Dua tahun meninggalnya dr. Erina Natania Nazarudin
Akhir-akhir ini media massa banyak membahas tentang nasionalisme. Ketika berbicara soal negri jiran, soal TKI, atau soal pengambilalihan aset nasional oleh asing, maka jargon-jargon yang berkaitan dengan nasionalisme seringkali dimunculkan. Sayangnya, nasionalisme ini justru muncul dalam ekses yang kurang baik. Entah itu dalam bentuk demonstrasi yang melibatkan bakar-membakar atau teriak-meneriaki atau dalam bentuk lainnya yang tak kalah seram. Alih-alih menjadi slogan yang mendamaikan dan menentramkan hati, nasionalisme malah diidentikkan dengan perang, diarahkan sebagai cacian terhadap etnis tertentu, atau diwujudkan lewat konfrontasi fisik.
Akibatnya, banyak orang yang kemudian menjadi skeptis terhadap nasionalisme. Paham ini dianggap berlebihan, dianggap sebagai jargon yang melulu negatif eksesnya. Paham yang konon dahulu digunakan para bapak bangsa untuk memerdekakan negara kita, kini dipandang sebagai hanya basa-basi pejabat yang korupsi atau didalangi kepentingan uang. Nasionalisme kemudian dipandang sebegitu skeptisnya, sampai-sampai eksistensi nasion - atau negara - itu sendiri dipertanyakan. Apakah nasionalisme masih perlu? Atau nasionalisme sudah basi, dan nasion-nya sendiri - negaranya sendiri - sudah tidak relevan dan sebaiknya dibubarkan saja?
Di tengah hingar-bingar nasionalisme, pada hari ini, lima belas Juli, dua tahun yang lalu, seorang dokter pejuang pergi meninggalkan keluarga kami. Beliau bernama dokter Erina Natania Nazarudin, yang tewas ketika bertugas sebagai dokter PTT di Fakfak, Papua Barat. Ia bertekad untuk pergi ke Papua karena kecintaannya terhadap profesi dan Tanah Airnya. Ia dikenal sebagai pribadi yang ramah, suka menolong, banyak bergaul dengan masyarakat sekitar. Sebagai satu-satunya dokter di wilayah Kokas, ia menghadapi dilema ketika seorang ibu mengalami kesulitan melahirkan, sementara ada pasien lain yang sakit di puskesmas Kokas, dan tidak ada supir untuk mengendarai Ambulans. Maka iapun memberanikan diri mengendarai Ambulans yang besar itu untuk mengantar sang ibu ke Fakfak, lalu segera kembali ke Kokas untuk merawat pasien yang masih terbaring sakit disana. Dalam perjalanan kembali ke Kokas, mobil Ambulans terguling ke jurang, dan dokter Erina kehilangan nyawanya, demi menyelamatkan nyawa seorang ibu, bayi, dan seorang yang sakit di puskesmas Kokas.
Hari itu, setelah mendengar kabar buruk tersebut, suasana duka yang tak terperi menyelimuti rumah kami di Bandung, Jawa Barat. Tiba-tiba, datang seorang bapak yang sama sekali tidak kami kenal. Namun, dari rambutnya yang keriting terlihat bahwa ia adalah seorang warga Papua. Ia ternyata berasal dari Kokas. Ketika mendengar ada seorang dokter yang mengorbankan nyawanya dalam memberikan pelayanan kesehatan di kampungnya, sang bapak sangat terharu dan memutuskan untuk mencari alamat kami dan memberikan penghormatannya. Air matanya nampak menetes, namun bangga, bahwa seorang anak bangsa rela mengorbankan nyawanya demi kampungnya. Beliau disusul oleh banyak anggota masyarakat lain dari berbagai kalangan, yang datang untuk memberikan penghormatan mereka. Tidak ada yang mempersoalkan bahwa mata kami sipit, kulit kami kuning, atau agama kami adalah minoritas. Yang ada adalah sebuah kebersamaan - kebersamaan sebuah bangsa.
Jadi, apakah nasionalisme? Nasionalisme adalah tindakan, bukan perkataan. Nasionalisme adalah sebuah semangat, kerinduan, dan tindakan nyata, yang menunjukkan kecintaan dan bakti kepada Tanah Air Indonesia. Nasionalisme adalah suatu spirit kebersamaan yang diikat oleh rasa kekeluargaan, tanpa memperhatikan identitas suku, agama, ras, atau antargolongan. Hanya satu identitas yang ada: sebagai warga bangsa Indonesia, yang jika perlu berkorban nyawa demi masa depan yang lebih baik.
Ketika peti jenazah dokter Erina Natania sampai di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, kami datang dengan perasaan bercampur-aduk. Namun, begitu melihat hadirin yang datang beserta peti jenazah dengan bendera merah-putih tersampir diatasnya, di dalam hati saya, terselip saya bangga yang luar biasa. Semua kalangan - yang berambut lurus maupun keriting, bermata besar maupun sipit, yang berkulit sawo matang atau kecoklatan - semuanya bercampur baur dengan khidmat, memberikan penghormatan kepada almarhumah dr. Erina Natania Nazarudin. Tidak ada lagi pemisah, yang ada adalah kebanggaan bersama sebagai sebuah bangsa, yang baru saja menyaksikan salah seorang anaknya rela mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan saudara sebangsanya yang lain. Sebuah bangsa, yang menyaksikan kepergian seorang pahlawan pelayanan medis. Dan sebuah keluarga, yang walaupun berhati pilu karena harus kehilangan salah satu anggotanya, namun bangga, bahwa salah satu anggotanya, bisa menjadi pahlawan untuk bangsa Indonesia.
Disini, bangsa Indonesia masih ada. Masih bangga. Dan inilah nasionalisme yang sesungguhnya!
Jakarta, 15 Juli 2009
Harry Hardianto Nazarudin
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment