Menghadapi kematian memang gampang-gampang susah. Gampang, karena mengucapkan kata 'mati' itu lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata "Mampus lu!" atau "Mati dah gua..." sering sekali kita ucapkan, baik sengaja maupun tidak, hehe. Bahkan mati seolah-olah menjadi pilihan dalam hidup, seolah-olah sebagai emergency button yang kadang-kadang dengan warnanya yang merah dan bentuknya yang menonjol dengan sexy-nya, menggoda kita untuk menekannya. Padahal, kematian yang sesungguhnya, apalagi yang tidak diduga-duga, sangat lain bentuknya dengan 'mampus' yang kita lafalkan. Kematian yang sesungguhnya sangat berat, karena merupakan sebuah kondisi yang konstan, padahal hidup ini tidak ada yang konstan. Makan, lapar lagi. Kaya, bisa miskin. Mati adalah konstan, sehingga kadang-kadang pikiran kita seolah-olah ditampar berkali-kali setiap kali dia mengecek kenyataan dan mendapatkan bahwa yang mati tetaplah mati dan belum berubah.
Tahap pertama dalam menghadapi kematian pasti adalah menerima kematian itu. Sebenarnya penerimaan ini bukan pilihan - mau tidak mau ya harus diterima. Hanya, memang pikiran dan jiwa manusia butuh waktu untuk me-register dalam prosesornya bahwa yang bersangkutan sudah tidak ada. Pikiran kita berkali-kali mengecek kenyataan, bahkan rasanya tidak akan kaget bila yang sudah meninggalkan kita itu masih mengirim sms atau pesan facebook. Ini adalah sebuah proses yang sangat-sangat melelahkan, karena berkali-kali proses pengecekan dilakukan, berkali-kali pula kita disadarkan akan kepahitan dan kehilangan yang terjadi. Lalu muncul pertanyaan yang paling jahat: mengapa? Dan demikian seterusnya.
Tetapi, Tuhan memang Maha Adil. Beliau sudah menyiapkan suatu sistem dalam jiwa kita yang membuat proses ini tidak berlangsung selamanya. Otak dan hati kemudian akan mulai belajar menerima kenyataan kehilangan tersebut. Hati dan pikiran mulai sedikit rileks, tidak lagi melakukan mengecekan berulang-ulang. Ini berarti kehilangan yang bersangkutan sudah diregister dalam alam bawah sadar kita. Hidup mulai kembali normal, biasanya dalam jangka waktu setahun setelah kehilangan. Saya sendiri merasa heran, betapa besar perbedaan antara setahun sebelum dan sesudah kehilangan. Tuhan memang Maha Adil.
Sesudah bisa menerima, tahap berikutnya adalah hidup dengan kematian. Ini artinya, antara hidup dan kematian berjalan berdampingan. Hati dan otak sudah meregister bahwa yang bersangkutan sudah tidak ada. Hidup berjalan kembali. Matahari terbit dan tenggelam, anak-anak lulus dan pindah sekolah. Tapi, yang bersangkutan tetap tidak ada. Otak sudah tidak teriak lagi, tetapi masih diam. Tidak berceloteh. Hidup diusahakan berjalan tanpa yang bersangkutan. Kalau bisa jangan diingat, kalau bisa ditiadakan. Kalau bisa jangan dibicarakan, supaya hidup tidak terganggu. Tapi, masalahnya, kematian adalah konstan. Mau dicuekin pun, kematian tetap ada di pojok. Menyeringai dengan jahatnya. Begitu kita sedih, begitu otak lelah dan lengah, kematian menelusup masuk. Mengungkit kenangan dan argumen lama. Keluarlah kalimat pengandaian yang paling jahat: seandainya... kalau waktu itu...
Inilah yang disebut hidup dengan kematian. Hidup berjalan, kematian juga berjalan. Berdampingan, sikut-sikutan. Masing-masing berebut perhatian otak dan hati kita. Masing-masing berusaha menarik perhatian nurani dan jiwa kita. Masing-masing teguh berada di tempatnya, membuat kita seolah tercabik di tengah-tengah. Hidup menjadi kosong, karena kita berada diantara hidup dan kematian. Ke kiri tidak, ke kanan tidak. Lama-lama, tenaga akan habis, dan kepahitan akan menaklukkan optimisme kita. Itu kalau kita tenggelam dalam tahap ini, dan tidak berbuat sesuatu untuk maju ke tahap berikutnya!
Apakah tahap berikutnya? Berdamai dengan kematian. Sebuah kata-kata indah yang saya dapatkan dari sebuaj episode Kick Andy di MetroTV. Episode yang mengisahkan keluarga yang ditinggalkan sanaknya ketika menjadi korban jatuhnya pesawat Adam Air beberapa tahun lalu. Trenyuh melihat mereka di TV. Saya baru kehilangan seorang adik saja sudah begini, apalagi ini, satu keluarga seketurunan hilang semua dalam waktu singkat. Namun, judul episode ini membuat saya tersentuh, karena inilah tahap berikutnya. Kita harus berdamai dengan kematian.
Maksudnya berdamai adalah, kenyataan kehilangan bukan lagi dianggap sebuah tabu. Orang yang kita cintai tidak lagi kita simpan dalam-dalam dalam kotak hati yang tertutup rapat, kalau bisa jangan diperlihatkan siapa-siapa. Kenangan-kenangan yang ada kita buang, kita letakkan nun jauh disana, kalau bisa jangan teringat lagi. Ini bukan damai namanya, ini berarti musuhan dengan kematian. Kematian kita anggap musuh, kita jauhkan, kita lupakan. Namun, sudah menjadi sifat kematian yang sangat konsisten. Seringainya tetap tersungging di pojok saja, dan ia akan kembali sejauh apapun kita berusaha menghindar. Ingat, kita selalu berubah, sementara kematian konstan. Ia persisten. Ia tetap disana, sementara kita bolak-balik. Dalam proses bolak-balik ini, pasti satu atau dua kali kita bersenggolan dengan kenangan kematian, dan seringainya sekali lagi melemahkan kita.
Berdamai berarti berjalan berdampingan dengan kematian. Berdamai berarti mengenang orang terkasih sebagaimana adanya. Berdamai berarti tidak menghindar dari kenangan kematian, tetapi bergandengan tangan dan melangkah bersama mengarungi kehidupan. Mengganggap kematian sebagai sebuah kenyataan pahit yang akan membawa berkah, yang sudah terencana. Menerima, bahwa rencanaNya diatas rencana kita. Mengakui, bahwa toh kita semua akan berakhir sama - kita hanya berbeda waktu. Jadi, untuk apa ditangisi? Untuk apa dihindari? Waktu toh sama konsistennya dengan kematian. Waktu toh tidak bisa kita rem atau kita percepat. Waktu kita sendiri, tidak bisa sedetikpun kita percepat atau perlambat. Jadi, nikmati saja! Waktunya akan tiba bahwa kita berkumpul kembali. Kenanglah waktu-waktu yang lalu, bersiaplah menuju waktu yang akan datang, tiba waktunya.
Tuhan memang Maha Adil. Ketika Ia menciptakan kematian yang konstan, ia juga menciptakan waktu yang sama konstannya. Waktu pada akhirnya akan menang, sampai Ia datang untuk kedua kalinya. Untuk apa kita kuatir?
Berdamai dengan kematian berarti menghargai kematian dan kehidupan apa adanya. Berdamai dengan kematian berarti mengenang yang tercinta dengan terbuka, tidak menyimpannya dalam hati. Berdamai dengan kematian adalah langkah terakhir, yang tidak jatuh dari langit, tetapi sesuatu yang harus kita usahakan. Harus kita perjuangkan, dan menjadi pembelajaran besar buat hati kita. Itulah sebabnya banyak sekali jiwa-jiwa besar hidup di tahun 1960-an. Karena, begitu banyak orang pada waktu itu didera kehilangan hebat akibat Perang Dunia II. Lihat apa akibatnya! Mereka keluar sebagai pemenang, jiwa mereka kuat, hatinya teguh, jauh jika dibandingkan dengan generasi sekarang. Itulah manfaat dan kekuatan yang diperoleh dari perdamaian dengan kematian.
Jadi, berdamailah dengan kematian. Jangan musuhi dia, jangan hindari dia. Hadapi dia - jabatlah tangannya. Nicaya seringai sinis itu akan menjadi senyum manis, dan kenangan yang dulu indah, akan menjadi indah kembali.
Toh.... kita cuma berbeda waktu!
3 Tahun Meninggalnya dr. Erina Natania Nazarudin
Kedoya, 15 Juli 2010
Thursday, July 15, 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)