Kisah ‘Pertarungan Para Dewa’ atau Clash of the Titans adalah salah satu kisah legenda Yunani yang cukup terkenal dan bahkan sudah pernah difilmkan oleh sutradara Hollywood. Kisah ini adalah kisah yang sangat menarik untuk diperhatikan, terutama di masa sekarang ini yang konon katanya penuh dengan bencana dari Tuhan. Kisah ini dimulai dengan sebuah pertanyaan sederhana: mengapa para dewa begitu kejam menyiksa manusia? Mengapa para dewa begitu bengis, memaksa manusia untuk memberikan berbagai macam persembahan, dan sesudah semuanya dipenuhi, toh akhirnya manusia pula yang disiksa dengan berbagai cobaan?
Adalah Perseus, seorang manusia setengah dewa, anak haram dewa Zeus, yang dibesarkan oleh keluarga nelayan yang mengasihinya dengan sepenuh hati. Ia begitu sayang kepada orang tua angkatnya, manusia yang lemah dan ringkih ini, sehingga ia merasa kasihan pada mereka dan justru marah pada dewa. Mengapa orang-orang baik ini, nelayan tak berdosa ini, seolah-olah diperas habis-habisan oleh dewa-dewi di Olympus, yang seharusnya melindungi dan mengasihi manusia? Apalagi, ketika Hades, Dewa Kegelapan, seenaknya mengirimkan bala tentara setan yang tanpa sengaja membunuh orang tua angkat Perseus. Perseus pun murka.
Perseus kemudian bersumpah, akan menggunakan kekuatan manusia – tanpa ke-dewa-annya – untuk membunuh Hades dengan cara menghancurkan Kraken, mahluk mahamengerikan ciptaan Hades yang bisa memunahkan umat manusia. Perseus pun berjuang menghadapi penyihir Stygi, hantu Djinn, bahkan berhasil memotong kepala Medusa, dewi mengerikan berambut ular yang bisa mengubah semua mahluk yang dipandangnya menjadi batu. Sepanjang perjalanan, Perseus terus memperjuangkan kemanusiaannya, dengan sesedikit mungkin menggunakan kekuatan mukjijat, melainkan dengan tipu muslihat dan akal sederhana, sampai ia bisa mengakali para dewa. Toh, Zeus, sang ayah, tidak tinggal diam. Ia mengirimkan Pegasus, kuda bersayap kendaraannya, dan sebilah pedang yang ditempa di Olympus, yang sanggup memenggal kepala seorang dewi seperti Medusa sekalipun.
Tapi, apakah Zeus membantu Perseus dengan melontarkan petir pada setiap lawan yang dihadapinya? Tidak. Zeus duduk memandang dengan cemas di Olympus, berharap Perseus menang. Perseus tidak serta-merta menang dengan kuda terbang dan pedang. Ia harus bertarung, memeras akal, dan melalui gunung-gemunung dan sungai maut untuk mencapai tujuannya. Namun, Perseus akhirnya berhasil. Ia potong kepala Medusa, dan dibawanya ke hadapan Kraken, sehingga Kraken, raksasa mengerikan itu, menjadi batu dan kemudian hancur berantakan. Hidup manusia! Teriak Perseus ketika Kraken yang bersiap menelan semua mahluk hidup, kini menjadi batu yang retak berguguran.
Kisah ini memang sebuah adaptasi, namun mengandung makna filosofis yang cukup mendalam. Pertanyaan pertama masih belum terjawab: mengapa Tuhan merancang begitu banyak bencana bagi manusia? Mengapa semua persembahan dan doa yang dipanjatkan, semua dzikir dan pertobatan yang diteriakkan, kadang-kadang seolah jatuh ke sepasang telinga yang tuli? Toh, gunung tetap meletus, tsunami tetap menerjang, dan badai tetap mengamuk? Inilah titik dasar dari pergumulan dalam kisah ini. Dengan demikian, apakah manusia masih harus berdoa dan bersembahyang? Apakah sudah tidak ada gunanya lagi, memberikan persembahan dan bertobat? Lalu, pertanyaan akhir yang selalu muncul: dengan demikian, apakah Tuhan ada?
Kisah Pertarungan Para Dewa merupakan sebuah kisah yang sangat tepat melukiskan pergumulan ini. Manusia memang tidak bisa bertopang dagu saja – kita perlu seorang Perseus. Seorang pemimpin, yang berani lantang berteriak untuk menantang para dewa. Seseorang yang berani menghunus pedang dan berbuat sesuatu, untuk melawan apa yang terjadi. Bukan dengan doa, bukan dengan dzikir, dan bukan dengan lebih banyak lagi persembahan. Tetapi dengan sebilah pedang, dan semangat kemanusiaan, bahwa apapun masalah yang ada, bisa ditaklukkan: apakah itu kepala Medusa berambut ular yang harus dipotong ataupun Kalajengking Raksasa di padang gurun. Ya: semuanya harus dilawan dengan sabetan pedang, cipratan darah, dan keringat. Tapi, Perseus akhirnya menang!
Perseus memiliki makna berbuat sesuatu. Inilah yang kurang kita lakukan. Setiap kali ada bencana, yang diteriakkan adalah keprihatinan, kesedihan, teriakan dzikir dan doa, memohon pada Tuhan supaya bencana berhenti. Kita seperti Spyros, nelayan ayah angkat Perseus, yang hanya bisa meratap lalu mati ditelan ombak! Bahkan manusia seperti ini, seolah dengan mudah saja ‘menyalahkan’ Tuhan atas bencana yang terjadi, sebagai pelarian untuk lepas tanggung jawab, padahal bencana itu terjadi karena kelalaian sendiri.
Coba ingat ‘bencana’ Situ Gintung yang sebenarnya bukan ‘bencana’, melainkan sebuah kelalaian murni. Lihatlah betapa pemuka agama waktu itu berteriak pada semua orang untuk ‘tabah atas cobaan Tuhan ini’? Ini sama sekali bukan hasil karya Tuhan, bahkan Tuhan bisa tersinggung dengan pernyataan ini. Bukan Dia yang membangun situ, bukan Dia pula yang membangun rumah di jalur situ, dan bukan Dia pula yang bertugas mengontrol keretakan dindingnya! Dia hanya menciptakan hukum Fisika, yang merumuskan bahwa air yang terus menerus ditambahkan pada sebuah bejana berdinding tipis akan mampu menjebol dinding tersebut. Lalu, kita sebut ini ‘cobaan Tuhan’? Mohon maaf – ini murni manusia yang mencobai manusia lainnya!
Lalu bagaimana dengan tsunami, bencana gunung berapi? Untuk ini, kita harus melihat bagaimana prinsip Perseus mendasari pemikiran bangsa Eropa. Di Jerman, saya pernah menghadiri sebuah rapat didalam ruangan yang seluruh dindingnya terbuat dari kaca. Padahal, waktu itu bulan Desember dan angina bertiup kencang sekali. Pohon cemara melambar-lambar, menghamburkan salju yang turun kebawah, sementara di atas tanah sudah ada 40 cm salju yang menumpuk sejak kemarin. Suhu diluar -15oC. Tapi, kami bisa duduk nyaman di ruangan itu. Suhu ruangan 28oC, tak sedikitpun angina dari luar terasa masuk ke ruangan. Padahal, pemandangan indah bisa kami nikmati lewa kaca. Bagaimana caranya? Dengan doa? Dzikir? Persembahan? Tidak! Dengan teknologi. Seluruh kaca terbuat dari silica dengan teknologi tertentu yang anti-pecah, merupakan system kaca ganda dengan gas Argon yang diinjeksikan diantara dua kaca agar hawa dingin terinsulasi. Dinding, penyekat, atap, bahkan tiang penyangga, semua didesain untuk menahan dingin dan menyimpan panas. Inilah pedang Perseus yang ditempa di Olympus. Dengan teknologi, orang Jerman bisa mengalahkan cuaca, sementara orang di Mongolia, Cina, atau India, masih harus meringkuk kedinginan di musim dingin yang tidak sedingin di Jerman hari itu.
Indonesia perlu Perseus – yang tidak menyerah dan berdoa, apalagi menyerahkan tanggung jawab pada Tuha. Indonesia perlu Perseus, yang menggunakan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk melindungi diri dari kemungkinan bencana. Bahwa kita lahir di sebuah pulau yang dikelilingi laut dan memiliki gunung berapi di tengahnya, sudah bukan rahasia lagi sejak awal. Lalu mengapa kita masih gelagapan menghadapi tsunami dan letusan gunung api? Karena kita masih Spyros, belum Perseus. Nah, celakanya, Perseus ini harus dating dari Indonesia dan tidak bisa diimpor dari Eropa atau Amerika. Karena, tidak ada satupun Negara di dunia ini yang memiliki gunung api dan garis pantai sepanjang Indonesia. Kita tidak bisa bertanya pada orang Barat atau Jepang atau Cina, bagaimana menghadapi letusan gunung berapi dan tsunami. Teknologinya harus dating dari kita sendiri! Apakah dengan cara mengukur suhu perut bumi, atau dengan mengukur getaran gempa secara tiga dimensi, atau dengan melakukan finite element analysis terhadap pergerakan pelat bumi? Wallahualam. Yang jelas, sesuatu harus dilakukan – seperti Perseus, kita harus berjuang, meneliti, mengeluarkan energi dan dana, untuk melindungi kita dari kemarahan para dewa. Tidak pernah cukup hanya berdoa dan bersembahyang!
Lalu, apakah Tuhan diperlukan? Toh, di kisah ini, Perseus tidak mungkin menang tanpa pedang yang ditempa di Olympus, bukan? Perseus tidak mungkin menang tanpa Pegasus, tanpa bantuan dari Io, maupun tanpa tiga tali keeping Drachma untuk sang pengemudi perahu, bukan? Ya – Tuhan itu ada dan Ia pasti akan bertindak. Namun, jangan berharap Tuhan akan turun dari langit dan membereskan masalah kita semua – hanya karena kita berdoa dan berdzikir. Berdoa bagus, berdzikir apalagi. Tapi, keduanya harus disertai dengan perbuatan – pertempuran, sabetan pedang – supaya perang bisa dimenangkan. Toh, Zeus tersenyum bangga ketika Perseus bisa menyelamatkan manusia dengan usahanya sendiri. Tuhan pun, akan tersenyum bangga jika kita, bangsa Indonesia, bisa menghadapi bencana-bencana dengan rencana teknis dan taktis yang bisa melindungi kita dari fenomena ala mini. Ia justru akan murka, ketika doa dan dzikir dijadikan alat untuk melempar tanggung jawab dari manusia, kepada Tuhan yang tidak bersalah!
Tuesday, November 9, 2010
Subscribe to:
Posts (Atom)