperti AC busway, bertiup kencang berhari-hari, berbulan-bulan. Suhu langsung jatuh dibawah nol, bahkan mencapai –5 celcius di Kunshan.</p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Rumah-rumah di Shanghai kebanyakan tidak memiliki radiator penghangat seperti di Eropa. Ini merupakan sisa aturan jaman dulu, karena Chairman Mao mengatakan bahwa radiator (atau boiler) hanya untuk wilayah utara Sungai Kuning. Sementara wilayah Selatan Sungai Kuning dianggap ‘cukup hangat’ sehingga pemerintah tidak menyediakan sarana penghangat, boiler, atau radiator. Memang, tidak seperti Beijing atau Qingdao, suhu di Shanghai tidak pernah lebih dari –10 celcius. Tapi, Shanghai letaknya sangat dekat dengan Sungai Kuning, sehingga termasuk apes gara-gara peraturan ini: dingin iya, tapi belum cukup dingin untuk dibuatkan infrastruktur seperti boilet! </p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Akibatnya, musim dingin menjadi sangat menyiksa. Jendela-jendela bocor, tidak dilengkapi penyekat untuk negara empat musim seperti Eropa. Satu-satunya penghangat adalah AC yang meniupkan angin panas, tetapi udara menjadi pengap dan bau. Dan, untuk masyarakat kebanyakan, satu-satunya sumber panas dalam rumahnya adalah kompor! Namun demikian, dengan gigi gemeretak menahan dingin, masyarakat tetap berkegiatan seperti biasa. Naik sepeda dan motor, dalam suhu –5 celcius, angin kencang pula, demi mencari sesuap nasi. Benar-benar ulet orang-orang ini, pikir saya. </p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Sampai Senin kemarin, 8 Februari 2010, mendadak seluruh Kunshan diliputi kabut supertebal. Saya bahkan tidak bisa melihat gedung kantor saya dari pagar! Ada apa gerangan, pikir saya. Esoknya, cuaca cerah, dan – bukan sulap bukan sihir – suhu langsung naik dari –5 menjadi +12 celcius! Sejak itu, setiap hari suhu mulai menanjak, karena angin hangat tiba-tiba bertiup kencang setiap hari. Guangzhou sudah +22 celcius,<span style="mso-spacerun:yes"> </span>Kunshan +15, saya sudah bisa melepas sweater waktu tidur dan menyetir dengan jendela terbuka. Selamat datang musim semi! </p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Masyarakat pun riuh rendah menyambut tahun baru. Disini, tidak ada kue keranjang, yee shang, atau semua ornamen Imlek yang kita kenal. Yang ada adalah camilan, seperti berbagai macam kacang (pistachio, almond, walnut), dan kue-kue kering, yang biasanya sulit didapat dan cukup mahal, kali ini nampak berlimpah ruah waktu saya masih ke hipermarket Auchan. Chaos dimana-mana: orang berebut kacang, berebut makanan diskon, maklum di Cina segalanya serba besar dan banyak karena jumlah penduduknya yang besar. Banyak petasan dijual, dengan tulisan-tulisan berwarna emas/merah bertulisnya ‘New Year’ dan bergambarkan harimau. Orang-orang sibuk pulang kampung, naik dari jendela kereta api, berebut naik pesawat. Persis suasana libur Lebaran di negri kita! </p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Perayaan Imlek memang sudah berubah, didera oleh sejarah dan politik. Di Cina daratan sendiri, ada Revolusi Kebudayaan tahun 1960-an, yang memakan korban lebih dari 30 juta jiwa. Revolusi ini secara sistematik menghancurkan sisa-sisa budaya feodal Cina dan menggantikannya dengan budaya ‘baru’, komunisme. Semua kelenteng, buku, bahkan furniture, dihancurkan, sehingga generasi seumur saya di Cina daratan sudah tidak mengenal lagi apa itu hio, meja persembahan, dan kelenteng. Apa yang dulu ada di Cina daratan, kini masih bisa dijumpai di Taiwan dan Hong Kong, yang relatif tidak terlalu kena dampak revolusi kebudayaan. </p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Di Indonesia sendiri, kebalikannya: justru pergulatan politik tahun 1960-an mengakibatkan pemerintahan Orde Baru mengeraskan kepalannya kepada masyarakat Tionghoa di Indonesia. Karakter Cina dilarang, perayaan Imlek selalu didahului oleh surat edaran yang ‘menghimbau’ dan mengajurkan ‘pembauran’. Yang bisa dilakukan, hanya tutup – menutup usaha kami, selama satu hari. Tiba-tiba, di tengah usaha pemerintah waktu itu untuk ‘meniadakan’ kaum kami, mendadak kaum kami ‘tidak ada’ beneran selama satu hari, dan masyarakat begitu kehilangan. Kue-kue favorit hilang dari pasar, toko-toko langganan tutup, bengkel langganan tutup, salon tercinta tutup, bahkan simbok penjaja kue jajan pasar pun ikut libur, karena pabrik kuenya tutup! </p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Kini, jamannya sudah berbeda. Terima kasih pada demokrasi, kini Imlek bahkan merupakan hari libur nasional, yang bisa saya banggakan di tempat saya kerja, sebagai simbol kebhinekaan Indonesia. Kami bersyukur, bahwa perayaan Imlek boleh dilakukan dengan bebas. Kue keranjang sudah berevolusi, menjadi makanan Indonesia dengan berbagai bentuk dan variasi. Ikan gurame goreng asam manis, kue lapis legit, dan kue keranjang dengan parutan kelapa, misalnya, menjadi simbol imlek asli Indonesia. Demikian warga Tionghoa lainnya di Malaysia, Singapura, Taiwan, bahkan Toronto dan San Francisco, menemukan caranya masing-masing. </p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p> <p class="MsoNormal">Kini, orang Tionghoa sudah menjadi diaspora. Yang di Indonesia menjadi orang Indonesia, turut berjuang dan menemukan identitasnya yang baru. Demikian pula di Singapura, juga di Malaysia dan negara-negara lainnya. Bahkan Cina Daratan, yang dulu dijadikan momok sebagai ‘musuh’ karena paham komunisnya, kini menjadi lokomotif ekonomi dunia. Jadi, dinding-dinding ideologi yang dulu dibangun, kini runtuh. Dan, masyarakat Tionghoa perantauan sudah menjadi 100% warga Indonesia, Malaysia, Singapura, dan bahkan Taiwan. Namun, setahun sekali, ijinkanlah kami merayakan Imlek. Bukan untuk menunjukkan bahwa kami berbeda, melainkan sekedar untuk kami mengingat asal-usul kami, mengingat sejarah perjalanan kami. Dan, mengingat, betapa beruntungnya kami menjadi warga Indonesia, sekaligus menyadarkan kami, bahwa kami masih punya satu tugas, yaitu untuk menunjukkan bakti bagi negara dan bangsa Indonesia. </p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p> <span style="font-size:12.0pt;font-family:Times;mso-ansi-language:EN-US">Selamat merayakan Imlek untuk para JS-ers yang merayakan! Xin nien kuai le, gong xi!</span><!--EndFragment--> <div><span class="Apple-style-span" style="font-family: Times;"><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-family: Times;">Cheers</span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-family: Times;"><br /></span></div><div><span class="Apple-style-span" style="font-family: Times;">Harnaz</span></div>Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-87276147349176930392010-01-17T19:03:00.000-08:002010-01-17T19:04:33.409-08:00KH Abdurrahman Wahid – Berani Tidak Keren<em>“Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar – tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati. Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa”<br /></em>Roma 5:7-8<br /><br /><em>“Janganlah kamu mencari dan mengikuti kebenaran karena tokohnya, tetapi carilah kebenaran itu sendiri niscaya kamu akan tahu siapa tokohnya”</em><br />Ali bin Abi Tholib<br /><br />Bangsa Indonesia baru saja kehilangan salah seorang putra terbaiknya. KH Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur, meninggal dunia pada tanggal 30 Desember 2009. Biasanya, Gus Dur dikenal di media dengan sebutan ‘bagus, tapi’. Bagus, tapi selalu ada ‘tapi’-nya. Misalnya, pluralis, tapi eksentrik. Jadi presiden, tapi kemudian dijatuhkan oleh MPR. Dikagumi, tapi juga banyak mengundang kritik. Bahkan dalam tulisan-tulisan obituari mengenai dirinya di surat kabar seperti Kompas sekalipun, kekaguman atas Gus Dur selalu diimbangi dengan ke-‘tapi’-an yang tak kalah dominan. Gus Dur memang orang yang dikagumi, tetapi – dengan meminjam istilah beliau yang ‘slengean’ – kurang keren.<br /><br />Mengapa Gus Dur kurang terlihat keren? Bukan karena beliau posturnya tidak tinggi besar, atau senyumnya kurang menawan. Justru itulah sifat Gus Dur yang paling membuatnya menjadi manusia luar biasa: keberaniannya untuk tidak keren. Keberaniannya untuk nyeleneh, untuk menentang pendapat banyak orang, dan untuk bergerak ke kiri ketika orang sekampung lari ke kanan. Dengan bertindak aneh begitu, seseorang tersebut pasti disebut kurang keren, tidak ikut mode, mau beda sendiri. Tapi, disitulah kualitas agung seorang Gus Dur – perimbangan antara intelektualitas yang jauh melebihi kalangannya dan kekeraskepalaan dan sifat saakelijk a la Jawa Timuran yang sangat kentara.<br /><br />Coba saja bayangkan: di jaman edan ini, semua orang cenderung ingin terlihat keren. Contohnya adalah pandangan mengenai agama: ngaku saja, untuk menjadi radikal itu jauh lebih keren daripada menjadi moderat, bukan? Apabila berbicara mengenai penyerangan Amerika ke Irak, bukankah lebih keren dan terlihat gagah, jika seseorang berteriak lantang soal kebencian terhadap agama Islam oleh Amerika yang dikuasai Yahudi, daripada sebuah tindakan meredam kekuatan negara berbahaya yang sudah menyerang negara Islam tetangganya secara sepihak? Kalau bicara mengenai golongan Tionghoa, bukankah jauh lebih terlihat perlente berbicara tentang betapa rakusnya orang-orang Tionghoa yang menguasai ekonomi, daripada berbicara tentang betapa orang Tionghoa memperoleh diskriminasi pada jaman Orba sekalipun sudah mengharumkan nama bangsa lewat prestasi di bulutangkis? Ya – akui saja – menjadi radikal, pasti lebih keren!<br /><br />Dalam kalangan Kristen, radikalisme juga terlihat lebih keren bukan? Ketika bicara mengenai semangat iman, bukankah lebih terlihat rohani jika kita bicara mengenai penginjilan, yang berarti membawa jiwa-jiwa baru alias berusaha mengkristenkan orang yang sudah beragama? Padahal, jangankan menerima jiwa baru, di negara ini orang yang sudah Kristen saja masih banyak yang tidak terurus. Pernahkah Anda melihat kondisi gereja-gereja di Sumba atau di Papua? Kondisi gereja-gereja di pedalaman itu – bahkan nampak juga di lereng Merapi, tidak perlu jauh-jauh ke luar pulau – sangat menyedihkan, dan masyarakatnya bahkan masih kekurangan gizi. Justru merekalah jiwa-jiwa yang harus kita selamatkan – bukanlah Tuhan Yesus berkata, dimanakah kalian pada saat Aku lapar? Lalu, apakah bukan tanggung jawab orang Kristen juga, kalau Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia? Sadarkah Anda, bahwa untuk tidak korupsi saja, iman kita masih terlalu kecil?<br /><br />Nah, hal-hal begini – yang tentu saja tidak terlihat keren – justru adalah hal-hal hakiki yang benar. Disinilah kekuatan iman seorang Gus Dur – beliau mampu, cukup tangguh, dan sangat berani untuk tidak keren dan tidak populer. Beliau tidak segan membela hak-hak kaum minoritas. Ketika radikalisme menjadi keren, beliau justru teguh mempertahankan pluralisme dan sikap moderat. Moderat yang bukan berarti permisif, tapi inklusif.<br /><br />Kalau diperhatikan, bukankah itu juga yang menjadi sifat Tuhan Yesus dalam hidupNya? Iapun sangat dibenci oleh orang Farisi dan Ahli Taurat – tokoh-tokoh agama pada masaNya – karena sikapnya yang tidak keren, bahkan cenderung kurang ajar. Mengapa Ia bergaul dengan pemungut cukai? Mengapa Ia mau berbicara dengan seorang perempuan sundal? Mengapa Ia berbicara soal pengampunan dosa yang gratis, tidak melalui korban sembelihan? Mengapa pula Ia berani memetik gandum pada hari Sabat? Ya – Tuhan Yesus juga sangat berani untuk tidak tampil keren. Ia berani berkata bahwa yang miskin itu lebih berbahagia dari yang kaya, yang menyumbang dua perak lebih berarti daripada yang menyumbang emas permata. Ia berani mengobrak-abrik meja dagangan di Bait Suci dan Ia tak segan menyindir para pemimpin agama yang korup. Alhasil, Tuhan Yesus menjadi tokoh yang dibenci oleh para pemimpin agama, tetapi dicintai rakyat. Begitu pula Gus Dur, yang seringkali membuat rikuh para petinggi bangsa, namun bisa membuat seorang petani miskin merasa nyaman duduk selonjoran di halaman Istana Negara.<br /><br />Jangan marah dulu, saya tidak menyamakan Gus Dur dengan Tuhan Yesus. Saya hanya mengajak Anda untuk merenung, betapa sulitnya meneladani sikap Tuhan Yesus. Dan salah satu contoh manusia yang berhasil meneladani sikap Tuhan Yesus dalam membela yang lemah, selain sederet orang seperti Ibu Teresa dan Mahatma Gandhi, adalah seorang Indonesia kelahiran Jombang, Jawa Timur, yang bernama KH Abdurrahman Wahid. Sikapnya yang berani tidak keren, tidak takut terlihat beda sendiri, dan kegigihannya membela kebenaran, patut menjadi teladan kita semua. Dalam tulisan Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, dituliskan bahwa untuk orang yang baik mungkin ada yang rela mati. Tetapi, untuk orang yang benar, sangat sedikit orang yang rela mati – apalagi untuk orang yang berdosa. Tuhan Yesus rela mati untuk kita yang berdosa. Gus Dur rela pontang-panting kesana-kemari, kadang-kadang mengabaikan kesehatannya sendiri, untuk membela yang benar, meskipun yang benar itu lemah atau tidak baik.<br /><br />Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menganjurkan agar kita mengenang Gus Dur bukan sebagai tokoh yang ‘bagus, tapi’, melainkan sebagai tokoh yang ‘bagus, walaupun’. Ia bisa menjadi presiden, walaupun tidak punya gelar doktor. Ia tetap menjadi tokoh yang disegani, walaupun sudah tidak jadi presiden lagi. Ia bisa menjadi seorang kiai yang taat, walaupun tak segan membantu dan membela kaum minoritas. Sayangnya, ia sudah meninggalkan kita, walaupun masih banyak masalah yang menghadang bangsa ini di masa depan. Harapan kita hanya tertuju pada tokoh-tokoh muda yang kini bermunculan. Mudah-mudahan, akan ada seorang pemimpin sekaliber Gus Dur, yang akan muncul ke panggung politik bangsa ini. Mudah-mudahan, Tuhan memberikan kepada kita pengganti Gus Dur, yang sama-sama berani tidak keren. “Ya tunggu aja! Gantinya kan pasti ada!” kata Gus Dur dalam bayangan saya. “Gitu aja kok repot!”<br /><br />Selamat jalan, Gus Dur!<br /><br />-Harry Nazarudin- <br /><br />Catatan: tulisan ini adalah pendapat pribadi murni tanpa muatan politik maupun agama. Jika Anda merasa keberatan, silakan mengirimkan email ke <a href="mailto:harnaz@gmail.com">harnaz@gmail.com</a>, supaya kita bisa berdiskusi. Terima kasih!Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-33255833307704209632009-11-20T21:22:00.000-08:002009-11-20T21:23:35.893-08:00[Resensi buku] Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando<em>” Bila jarum jam bisa diputar kembali, saya tetap memilih profesi sebagai tentara. Dalam pengabdian untuk bangsa dan negara, di dalam organisasi militer tidak ada pengelompokan. Kalau sampai terjadi pengelompokan-pegelompokan itu bukan militer profesional”</em><br />Epilog, hal. 475.<br /><br />Kalau di Indonesia ada Pulitzer Prize, buku biografi yang satu ini pasti bisa menang. Sayangnya, perhargaan sastra di Indonesia masih sangat jarang, sehingga buku ini hanya terkenal di masyarakat karena pengungkapan Letjen TNI (Hor) Sintong Pandjaitan, sebagai penasehat keamanan dan ’orang dalam’ di pemerintahan presiden BJ Habibie, tentang peristiwa kerusuhan Mei 1998. Padahal, dari semua biografi yang pernah saya baca, buku ini adalah salah satu yang terbaik dari segi penulisan maupun jurnalistik. Dibandingkan dengan buku ‘Andrew Jackson, The American Lion’, karya Jon Menacham yang memenangkan Pulizer Prize tahun ini, menurut saya hanya beti alias beda tipis saja!<br /><br />Pencapaian ini tak lain adalah karena kepiawaian Hendro Subroto, sang penulis buku ini. Hendro ternyata bukan orang sembarangan: beliau adalah seorang wartawan perang yang sudah berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1964. Beliau adalah jenis wartawan yang sangat langka di Indonesia - wartawan yang bukan berhadapan dengan pentungan satpam atau dorongan polisi, melainkan dengan desingan peluru sungguhan dan todongan senjata betulan. Beliau mengenal Sintong dengan baik karena sering diterjunkan ke lapangan bersama Sintong, seperti dalam Penjelajahan Lembah X di Papua.<br /><br />Ada dua kekuatan Hendro dalam penulisan buku ini: pertama dalam melukiskan situasi secara detail dan akurat, sehingga kita seolah-olah berada bersama Sintong dan pasukannya ketika mengejar Kahar Muzakkar, ketika tersesat di Lembah Baliem, atau ketika mengamati pembebasan pesawat Garuda ‘Woyla’ yang dibajak di Bangkok. Karena memang pernah terjun langsung ke lapangan, Hendro sangat piawai dalam membeberkan detail teknis, memberikan gambaran mengenai suasana, serta menjelaskan runut peristiwa, dalam suatu situasi dimana hitungan detik bisa terasa seperti berjam-jam.<br /><br />Contohnya, ketika Hendro menuliskan tentang kisah penangkapan pemberontak DI/TII Kahar Muzakkar. Kita hanya mengenal Kahar dari pelajaran sekolah dulu - bahwa beliau adalah pemberontak yang kemudian tertangkap. Siapa sangka, bahwa kisah penangkapannya di Sulawesi Tenggara begitu dramatis. Setelah dikejar berminggu-minggu, dengan kekuatan penuh Angkatan Darat, Brigjen TNI M. Jusuf pada waktu itu menjanjikan pada pasukan yang bisa menangkap Kahar Muzakkar akan diangkut dengan pesawat AURI untuk pulang ke kesatuannya. Sebuah janji yang sederhana, namun sangat berarti bagi prajurit yang biasanya harus menempuh perjalanan berjam-jam lewat laut dan darat, sebelum sampai ke daerah penugasan di Sulawesi. Kahar Muzakkar begitu licin, sampai-sampai pada akhirnya beliau melarikan diri ke hutan-hutan di Sulawesi Tenggara. Ketika salah satu satuan prajurit pengintai menyusuri Sungai Lasolo, ia mendengar sayup-sayup lagu ’Terkenang Masa Nan Lalu’ dari Radio Malaysia. Tahulah ia, bahwa di dekat situ pasti ada Kahar Muzakkar, karena hanya Kahar yang boleh memiliki kemewahan sebuah radio transistor dalam tendanya. Akhirnya, diiringi lagu itupun, Kahar meregang nyawa, tertembak ketika sedang mengambil granat untuk menyerang balik. Walaupun bukan kesatuan Sintong yang menangkap Kahar, namun Hendro menuliskan cerita ini sebagai sebuah kelengkapan cerita. Kisah-kisah heroik yang sesungguhnya seperti ini sebenarnya harus lebih banyak lagi di-ekspos ke masyarakat, daripada mencari pahlawan-pahlawan semu dari layar sinetron.<br /><br />Kekuatan Hendro yang kedua adalah pengetahuannya di bidang teknik kemiliteran. Dengan fasih, Hendro bisa menjelaskan spefisikasi teknis, kekurangan dan kelebihan sebuah kehikopter, tank, atau senapan yang digunakan pada saat itu. Dengan demikian, Hendro bisa memberikan penjelasan yang rinci dan detail mengenai apa yang terjadi dan mengapa. Contohnya, ketika Sintong bersikukuh untuk mencoba senapan Hekler & Koch MP5 SD-2 yang baru datang dari Jerman, sebelum memimpin operasi pembebasan pesawat Garuda ‘Woyla’ yang dibajak di Bangkok.<br /><br />Saat itu, yang dihadapinya adalah Letjen TNI Benny Moerdani, yang terkenal kegarangannya dalam sejarah militer Indonesia. Namun, dalam satu situasi itu, Sintong menunjukkan keteguhan seorang prajurit - juga seorang Batak - dalam mempertahankan pendapatnya. Ternyata ia benar - senjata yang baru itu ternyata macet, dan Hendro menjelaskan bahwa kemungkinan karena udara di Indonesia begitu lembab, peluru dari Jerman yang sudah lama berada di senjata tersebut berkarat sehingga macet. Setelah mendapatkan mengganti peluru, barulah mereka berangkat, dan kemudian berhasil membebaskan pesawat Garuda dengan operasi pembebasan yang dramatis, di bawah tatapan kagum mata dunia internasional. Apa yang terjadi bila ternyata senapan yang digunakan dalam operasi sergap tersebut macet? Tidak terbayangkan!<br /><br />Catatan yang juga menarik adalah mengenai mekanisme dalam ABRI, yang juga dikenal baik oleh Hendro Subroto. Aturan baku mengenai rantai komando, struktur intelijen ABRI, serta intrik internal diantara perwira, terjalin menjadi kisah yang asyik dibaca. Pada akhirnya, intrik ABRI tidak ada bedanya dengan pergulatan karir dalam sebuah perusahaan swasta, dan seorang Jenderal pada hakekatnya adalah seorang manajer. Kepatuhan mutlak prajurit kepada atasannya, yang sering dipandang khalayak umum sebagai suatu kelemahan dibanding demokrasi terbuka, ternyata adalah suatu kekuatan penting ABRI, dan alasan mengapa organisasi ABRI bisa bergerak jauh lebih cepat, efektif, dan gesit, dibanding sebuah institusi demokratis. Inilah yang dipraktekkan oleh Cina, sehingga ekonomi mereka maju begitu cepat dan pesatnya.<br /><br />Mengenai gerakan reformasi 1998, Sintong sebagai seorang militer memiliki sebuah pandangan yang sangat bijak. Selama ini, saya selalu berdebat dengan rekan-rekan orang asing ketika membandingkan peristiwa Tiananmen di Cina dan Gerakan Reformasi 1998 di Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia seringkali dicap sebagai gerakan anarkis, yang menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang kemunduran dan kekacauan. Sementara tindakan represif militer Cina di Tiananmen dianggap sebagai sebuah ‘tindakan yang tepat’, walaupun memakan korban jiwa. Saya sendiri selalu beranggapan bahwa reformasi Indonesia - meski berdampak negatif terhadap ekonomi - namun adalah hal yang benar, karena demokrasi dijunjung tinggi di Indonesia, sementara di Cina - walaupun ekonomi maju - tidak mementingkan demokrasi.<br /><br />Namun, Sintong berpendapat lain, bahwa walaupun militer Cina melibas habis gerakan Tiananmen, namun semangat perjuangan Tiananmen justru diadopsi dan diteruskan oleh mereka. Semangat bekerja bagi negara, anti korupsi, dan memakmurkan rakyat, walaupun tidak secara demokratis, diteruskan oleh pemerintah dan militer Cina. Bisa saja pemerintah dan militer Cina berkembang menjadi diktator kejam, tapi tidak. Di Indonesia, justru para reformis yang meninggikan diri sebagai demokratis, yang kemudian menghancurkan ideologinya sendiri dengan berbagai kepentingan pribadi, KKN, dan korupsi. Bahkan sekarangpun, kita masih bergelut dengan musuh yang sama - walaupun dalam era yang berbeda. Dan, sang musuh nampaknya justru menjadi lebih kuat dari sebelumnya!<br /><br />Buat saya, yang paling menarik dari buku ini adalah kisah kepahlawanan Sintong. Sudah lama, generasi saya hanya mendengar caci-maki dan sindiran sinis mengenai ke-Indonesiaan dan menjadi Indonesia. Bahkan, seperti sudah disebutkan diatas, masyarakat kini begitu rindu akan nilai-nilai kepahlawanan, sampai-sampai mencari pahlawan semu di layar televisi dan sinetron. Padahal, dalam sejarah kita, banyak kisah kepahlawanan seperti diceritakan dalam buku ini. Bagaimana pasukan khusus Indonesia, yang masih dipandang sebelah mata di dunia, bisa membebaskan para sandera dalam pembajakan pesawat Garuda ‘Woyla’ di Bangkok. Bagaimana seluruh insan negara Indonesia bahu membahu memenangkan Pepera Irian Barat, sehingga Papua bisa masuk ke pangkuan Ibu Pertiwi. Bagaimana pemberontakan demi pemberontakan bisa ditumpas, dengan semangat nasionalisme yang membara.<br /><br />Semua itu dapat dicapai karena insan-insan yang berkecimpung di dalamnya, bekerja dengan sangat kompak, sungguh-sungguh, tanpa ambisi pribadi, demi tegaknya NKRI. Alangkah ironisnya jika kita bandingkan antara Pemenangan Pepera Irian Barat dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia - betapa taktik yang sama bisa memberikan hasil yang begitu berbeda, karena hilangnya kemurnian niat dan kesungguhan hati membela negara dalam pelaksanaannya. Kita butuh kisah-kisah seperti ini - agar kita bisa merasa percaya diri lagi sebagai orang Indonesia. Agar kita sadar, bahwa Indonesia pernah bisa, dan akan bisa lagi, asalkan ada hasrat murni dari dalam hati demi tegaknya bangsa dan negara Indonesia!<br /><br />Harry NazarudinHarnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-59289725472976109632009-11-07T19:30:00.001-08:002009-11-07T19:30:22.854-08:00Indonesia Harus Berani Menjadi Sempurna“I come from the country where it is OK to be mediocre. Infact, pursuing perfection is seen as something unusual”<br />Agnes Monica, dalam wawancara dengan Channel News Asia mengenai usahanya mencapai kesempurnaan dalam industri musik.<br /><br />Pertama-tama, saya terkejut melihat Agnes Monica di televisi asing. Selain Agnes, mungkin hanya Anggun, orang Indonesia yang namanya bisa berkibar di dunia musik internasional. Namun, yang membuat saya lebih terkesan adalah komentar Agnes tentang Indonesia, negara asalnya. Ia menjelaskan bahwa ia ingin mencapai kesempurnaan dalam industri musik, baik dari kualitas suara, kualitas video klip, maupun manajemennya. Namun, usahanya ini harus dilakukan dengan ekstra keras, karena menjadi sempurna bukanlah prioritas bagi kebanyakan orang Indonesia. Dan, ketika saya renungkan, Agnes benar.<br /><br />Saya tersenyum sendiri mengingat komentar rekan saya ketika menyaksikan sebuah acara di Discovery Channel tentang sulitnya melakukan pengeboran minyak di lepas pantai sebuah negara Skandinavia. Betapa rig-nya harus dibuat di pelabuhan yang jaraknya jauh, lalu ditarik dengan kapal laut berkelok-kelok melewati lekukan fjord, melawan badai dan ombak, sampai mencapai tujuan. “Wah, kalau di Indonesia, kalau ditanya apakah minyak di pantai bisa diambil, jawabnya pasti: susah Pak! Cari tempat lain saja!” begitu kata teman saya sambil terkekeh. Begitu pula dengan proyek-proyek raksasa seperti kereta bawah tanah, membuat pesawat A-380, dan lain-lain. Semuanya dianggap sebagai proyek ‘gila’, yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Padahal, justru Indonesia-lah yang menjadi pelopor proyek ‘gila’ tersebut.<br /><br />Waktu negara-negara Asia masih baru saja lepas dari belenggu penjajahan, sebuah eforia melanda kawasan ini. Negara-negara seperti India, Burma, Malaysia, Singapura, Taiwan, bahkan Cina, yang sudah merasakan pahit getir penjajahan, kini menjadi merdeka. Bangsa yang dididik kerdil sejak lahir - selalu diajarkan bahwa mereka - kita - berada sederajat lebih rendah dari sang penjajah, sederajat lebih bodoh, dan sederajat lebih kotor, mendadak merdeka. Dan Soekarno, Bapak Bangsa Indonesia, berada di barisan paling depan. Beliau menyadari betul apa yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa ini: kesetaraan. Bangsa-bangsa ini harus mendobrak batasan-batasan feodal yang diturunkan penjajah, dan membentuk sebuah identitas baru.<br /><br />Maka, mulailah Indonesia menjadi pelopor. Dengan usaha sendiri - walaupun terseok-seok - tentara Indonesia berhasil merebut Irian Barat dari Belanda. Kemudian dibangunlah proyek-proyek mercusuar seperti Monas, Jembatan Semanggi, dan Air Mancur Bundaran HI. Mengapa disebut mercusuar? Karena Soekarno melihat Indonesia sebagai mercusuar - sebuah menara tinggi yang memancarkan cahaya, memandu kapal-kapal lainnya agar tidak tersesat dalam kegelapan! Bukan saja bangunan, tetapi juga program-program serupa, seperti Konferensi Asia Afrika, Ganefo, dan lain-lain!<br /><br />Kalau kita berbicara dengan orang-orang yang hidup di era 1950-an, mereka akan masih ingat, bagaimana imaji dunia internasional terhadap Indonesia pada waktu itu. “Indonesia” kata seorang rekan asal Taiwan, “Dulu jadi pusat perhatian. Jakarta dulu jadi simbol kemajuan Asia!” katanya bersemangat. Ya - kita pernah bisa seperti itu. Monas dan Semanggi dibangun jauh sebelum Shanghai, Seoul, atau Bangkok mulai membangun proyek-proyek seperti itu. Jadi, kita bisa! Bukan hanya Monas, tapi mahakarya bangsa kita seperti Borobudur dan Prambanan - yang tidak kalah dengan Angkot Wat atau Great Wall, menjadi saksi bahwa sebenarnya Indonesia bisa.<br /><br />Lalu, apa masalahnya? Mengapa kita sekarang kelihatannya sulit untuk maju? Bahkan untuk mempertahankan satu-satunya mahkota kita, kejayaan di olahraga bulutangkis - itu saja begitu sulit. Ya - karena bangsa ini lupa, bagaimana menjadi sempurna!<br /><br />Dalam masyarakat kita sekarang ini, ada rasa pesimisme yang begitu besarnya. Rasa pesimisme ini begitu besarnya, sampai-sampai menjadi penghalang utama kemajuan bangsa kita. Bahkan hutang IMF yang dulu rasanya menggunung itu, kini telah lunas. Tapi, rasa pesimisme sebagai akibat dari eforia reformasi, masih belum sirna juga. Rasa inilah yang membuat kita menjadi bangsa gampangan - maunya yang gampang-gampang saja. Susah sedikit saja, maka proyek-proyek ini menjadi terbengkalai karena dicap sebagai ‚terlalu susah’. Lihat saja proyek jalan tol - dimana-mana nampak palang-palang beton yang berkarat tak terurus, sebagai simbol kemandekan kita. Padahal, di negara-negara seperti Cina, jalanan dibuat dalam hitungan hari saja. Di Indonesia, sudah bertahun-tahun, rugi pula!<br /><br />Kita sudah lupa bagaimana caranya menjadi sempurna. Toleransi kita begitu besarnya, sampai-sampai orang yang masih berjuang menjadi sempurna sering dianggap ‘gila’. Bagaimana masyarakat umum menilai Ugo Untoro, Garin Nugroho, atau Ayu Utami? Dibandingkan dengan sinetron asal jadi, atau bintang film asal cantik? Bahkan ketika sebuah bank ingin mengedepankan bulutangkis, bukan atlit sungguhan, melainkan bintang sinetron yang jadi simbolnya! Nah, itulah sebabnya. Kita menjadi cepat puas, dan lupa mengejar kesempurnaan. Padahal, strive for perfection - atau kesungguhan mengejar kesempurnaan, adalah kunci kesuksesan sebuah bangsa - bahkan sekecil Singapura sekalipun.<br /><br />Usaha ini tidak mudah, karena masyarakat sudah terlanjur diserbu oleh semua yang serba instan. Namun, masih belum terlambat! Media harus mengedepankan kisah-kisah orang yang mengejar kesempurnaan sebagai teladan - dari peraih Kalpataru, sampai juara Olimpiade Matematika. Mereka harus menghiasi halaman depan, bukan di paling belakang atau terselip di pojok kecil. Film, mengundang peranan besar. Buktinya, film Laskar Pelangi - yang mengisahkan tentang mengejar kesempurnaan - bisa laku keras! Namun, masih terlalu sedikit genre film seperti itu. Bangsa Amerika adalah contoh bagaimana industri film bisa memupuk nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa Amerika. Perlu kerja sama antara pemerintah dan masyarakat seni, namun hal ini bisa dicapai. Kalau Anda berpikir usaha ini mustahil, mungkin Anda juga dirasuki pikiran ‚asal gampang’. Mari kita raih kesempurnaan dalam mengajar masyarakat tentang arti mengejar kesempurnaan!Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-48136807348497185712009-08-16T18:28:00.000-07:002009-08-16T18:31:05.802-07:00Terkenang Sungai Lasolo<em>Terkenang masa nan lalu</em><br /><em>Berdua di taman bunga</em><br /><em>Bersumpah setia bergurau bersama</em><br /><em>Tapi sayang sekejap sahaja</em><br /><br />Lagu itu mengalun sayup-sayup di pagi buta. Baru saja ia selesai sholat subuh ketika ia menyalakan radio transistor satu-satunya di rumah itu. Sebuah rumah yang sederhana, lebih tepat disebut bilik. Diluar sana masih gelap gulita, namun langit di ufuk timur sudah sedikit memerah, seolah meregang menggeliat menyiapkan diri untuk datangnya matahari pagi.<br /><br />Ia mengenakan kaus putih yang digantung di kamarnya. Kaus yang sudah lusuh dan bau, karena sudah berhari-hari tidak dicuci. Ia semula duduk, ingin mengistirahatkan tubuhnya. Walaupun hari masih pagi, tubuhnya terasa sangat, sangat lelah. Ia merenung, membayangkan apa yang telah dilakukannya. Begitu banyak kematian, begitu banyak perjuangan dan darah yang tertumpah. Tiba-tiba, wajah-wajah yang dulu dikenalnya, yang kini sudah sirna jiwanya tertebas kelewang atau tertembus peluru, berkelebatan di hadapannya. Sejak semalam. Itulah sebabnya, tidurnya kurang nyenyak tadi malam.<br /><br />Di luar sana, nyaris tidak ada angin. Hujan sudah mengguyurnya selama berhari-hari, menambah sulit perjalanan yang dilaluinya. Tahukah Anda, bahwa alam pun bisa senyap? Di musim hujan, biasanya ada jeda dimana tidak ada hujan, namun sebelumnya hujan lebat, dan sesudahnya akan hujan lebih lebat lagi. Pada saat itu, biasanya disebut jeda hujan, alam seolah diam. Binatang pun senyap, angin tewas. Semuanya seolah takzim, dalam persembunyiannya masing-masing, tidak berani keluar sarang. Menunggu. Menunggu hantaman hujan yang akan datang. Menunggu gelontoran ribuan kubik air dari langit yang akan menghajar mereka tanpa henti. Bernafas, bukan lega, tapi siaga. Sayup-sayup, hanya aliran Sungai Lasolo yang terdengar deras di kejauhan. <br /><br /><em>Terkenang masa nan lalu</em><br /><em>Berdua di taman bunga</em><br /><em>Bersumpah setia berjanji bersama</em><br /><em>Tapi sayang sekejap tak lama<br /></em><br /><em>Cemas terasa seluruh tubuhku</em><br /><em>Terlihat tanda dijari manismu</em><br /><em>Tanda ikatan tak boleh ganggu</em><br /><em>Gugur segala cita-cita </em><br /><em></em><br /><em>Tinggal la tinggal kekasih</em><br /><em>Semoga engkau berbahagia</em><br /><br />Ia terkejut mendengar sayup-sayup lagu itu. Badannya basah kuyup, setelah menyebrangi sungai Lasolo yang sedang meluap karena banjir. Di pagi buta seperti ini, dinginnya seperti menusuk tulang. Ransel yang dibawanya terasa semakin berat, apalagi sesudah tercelup air.<br /><br />Ia mengibaskan kepalanya sambil mengerjap. Ia harus memastikan, bahwa alunan musik ini bukan mimpi! Alunan tersebut hilang, namun kemudian muncul kembali. Benar! Ini bukan mimpi! Di depan sana, hanya nampak alang-alang setinggi dahi manusia dewasa. Ia bergerak perlahan, langkah demi langkah dititinya diatas kubangan becek di tepi Sungai Lasolo. Sebuah tanah asing, jauh dari tanah asalnya.<br /><br />Ia harus melangkah dengan hati-hati. Alam saat itu seolah sunyi senyap, jeda hujan. Nyaris tidak ada angin, dan semua binatang juga nampaknya bersembunyi di sarang mereka masing-masing. Berarti, akan datang hujan yang lebih deras lagi dari kemarin. Sementara ia melangkah, seekor ular nampak berkelebat, melarikan diri karena tempat persembunyiannya terinjak. Ia bergidik, kemudian melangkah lagi menuju datangnya alunan musik dari depan sana.<br /><br /><em>Terkenang masa nan lalu</em><br /><em>Berdua di taman bunga</em><br /><em>Bersumpah setia berjanji bersama</em><br /><em>Tapi sayang sekejap tak lama</em><br /><em></em><br /><em>Cemas terasa seluruh tubuhku</em><br /><em>Terlihat tanda dijari manismu</em><br /><em>Tanda ikatan tak boleh ganggu</em><br /><em>Gugur segala cita-cita </em><br /><em></em><br /><em>Selamat tinggal kekasih</em><br /><em>Semoga engkau berbahagia</em><br /><br />Ah, lagu itu. Lagu itu tiba-tiba menggetarkan emosinya, mengingatkannya pada masa lalu. Ketika segalanya masih indah. Ia terkenang masa kecilnya, ketika bermain di sebuah pelataran di kampungnya. Ayahnya yang keras, biasanya memanggilnya pulang untuk sholat maghrib. Iapun berlari menuju rumahnya. Dari jauh, nampak pintu rumah itu, seolah berpendar di tengah cahaya matahari yang mulai melemah. Darimanapun ia datang, petualangan apapun yang dialaminya seharian itu, semuanya berakhir di pintu itu, pintu kebahagiaan. Pintu tempat ia kemudian mengambil wudhu, lalu menceritakan petualangannya pada saudara dan orang tuanya. Seperti sarang yang hangat, dan siap menyambutnya setiap saat.<br /><br />Dalam hatinya, mendadak ada rasa iri. Iri pada ular, yang kini berdiam aman di sarangnya. Iri pada burung-burung, yang kini sedang meringkuk dalam kehangatan sarangnya diatas pohon, satu keluarga beserta anak-anaknya. Iri pada tikus tanah, yang kini sedang berkerumun menghangatkan diri di dalam lubang sarangnya. Sementara ia, ia sendiri, tanpa sarang, apalagi rumah. Keluarganya tercerai-berai, hanya melalui surat ia bisa mengontak mereka. Itupun tak jelas kapan sampainya, atau apakah sampai, atau apakah ia masih bisa menerima balasannya. Atau, malah tidak dibalas sama sekali.<br /><br />Mendadak ia merasa sesak. Sebuah batu berat seperti menimpa dadanya pagi itu. Ia berdiri, melangkah menuju pintu. Dalam hatinya, ia merenung dengan dalam. Kisah hidupnya seolah terpapar di dalam benaknya. Perjuangan demi perjuangan, perang demi perang. Kemenangan demi kemenangan, namun diakhiri dengan sebuah kekecewaan yang mendalam. Ia tersenyum sendiri. Ia pernah bersumpah, tidak akan kalah oleh senjata. Dan benar - dengan senjata, ia selalu menang. Justru dengan perkataan ia kalah. Justru dengan rantai komando, cita-citanya hancur. Lalu, untuk apa semuanya ini? Apakah semuanya sia-sia? Bagaimana dengan ribuan orang yang mati - apakah kematian mereka juga sia-sia?<br /><br />Ia bergidik. Ia melangkah keluar, sekedar untuk menghirup udara segar. Alunan musik yang masih mengalun, membawa hatinya pergi melanglang buana ke suatu tempat yang jauh. Suatu tempat dimana ia masih punya sarang. Suatu tempat dimana ia diterima, ia dirawat, dan ia dihangatkan. Tiba-tiba dalam hatinya terbayang pintu itu. Pintu kecil itu, pintu rumah masa kecilnya dulu.<br /><br />Tiba-tiba ia tersentak. Ia melihat seseorang mengendap di kejauhan. Gawat! Naluri tentaranya mendadak bangkit, seperti seekor harimau yang baru sadar, bahwa beberapa pemburu telah melacaknya. Ia segera berbalik, dan berlari ke arah tepian rumah. Dengan refleks, ia mengeluarkan granat tangan yang selalu disimpannya di dalam saku celananya. Granat tangan, yang disiapkannya untuk menghadapi keadaan darurat. Seperti ini.<br /><br />Dor! Dor dor dor dor! Dor dor dor dor!<br /><br />Serentetan tembakan terdengar di udara, disertai derap langkah tiga orang - dari arah berbeda - yang berlari ke arahnya. Lalu, semua gelap. <br /><br /><em>Terkenang masa nan lalu</em><br /><em>Berdua di taman bunga</em><br /><em>Bersumpah setia berjanji bersama</em><br /><em>Tapi sayang sekejap tak lama</em><br /><br />Ia memeriksa mayat itu dengan hati-hati. Sebuah granat tangan nampak dalam genggamannya yang kini sudah lepas. Baju putihnya bersimbah darah.<br /><br />„Benar, ini orangnya?“ tanyanya.<br />„Benar! Kita berhasil. Ayo kita kontak Mako di Pakue!“ kata rekannya.<br /><br />Alunan musik itu pun berhenti, seolah mengikuti gerak alam yang nampaknya semakin sunyi. Rintik-rintik hujan mulai terasa membasahi padang rumput di tempat mereka berdiri. Sebentar lagi, pasti akan turun hujan lebat.<br /><br />Kunshan, 8 Agustus 2009<br /><br /><em>Catatan: Seperti dikisahkan Hendro Subroto, Kahar Muzakkar tewas ditembak oleh tim yang dipimpin Kopral Umar, setelah membuntuti Kahar selama berminggu-minggu. Kopral Umar memastikan bahwa yang disergap adalah Kahar Muzakkar, karena mendengar lagi ‘Terkenang Masa Nan Lalu’ dari radio transistor dalam rumahnya. Hanya Kahar Muzakkar yang boleh punya radio transistor di wilayah itu. Di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, Kahar Muzakkar tewas, mengakhiri pemberontakannya.</em>Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-1248453054102496832009-08-04T06:44:00.000-07:002009-08-04T06:45:25.383-07:00Ulasan Buku “Saya Terbakar Amarah Sendirian”<em>Wawancara Andre Vltchek dan Rossie Indira dengan Prmaoedya Ananta Toer<br /></em><br />« Setelah dihujani dengan budaya yang seperti ini selama berpuluh tahun, negeri ini hanya tahu dan kenal satu saja : hiburan, terutama perjuangan ke arah tempat tidur dan peternakan diri….<br />Jadi dua pilar yang dibangun pasca tahun 1965 adalah hiburan dan penindasan »<br />Bab V, Budaya dan Jawanisme, halaman 65.<br /><br />« Jangan banyak bicara, harus langsung bertindak ! Obatnya hanya revolusi, tidak ada yang lain. »<br />Bab XI, Revolusi: Masa Depan Indonesia?, halaman 121.<br /><br />Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, yang sering disebut di buku ini sebagai penulis terbesar di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, membuat hati saya seperti teriris sembilu. Bukan karena kesedihannya, penderitaannya, maupun perjuangannya, tetapi karena pandangannya terhadap Indonesia sekarang ini. Pandangan yang begitu miris, tetapi benar.<br /><br />Pram menghabiskan sebagian besar hidupnya di penjara. Beliau ditangkap tanggal 13 Oktober 1965, dan baru bisa bebas tahun 1992, itupun setelah menolak wajib lapor. Ketika ia masuk penjara, Indonesia sudah ditepi jurang untuk jatuh ke dalam lembah kekelaman Orde Baru, namun sisa-sisa idealisme perjuangan, nilai-nilai Indonesia merdeka, serta program ‘Nation and Character Building’ dari Soekarno masih ada. Sesudah itu, bersamaan dengan hari-hari kelam Pram di penjara, Indonesia mengalami pula metamorfosis kelam yang terbalik - dari kupu-kupu menjadi ulat.<br /><br />Di penjara, Pram disiksa. Bukan secara fisik, dengan kekerasan, atau dengan metode penyiksaan a la Guantanamo. Pram lebih kuat dari itu - dan penguasa waktu itu juga sadar, bahwa Pram harus dipatahkan dengan cara yang lebih keji lagi. Pram adalah penulis yang cinta menulis dan hidup untuk menulis. Pram melawan dengan menulis, jiwanya adalah seorang penulis. Apa yang bisa mematikan hidupnya ? Ambil pena dan kertas darinya, maka Pram pun akan mati pelan-pelan ! Begitu kira-kira. Jadi, hukuman Pram nampak sederhana saja : dilarang menggunakan pena atau pensil sekalipun, dan tidak boleh memegang atau melihat kertas selembarpun. Di jaman sekarang ini, dimana rakyat membayangkan ‘penyiksaan’ adalah tamparan di muka seorang putri yang terpaksa menjadi pembantu dalam sinetron kita, hukuman ini nampak tidak masuk akal.<br /><br />Bagi seorang penulis sungguhan seperti Pram, hukuman ini lebih berat dari hukuman mati, seperti menghukum hidup seorang terdakwa pembom bunuh diri. Iapun nyaris runtuh, namun tetap melawan. Di dalam penjara, ia justru menuliskan salah satu karya terbaiknya, yakni terkenal dengan ‘Tetralogi Buru’. Bagaimana caranya ? Pram mendiktekan cerita karangannya pada rekan sepenjaranya, yang kemudian menuliskannya. Dengan konsisten, Pram menjalin cerita, mengatur plot demi plot, menarik benang merah, dan mempertahankan sifat karakter cerita, hanya berdasarkan pikirannya saja, tanpa bisa mengoreksi, atau meninjau kembali apa yang sudah ditulis. Dan, Pram menulis tentang Indonesia : padahal, ia kini menderita, karena Indonesia. Luar biasa ! Sebuah bukti keteguhan hati, kebulatan tekad, dan perjuangan gigih yang tiada taranya.<br /><br />Pram pun akhirnya keluar dari penjara, dan Indonesia mengalami satu lagi masa baru, yang dikenal dengan masa reformasi. Ketika Pram menghirup udara bebas di Indonesia, apa yang ditemukannya ? Negara ini dalam keadaan busuk ! Katanya tegas. Tidak seperti kebanyakan orang yang latah melafalkan ‘Indonesia sedang terpuruk’ atau ‘bangsa ini dalam proses pembusukan’, Pram bisa mendefinisikan dengan tepat : mengapa Indonesia busuk dan apa obatnya. Saya selalu tidak suka dan akan menentang habis jika mendengar seorang latah melagukan terpuruknya Indonesia seletah krisis moneter (yang sudah 10 tahun berlalu!). Tapi, terhadap Pram, saya kehabisan kata-kata.<br /><br />Mengapa Indonesia terpuruk ? Yang pertama, karena Indonesia sebenarnya adalah sebuah bangsa yang baru, yang tidak memiliki budaya, karakter, dan prinsip kebangsaan sendiri. Satu-satunya daya pengikat Indonesia adalah sama-sama pernah dijajah Belanda - sebuah ironi dalam kehidupan kebangsaan kita. Bagaimana dengan budaya Indonesia yang kaya dari Sabang sampai Merauke, dengan batik, songket, dan tenun, dengan tari piring dan tari pendet ? « Apa yang kita kenal sebagai budaya Indonesia adalah budaya lokal dan daerah saja ! » kata Pram (hal. 47). Budaya Indonesia yang sebenarnya justru belum lahir dan harus dicari ! Itulah sebabnya Soekarno, pendiri negara Indonesia, sangat mengedepankan ‘nation and character building’ dalam pidato-pidatonya. Beliau sadar, bahwa beragam budaya daerah ini harus diejawantahkan menjadi sebuah budaya Indonesia yang merasuk kedalam jiwa setiap insan bangsa dalam bentuk etos kerja, semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan persatuan. Nah! Kalau selama ini kita selalu berpijak pada pengertian yang salah tentang ‘budaya Indonesia yang kaya’, bagaimana kini kita tidak terpuruk?<br /><br />Yang kedua, adalah sebuah konsep yang sangat menarik yang ditunjuk secara keji oleh Pram: prinsip Orde Baru. Indonesia memang sial: belum selesai proses ‘nation and character building’ dari Soekarno, kita kebagian Orde Baru, yang dengan cakap mengerdilkan nilai-nilai bangsa menjadi dua: penindasan dan hiburan. Jadi, kebebasan pers, kemerdekaan pribadi, prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, diganti dengan penindasan. Budaya yang menjunjung tinggi kebebasan individu, seni yang bebas menyuarakan paraunya kehidupan di luar sana, dibungkam dan didegradasi menjadi tontonan hiburan - yang arahnya ditebak dengan jitu oleh Pram - hanya ke arah tempat tidur dan peternakan diri (‘beternak diri’ yang dimaksud adalah berbuat yang aman saja, yang nyaman saja, seperti hewan ternak). Dan ini terjadi terus-menerus sampai-sampai lahir sebuah generasi baru yang hanya mengerti penindasan dan hiburan - generasi muda masa kini, termasuk saya.<br /><br />Apa ciri-cirinya? Lihatlah televisi kita: penuh dengan sinetron-sinetron yang menjijikkan, munafik, dan memuakkan. Plot yang murahan, karakter yang cetek, konflik yang dangkal. Betapa satu persatu pertunjukkan memuakkan ini menyesakkan televisi kita di sore hari, membius kehidupan puluhan juta warga Indonesia dengan ide-ide palsu. Tapi, coba lihat rating pemirsa dari sinetron ini! Betapapun dihujat dan disetujui kebusukannya, namun tetap saja sinetron ini yang paling banyak ditonton. Mengapa? Bukan salah televisinya atau pemerintahnya - salahkanlah generasi muda hasil peternakan diri, yang tidak tertari dengan berita, dengan ilmu pengetahuan, namun maunya dibius oleh segala sesuatu yang centang perenang - tokoh yang jahat jahat sekali, yang baik luar biasa baik. Tokoh picisan, yang tidak mengajarkan tentang kehidupan! Saya tidak mengerti, mengapa begitu banyak orang terbius dengan acara-acara seperti ini dan tidak menghiraukan berita atau siaran yang lebih bermutu. Ternyata, inilah hasil dari generasi yang mengerti budaya sebagai hiburan!<br /><br />Lalu apa hasil penindasan? Pram punya cerita ketika ia pertama kali ‘diamankan’ oleh aparat. Yang pertama dialaminya adalah sekelompok orang, yang menutupi mukanya dengan sarung, melempari rumahnya dengan batu. Begitu kerasnya, sampai-sampai kaca jendela dan pintu depan rumahnya ambruk. Tapi, setiap kali Pram keluar, kelompok ini pun lari menghilang. Begitu Pram masuk lagi, mereka datang kembali, dan seterusnya. Pram pun mempertanyakan: mengapa mereka lari? Apakah mereka - yang berjumlah banyak dan membawa batu - takut kepada seorang Pram yang kurus kering dan terbatuk-batuk karena terlalu banyak merokok?<br /><br />Inilah produk penindasan: kepengecutan! Jaman dulu, sudah lazim seorang anak laki-laki berkelahi di sekolah. Caranya adalah satu lawan satu, dan sesudah keluar pemenangnya, mereka pun saling bersalaman. Sekarang? Tawuran! Puluhan lawan puluhan, kalau perlu belasan mengeroyok satu orang. Tidak ada SATU orang yang berani maju - orang Indonesia hanya berani kalau beramai-ramai! Jumlah seolah menjadi pembenaran tindakan, padahal hanya menyembunyikan kepengecutan. Inilah sebabnya Indonesia kekurangan pemimpin, selalu terhuyung-huyung sendirian, dan sampai sekarang tidak memiliki seorang Soekarno baru. Karena, sudah menjadi budaya bahwa beraninya Indonesia selalu beramai-ramai! Keroyokan! Dan tidak ada satupun orang yang mau mati konyol menjadi pahlawan! Persis sinetron, bukan?<br /><br />Satu-satunya aset budaya yang dimiliki Indonesia, yakni bahasa Indonesia - kinipun sedang mengalami degradasi yang luar biasa. Kalangan elit bangsa ini justru merasa lebih pintar, lebih keren, lebih intelek, ketika menyelipkan kata-kata berbahasa Inggris ke dalam pembicaraannya. Bahkan untuk sebuah institusi pendidikan, yang begitu penting menentukan arah bangsa kita di masa depan melalui mencetakan generasi baru, tidak memiliki (atau menggunakan) istilah bahasa Indonesia: lihatlah ‘International School’ atau ‘Global Standard School’ yang kini menjamur seperti cendawan selepas hujan. Kalau bahasa menunjukkan bangsa, bagaimana bangsa ini akan maju kalau bahasanya sendiri tidak keren, tidak canggih, dan kurang intelek? Mengapa kita terlena dan terbujuk dalam arus deras yang bercap-cip-cup dalam bahasa Inggris, yang kadang-kadang secara Inggris sendiri tidak benar?<br /><br />Lalu apa obatnya? Satu kata - REVOLUSI - dijawab dengan gamblang oleh Pram. Bukan reformasi, bukan rekonsiliasi, bukan regenerasi, tapi REVOLUSI. Apa itu revolusi? Bukan cuma gerakan, tetapi sebuah gebrakan! Gebrakan yang mendobrak sendi-sendi rapuh, mencerabut akar-akar busuk, dan menghancurkan fondasi busuk. Revolusi adalah Che Guevara yang bergerilya puluhan tahun di hutan-hutan. Revolusi adalah Mao yang membakar seluruh jejak Cina kuno dalam Revolusi Kebudayaan. Revolusi adalah mengobrak-abrik sistem penjajahan Belanda dan Raja-raja lokal dan menggantinya dengan kemerdekaan. Revolusi itu makan korban, butuh pengorbanan, dan rela berkorban. Siapa yang memimpin ini? Generasi muda tentu saja. Satu-dua orang, yang tidak terpengaruh oleh pembodohan dan pendegilan selama bertahun-tahun. Generasi muda yang tegar dan siap menghadapi trik-trik kotor penguasa yang ingin bertahan. Generasi muda, yang rela berkorban, berjuang demi Indonesia! Generasi muda, seperti Anda dan saya.<br /><br />Revolusi!<br /><br />Jakarta, 29 Oktober 2008Harnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-61962487894230369282009-08-04T06:41:00.001-07:002009-08-04T06:41:36.755-07:00Indonesia, Tanah Air Beta!Ketika diberi tahu mengenai kemungkinan keharusan untuk pindah keluar negri, saya terhenyak. Akhirnya, yang diduga-duga, datang juga. Yang selama ini didiamkan saja, dianggap bisa, kini mencuat dan muncul mengancam: bahwa kepindahan keluar negri, negri yang sedang berkembang pesat, negri yang konon bersih, rapi, dan sangai piawai berbisnis. Lalu apa masalahnya? Mengapa saya kok malah ragu-ragu?<br /><br />Kadang-kadang saya tidak mengerti, mengapa saya begitu cinta pada negri ini. Setiap kali keluar negri, saya selalu berhasil menemukan hal-hal yang saya rindukan dari Tanah Air, hal yang kadang-kadang tidak diduga sama sekali. Contohnya, ketika tinggal di Eropa selama setahun, saya malah stress. Mengapa? Karena, di Eropa, semuanya begitu rapi, teratur, dan tertib. Lho, bagus bukan? Betul, dalam bulan pertama. Tapi, setelah berjalan dua-tiga bulan, saya stress juga: rumah bentuknya sama semua, jalanan bentuknya sama semua, bangunan bentuknya sama semua. Tidak ada ukir-ukiran pintu a la Jepara, atau bangunan berwarna hijau mencolok seperti yang berdiri di sebelah kanan jalan Tol Jagorawi sekitar Sentul, atau rumah-rumah panggung yang tinggi seperti di Bangka. Yang ada hanya rumah kotak-kotak, dengan jendela kotak berteras bunga - itu saja. Warnanya muda semua, dari kuning sampai merah. Tiba-tiba, keteraturan ini, membuat saya bosan bukan main! Saya pun lari ke hutan. Di hutan, pasti banyak tanaman, banyak binatang yang bermacam-macam. Di hutan, pasti ada keragaman! Tapi, setelah mendaki puncak gunung, saya kecewa. Hutannya pun isinya cuma pohon pinus, pinus, dan pinus! Jenisnya pun sama. Tidak ada pakis, tidak ada ilalang, bahkan semanggi pun tidak ada. Waduh, kok begini ya?<br /><br />Tanpa terasa, menjadi orang Indonesia adalah menjadi biasa akan keragaman. Biasa melihat beragam rumah dengan desain berbeda: ada yang gaya Sunda, Jawa, Bugis, atau Batak. Trotoar pun berlainan: ada yang tegelnya coklat muda, ada yang berpetak-petak abu-abu, ada juga yang dari batu bulat. Lihat, tegel yang masih bagus dibongkar, sementara jalan yang belum ada trotoarnya dibiarlah berlumpur! Kalau ditanya, jawabannya: kan ada lagunya? Itulah Indonesia.... (mengikuti lagu Indonesia Tanah Airku). Herannya, adalah keberagaman ini, kekacauan ini, keamburadulan ini, yang justru saya kangeni ketika beraad di luar negri?<br /><br />Teman saya ada yang berkata, bahwa saya adalah satu-satunya orang yang betah di Indonesia, padahal sering keluar negri. Yang lainnya, kata teman saya itu, selalu mengomel ketika pulang ke Indonesia, melihat betapa kacau dan ngerinya negara ini. Sayalah satu-satunya yang selalu merasa bersyukur ketika pesawat saya mendarat di Jakarta, ketika saya menapaki tegel batu bata merah yang sudah kusam, dengan langit-langit yang sudah menghitam karena usia. Sayalah yang selalu bernapas lega, ketika mencium aroma tembakau kretek di udara, ketika menghirup hawa penuh polusi di teras bandara. Tawaran taksi dari orang-orang berpakaian serampangan dan bertampang seram, buat saya seolah-olah bagai nyanyian merdu penyambutan warga yang baru pulang. Otot-otot saya terasa santai, kulit saya seolah bernapas lega, disergap hawa lembab nan hangat dari sore yang panas di Jakarta.<br /><br />Ketika saya di Eropa, saya pernah ditanya oleh rekan saya. Mereka sangat terkesan dengan sikap saya yang mau membaur, yang mau ikut di setiap kegiatan mereka. Mereka mengeluh, ada kaum imigran yang bertahun-tahun tinggal di tanah mereka, tapi bahasa mereka pun tidak pernah disentuhnya, katanya. Mereka terkesan, bahwa saya bisa beradaptasi dengan mereka. Mereka lalu mengamati, bahwa walaupun mereka tahu bahwa negara asal saya banyak diberitakan sebagai negara brengsek pendukung terorisme, penuh dengan bencana alam dan gempa bumi, tetapi saya selalu nampak gembira ketika pulang, dengan tas penuh oleh-oleh. Bahkan warga negara yang lebih makmur saya terlihat sedih ketika pulang dari Eropa, kata mereka. Lalu mengapa saya kok tidak betah di negeri mereka yang aman tentram? Saya kemudian juga berpikir, iya, mengapa begitu ya? Mengapa saya begitu mencintai negeri asal saya, padahal negeri ini punya sejarah diskriminasi terhadap kaum saya?<br /><br />Kemudian saya memperoleh jawabannya. Saya bilang, bahwa kalau saya pindah ke Eropa, maka saya akan frustrasi. Mengapa? Karena: mau apa saya di Eropa? Semuanya sudah ada, sudah maju, sudah bagus. Ekonomi kuat, teknologi maju, peraturan jalan, tata tertib lancar. Lalu, saya mau apa? Apa yang bisa saya sumbangkan untuk Eropa? Tidak ada. Saya akan duduk diam, menikmati sistem sosial yang nyaman, sampai tua dan mati karena bosan. Sementara di negeri saya? Banyak yang masih semrawut, banyak yang masih bisa dibenahi! Bahkan kalau saya sibuk bekerja untuk membangun negara saya pun, seumur hidup saya nampaknya tidak akan cukup. Saya akan mati sebagai seorang pekerja yang sibuk, yang sudah berbuat banyak, yang hanya bisa mewariskan pekerjaan pada generasi yang akan datang. Saya akan berguna, dan itulah mengapa saya kerasan! Saya juga akan membuat dunia semakin adil, karena bukankah tidak adil, bahwa di dunia global ini, yang kaya semakin kaya? Negara kaya bisa mengundang semua orang pintar di dunia untuk menjadi warganya, sehingga negaranya dari kaya menjadi semakin kaya? Sementara negara yang miskin, akan semakin miskin? Nah, biarlah saya menjadi penyeimbang. Biarkah saya tinggal di negara saya yang miskin ini, karena saya dikaruniai akal budi yang cerdas oleh Tuhan. Biarlah saya pertanggung jawabkan ilmu yang saya pelajari untuk Tanah Air saya.<br /><br />Karena tawaran tadi, akhir-akhir ini saya banyak merenung. Apa sih yang membuat saya bahagia? Dimana saya merasa bahagia? Apakah di Eropa, negeri serba makmur dan teratur? Apakah di Asia Timur, yang penuh kesempatan dan sedang giat membangun? Apakah ketika saya berjalan-jalan di Magnificent Mile di Chicago, ataukah ketika saya sedang memandang ke arah Sungai Yanpu di atas menara TV Shanghai? Ataukah ketika saya sedang berdiri di tengah padang pasir di Tamil Nadu, India? Atau ketika saya sedang memandang warna ganggang kemerahan di tepi laut dalam perjalanan dari Incheon ke Seoul? Kalau bukan itu semua, lalu kapan terakhir kali saya merasa tenang, bebas, gembira?<br /><br />Terakhir kali? Hmm, pastinya ketika saya berdiri di sebuah buritan kapal nelayan. Akhir kencang menerpa kulit saya yang bernapas lega ditengah lembabnya hawa lautan. Matahari nampak mulai condong ke Barat. Entah hukum Fisika apa yang mengharuskannya, tiba-tiba langit menyala ungu kekuningan, ketika sinar matahari mulai terhalang oleh gunung yang nampak mencuat begitu saja dari permukaan laut. Sayapun mengambil kamera saya dan berusaha megambil fotonya - namun sia-sia, karena aturan fokus dan diafragma paling canggih sekalipun tidak akan bisa menangkap aura alam ini. Sayapun meletakkan kamera, duduk di buritan paling ujung, dan menikmati pemandangan yang luar biasa ini, sambil terangguk-angguk diguncang gelombang kecil. Cipratan air laut membasahi kulit saya, seolah sebagai penyegar setelah siang yang panas. Lagu ’Welcome To My Paradise’ terdengar di latar belakang. Disanalah, saya merasa gembira. Di selat antara Manado dengan Gunung Manado Tua. Di sebuah kapal yang membawa saya dari Labuhan Bajo ke Pulau Komodo. Diatas perahu nelayan yang mengarungi Pulau Menjangan di Kepulauan Karimunjawa. Diatas kapal, diantara pulau-pulau. Di Indonesia, tanah air beta! <br /><br />Jakarta - Shanghai, 23 November 2008<br />Harry NazarudinHarnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-6952513012593076836.post-36749581162727278552009-08-04T06:38:00.000-07:002009-08-04T06:39:14.976-07:00Esensi sebuah NegaraBaru-baru ini, ada komentar yang membuat saya terhenyak. Asalnya dari salah satu teman saya yang pernah berkecimpung di dunia politik. Ia kebetulan adalah pengritik tajam pemerintah. Ketika diskusi kami menjadi hangat, dia mengatakan satu hal:<br /><br />„Kalau begitu, ngapain kita mempertahankan NKRI, kalau ternyata NKRI tidak bisa mensejahterakan penduduknya? Negara kan sebuah kontrak sosial, dengan tujuan supaya warganya sejahtera. Kalau tujuan itu tidak tercapai, ya bubarkan saja! Jual saja Sumatera pada Singapura, atau Kalimantan pada Malaysia! Atau, kita lebih baik dijajah lagi saja, asalkan lebih makmur!” katanya dengan keras.<br /><br />Saya saking terhenyaknya sampai kehabisan kata-kata. Di satu sisi saya tidak mau membantah terlalu keras dan menyebabkan yang bersangkutan tersinggung, tapi di sisi lain saya ingin meledak karena tidak setuju. Namun, bicara dengan seorang politikus begini, saya harus mencari argumen yang tepat. Waktu itu, saya tidak sempat menjawab karena belum menemukan argumen saya. Setelah beberapa hari, barulah saya memahaminya, dan menuliskannya di artikel ini, sekadar sebagai pernyataan pendapat.<br /><br />Apakah tujuan suatu negara adalah mensejahterakan penduduknya? Dan, apakah jika tujuan itu tidak tercapai, negara tersebut boleh dibubarkan? Jawabannya menurut saya jelas: TIDAK, TIDAK, dan TIDAK!<br /><br />Pertama-tama, kesejahteraan - yang disini diterjemahkan secara ekonomi - bukanlah satu-satunya tujuan negara. Kalau iya, itu namanya bukan negara, tapi perusahaan. Perusahaan juga kontrak sosial, dimana sekelompok orang bergabung, dengan satu tujuan: menghasilkan kemakmuran (atau keuntungan). Perusahaan ini bisa besar, bisa kaya, bahkan melebihi suatu negara. Perusahaan bisa berkembang melampaui batas wilayah negara, beranggotakan manusia dari berbagai bangsa. General Motors misalnya, perusahaan otomotif AS, memiliki perputaran uang dan jumlah pekerja yang melebihi budget dan penduduk banyak negara. Namun, esensinya tetap hanya satu: menghasilkan keuntungan. Kalau esensi ini tidak tercapai, ya bubar jalan. Tidak ada gunanya mempertahankan perusahaan yang merugi, mau sebesar apapun anggotanya. General Motors pun diumumkan pailit. Jutaan orang, dengan sejarah puluhan tahun, pernah dipimpin manajer terhebat sedunia, punya pahlawan-pahlawan teknologi, namun tetap saja sebuah perusahaan. Begitu rugi, ya tutup saja.<br /><br />Negara, adalah lebih dari sekedar untung-rugi. Negara adalah identitas, esensi sebuah bangsa. Itulah sebabnya eksistensi negara bisa bertahan walaupun merugi. Kuba, misalnya. Negara komunis kecil ini bertahun-tahun dihantam embargo dan diskriminasi oleh negara tetangganya yang adidaya, Amerika Serikat. Begitu terkucilnya Kuba, sehingga negara ini tidak mampu membangun gedung-gedung, membuat jalan tol, atau membangun bandara supercanggih. Negara kecil ini secara ekonomi merana, namun bangga. Bangga pada pemimpinnya, bangga pada identitasnya. Alhasil, Kuba tetap bertahan, bahkan berkembang dengan caranya sendiri. Kini, Kuba, dengan segala keterbatasannya, punya sistem pelayanan kesehatan terbaik di seluruh dunia. Gratis pula! Pendidikan seni dan budaya berjalan baik, sampai-sampai Kuba menjadi pusat perkembangan musik dan tarian latin. Komoditas yang ada dijaga dengan baik: cerutu Kuba, hingga kini masih mendunia. Akhirnya, masyarakat Kuba menjadi masyarakat yang berhasil, walaupun miskin. Kuba tidak bubar karena merugi. Untung-rugi, Kuba tetap ada. Itulah identitas sebuah bangsa!<br /><br />Definisi negara memang adalah sebuah kontrak sosial. Namun, kemudian, kontrak ini berkembang menjadi identitas. Disini, menurut saya, ada perbedaan antara tahun 1950-an dengan sekarang.<br /><br />Dulu, negara benar-benar merupakan kontrak sosial. Sebagai ekses dari Perang Dunia II, di tahun 1940-an, banyak negara jajahan di Asia memperoleh kemerdekaannya, baik dengan tangan sendiri maupun diberikan oleh penjajahnya. Lahirlah Malaysia, Indonesia, Singapura, Burma, dan banyak lagi. Ketika Indonesia akan disatukan pun, muncul keberatan dari Indonesia Timur yang ingin mendirikan negara sendiri. Sampai kemudian dicapai kompromi, disertai sikap kenegarawanan yang luar biasa dari para pemimpin saat itu, yang membuat Indonesia menjadi Indonesia seperti sekarang. Usaha untuk menyatukan Timtim, misalnya, gagal, karena rakyat Timtim tidak menyetujui kontrak sosial tersebut. Jadi, pada waktu itu, negara dibuat berdasarkan ’persetujuan’ - persamaan tujuan, untuk merdeka bersama. Lalu, apa yang terjadi setelah itu?<br /><br />Mulailah terjadi proses pencarian jatiditi yang panjang. Saya pernah melihat sebuah pameran foto yang sangat mengesankan. Pameran foto ini adalah karya seorang fotografer Belanda yang berkeliling Nusantara untuk mengabadikan detik-detik Indonesia merdeka, lewat denyut masyarakatnya. Saya terharu, sangat terharu menyaksikan foto-foto itu. Foto Bung Karno yang sedang berpidato, dengan mulut terbuka berteriak lantang, tangan menunjuk, dan belasan mikrofon di depan wajahnya, meneriakkan kemerdekaan Indonesia. Seorang anak SD, dengan bangga, menenteng peta ‚Indonesia’, berjalan bertelanjang kaki namun dengan senyum bahagia. Ketika Bung Karno dan Bung Hatta naik kereta ke Jogya, ribuan rakyat menanti di perjalanan, mengangkat tangan mereka. Mereka tidak kaya - banyak yang datang bertelanjang kaki, bajunya lusuh, badannya kurus kering. Namun, di wajah mereka, tersungging senyum yang lebar dan wajah yang sumringah. Wajah seorang merdeka! Wajah bangsa yang merdeka.<br /><br />Kalau dipikir, rasa-rasanya bangsa Indonesia di tahun 1950-an lebih bahagia daripada sekarang. Mengapa? Padahal, keadaan ekonomi kita sangat morat-marit saat itu. Inflasi mencapai ratusan persen. Kita tidak punya apa-apa, tidak ada mall, tidak ada jalan tol. Bahkan gedung bertingkat pun jarang, apalagi teknologi. Harga-harga tidak stabil, produksi tersendat-sendat. Namun, nampaknya, setiap foto orang Indonesia saat itu selalu penuh senyum, penuh bangga, padahal miskin. Saya punya cover depan majalah National Geographic edisi khusus HUT RI tahun 2008 yang saya simpan. Judul artikel itu adalah ’Sang Raksasa Muda’, catatan seorang jurnalis AS mengenai Indonesia tahun 1950-an. Disana, nampak sosok Bung Karno, dengan kopiah dan pakaian dinas, berdiri di depan meja kerjanya di ruang dinas kepresidenan. Ruang dinas itu nampak menyedihkan - kosong, tanpa komputer, telepon canggih, atau sekadar kalkulator. Yang ada ada meja yang bersih, setumpuk dokumen yang rapi, dan lukisan Soedjojono ’Pahlawan Kemerdekaan’ tergantung di dinding. Namun, senyum Bung Karno mengungkapkan rasa percaya diri yang luar biasa, sehingga kesederhanaan itu menjadi kebahagiaan tersendiri. Juga kalau kita melihat wajah rakyat yang mendengarkan pidato Bung Karno - tidak satupun yang terlihat sedih.<br /><br />Mengapa?<br /><br />Karena, walaupun miskin, pada saat itulah bangsa Indonesia punya jatiditi. Seperti dituturkan Pramoedya Ananta Toer, Bung Karno paham betul, bahwa Indonesia sebagai bangsa belum punya identitas pada masa itu. Yang ada, hanyalah ’kontrak sosial wilayah bekas jajahan Belanda’, Untuk itu, Bung Karno adalah yang pertama dan satu-satunya presiden yang berkonsentrasi penuh pada ’Nation and Character Building’ - pembangunan karakter dan bangsa Indonesia. Ia paham betul, bahwa bangsa ini perlu sati identitas, perlu satu nilai, yang dipegang dan dijunjung tinggi bersama. Lahirlah Pancasila, konsep kebangsaan, dan proyek-proyek mercusuar seperti Monas dan Senayan. Melalui pidato-pidatonya, Bung Karno berulang kali menekankan prinsip kebangsaan dan kebanggaan sebagai bangsa. Sehingga, Indonesia berubah dari sekedar kontrak sosial menjadi sebuah bangsa yang sesungguhnya - bangsa dengan indentitas, kebanggaan, dan nasionalisme sendiri.<br /><br />Itulah juga sebabnya, di masa Orde Baru sampai sekarang, yang terjadi adalah kebalikannya. Kita kaya - sudah tidak miskin lagi (fakta bahwa Anda mengernyitkan dahi ketika saya bilang bahwa kita kaya, ikut mendukung argumen saya). Ekonomi sudah berkembang. Kita sudah punya jalan tol, sudah punya mall. Inflasi terkendali, krisis moneter maha dahsyat sudah terlewati, bahkan pertumbuhan ekonomi kita tercatat positif di waktu krisis. Standar kehidupan meningkat - kalau ortu saya dulu bisa makan di restoran sebulan sekali, saya, kini, bisa setiap hari ke MacD atau KFC. Tapi, apa yang terjadi? Bangsa ini semakin menjadi sedih, muram, terpuruk. Doa syafaat di gereja, dari tahun 1998 sampai sekarang, masih bertemakan ’Tuhan, selamatkan kami dari keterpurukan kami’. Terpuruk terus, tidak bangun-bangun lagi. Padahal rupiah stabil. IHSG mencapai 2.100. Mengapa kita terpuruk terus?<br /><br />Mengapa?<br /><br />Karena, kita melupakan Nation and Character Building. Dulu, dibawah Bung Karno, kita miskin, tetapi bangga. Sekarang, kita kaya, tetapi rendah diri. Ada faktor lain dalam sebuah negara selain kemakmuran, selain ekonomi. Ada faktor lain yang membuat sebuah negara bertahan, walaupun miskin sekalipun. Faktor itu adalah identitas. Sekarang, negara ada sebuah identitas. Manusia tanpa identitas, di dunia moderen ini, adalah mati. Banyaknya jutawan yang bunuh diri ketika krisis menunjukkan bahwa bukan uang yang mereka khawatirkan - melainkan kehilangan identitas dan reputasi. Ini lebih mengerikan sampai-sampai mereka rela bunuh diri meskipun masih kaya raya. Sampai sekarang, semua presiden selalu berfokus pada ekonomi, perkembangan, kesejahteraan. Padahal, ada satu aspek yang sangat perlu diperhatikan: nation and character building!<br /><br />Dengan demikian, ide membongkar negara ini dan menjualnya kepada asing saya tolak mentah-mentah. Karena, negara bukan ada hanya karena kontrak sosial. Negara adalah identitas kita. Dan identitas ini harus kita pertahankan, kita perjuangkan, kalau perlu sampai mati. Negara yang ’menjual’ identitasnya - dan mau dipecah sampai jadi remah-remah - sampai sekarang tidak pernah bangkit lagi, misalnya negara-negara Balkan. Karena, mereka salah menilai komoditas mereka yang paling berharga - identitas, yang diberikan oleh pemimpin besar Joseph Broz Tito. Demikian pula masalah identitas yang akan menjadi pelik di Iraq, karena tanpa Saddam, orang Iraq kehilangan identitasnya. Indonesia punya identitas. Kita masih punya satu identitas yang sama, satu bahasa yang sama. Satu keyakinan bahwa semua orang sama di mata hukum dan pemerintahan, bahwa semua orang berhak dihargai sebagaimana mestinya, tanpa membedakan unsur suku, agama, ras, dan antar-golongan. Satu paham, Pancasila, yang mencakup identitas ideologi Indonesia. Identitas inilah alasan mengapa Indonesia harus dan akan tetap ada. Identitas inilah yang membuat kita bertahan dari gempuran komunis maupun desakan sayap kanan. Identitas ini, yang dibangun oleh Bung Karno, yang diwariskan kepada kita, dan yang wajib kita pertahankan sampai mati.<br /><br />Jakarta, 16 Juni 2009<br />Harry NazarudinHarnazhttp://www.blogger.com/profile/09005324283835738359noreply@blogger.com0