Kondisi DPR saat ini masih ricuh. Walaupun tuntutan rakyat sudah jelas, bahwa yang diinginkan adalah jabat tangan dan kerja sama, tapi yang ada baru jabat tangannya saja. Kerja sama-nya belum. Bahkan kelihatan sulit sekali, kedua kubu masih saling klaim, saling serang. Sepandai apapun seorang politisi menyembunyikan perasaannya dengan senyum ketika berjabat tangan sambil disorot TV, tetap saja publik bisa melihat keengganan dan kepalsuan senyumnya. Apakah sebabnya bisa sampai begini? Adakah jalan keluarnya?
Ada satu usulan yang sangat mudah dan sederhana yang ingin
saya sampaikan. Yakni: ganti nama koalisi DPR, jangan MERAH PUTIH atau
INDONESIA HEBAT. Mengapa? Sebegitu pentingnyakah sebuah nama?
Nampaknya, ya. Prof. Daniel Kahneman adalah seorang profesor
psikologi yang memenangkan hadiah Nobel 2002 melalui penelitiannya di bidang
perilaku manusia dalam kegiatan ekonomi. Dalam bukunya, “Thinking Fast and Slow”
(2011, Farrar, Straus and Giroux), Kahneman berbicara mengenai sesuatu yang
disebut anchoring. Fenomena anchoring adalah memprovokasi alam bawah
sadar melalui sebuah kata atau gambar tertentu, yang kemudian mempengaruhi
keputusan seseorang.
Misalnya begini. Pernahkah Anda pergi ke supermarket dengan
rencana membeli gula, tetapi membawa pulang dua karton jus jeruk? Ketika sampai
di rumah, Anda bingung sendiri. Kenapa jadi beli jus jeruk? Tentu saja – faktor
yang mempengaruhi alam bawah sadar Anda sudah tidak ada, karena Anda ada di
rumah. Tetapi di supermarket, kebetulan perusahaan jus jeruk menempel gambar
besar-besar dimana-mana. Gambar jeruk segar, yang terbelah, oranye mempesona.
Tulisannya pun menggoda: “Minumlah jus jeruk, agar tubuh Anda segar seketika!”.
Tiba-tiba, Anda merasa haus. Tiba-tiba, Anda kepingin sekali jus jeruk. Inilah
kekuatan anchoring!
Tidak hanya dengan gambar, anchoring juga bisa berlaku pada kata-kata. Itulah sebabnya
perusahaan periklanan sudah tahu sejak lama untuk menghindari kata-kata negatif
dalam iklan. Misalnya, daripada berkata “jangan membuang sampah sembarangan”,
lebih baik berkata “buahlah sampah pada tempatnya”. Terasa lebih sopan bukan?
Kata “jangan” berkonotasi melarang, galak, sok tahu. Sementara “buahlah” lebih
akrab, berupa ajakan, dan mengandung empati.
Ingatkah kita, darimana asal nama MERAH PUTIH dan INDONESIA
HEBAT?
Ya – dari pertarungan pemilihan presiden paling sangar
sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sebuah pertarungan yang diakhiri dengan
kemenangan tipis, melalui penyangkalan demi penyangkalan sampai hampir
menghentikan ekonomi negara. Pertarungan penuh siasat, yang menempatkan rakyat
melawan rakyat, kawan atau lawan.
Apa yang terjadi jika slogan pemilihan presiden yang sudah
usai, dan harusnya beres, kini dipakai lagi di DPR? Kata ‘MERAH PUTIH’ akan
memprovokasi alam bawah sadar baik sisi kawan maupun lawan, yang dilawan dengan
‘INDONESIA HEBAT’ yang sama buruknya. Padahal, sejak dulu Panwaslu sudah mahfum
mengenai efek ini. Itulah sebabnya ada minggu tenang sebelum pemilu, dimana
semua slogan, kata-kata kampanye, foto, dan iklan partai dihapus. Supaya
pikiran rakyat kembali tenang, tidak dipengaruhi slogan apapun, dan bisa
memilih sesuai dengan nuraninya.
Jika Pilkades saja menerapkan minggu tenang, mengapa di
tingkat nasional justru slogan pilpres digunakan terus sampai ke DPR? Dengan
memori begitu buruk, bagaimana DPR bisa damai jika masih ‘meneruskan’ nama dan
perseteruan pilpres yang sudah usai?
Mari kita usulkan untuk mencoba mengganti nama koalisi.
Sebuah langkah sederhana yang tidak sulit bukan? Misalnya, KOALISI BERSATU dan
pihak lainnya KOALISI KEBANGSAAN. Biar semua benar-benar mulai sesuatu yang
baru, dan melangkah bersama dengan identitas baru: sesama anak bangsa yang
saling membantu satu sama lain, demi rakyat.
Harnaz