Sudah dua bulan berturut-turut Republik Rakyat Cina, termasuk kota Kunshan tempat saya tinggal sekarang, dihajar oleh hawa dingin yang tak terperi. Apalagi dalam masa yang disebut ‘san ciu’, atau 3 x 9, 27 hari sesudah Winder Solstice yang tahun lalu jatuh pada tanggal 22 Desember. Tiba-tiba angin dingin seperti AC busway, bertiup kencang berhari-hari, berbulan-bulan. Suhu langsung jatuh dibawah nol, bahkan mencapai –5 celcius di Kunshan.
Rumah-rumah di Shanghai kebanyakan tidak memiliki radiator penghangat seperti di Eropa. Ini merupakan sisa aturan jaman dulu, karena Chairman Mao mengatakan bahwa radiator (atau boiler) hanya untuk wilayah utara Sungai Kuning. Sementara wilayah Selatan Sungai Kuning dianggap ‘cukup hangat’ sehingga pemerintah tidak menyediakan sarana penghangat, boiler, atau radiator. Memang, tidak seperti Beijing atau Qingdao, suhu di Shanghai tidak pernah lebih dari –10 celcius. Tapi, Shanghai letaknya sangat dekat dengan Sungai Kuning, sehingga termasuk apes gara-gara peraturan ini: dingin iya, tapi belum cukup dingin untuk dibuatkan infrastruktur seperti boilet!
Akibatnya, musim dingin menjadi sangat menyiksa. Jendela-jendela bocor, tidak dilengkapi penyekat untuk negara empat musim seperti Eropa. Satu-satunya penghangat adalah AC yang meniupkan angin panas, tetapi udara menjadi pengap dan bau. Dan, untuk masyarakat kebanyakan, satu-satunya sumber panas dalam rumahnya adalah kompor! Namun demikian, dengan gigi gemeretak menahan dingin, masyarakat tetap berkegiatan seperti biasa. Naik sepeda dan motor, dalam suhu –5 celcius, angin kencang pula, demi mencari sesuap nasi. Benar-benar ulet orang-orang ini, pikir saya.
Sampai Senin kemarin, 8 Februari 2010, mendadak seluruh Kunshan diliputi kabut supertebal. Saya bahkan tidak bisa melihat gedung kantor saya dari pagar! Ada apa gerangan, pikir saya. Esoknya, cuaca cerah, dan – bukan sulap bukan sihir – suhu langsung naik dari –5 menjadi +12 celcius! Sejak itu, setiap hari suhu mulai menanjak, karena angin hangat tiba-tiba bertiup kencang setiap hari. Guangzhou sudah +22 celcius, Kunshan +15, saya sudah bisa melepas sweater waktu tidur dan menyetir dengan jendela terbuka. Selamat datang musim semi!
Masyarakat pun riuh rendah menyambut tahun baru. Disini, tidak ada kue keranjang, yee shang, atau semua ornamen Imlek yang kita kenal. Yang ada adalah camilan, seperti berbagai macam kacang (pistachio, almond, walnut), dan kue-kue kering, yang biasanya sulit didapat dan cukup mahal, kali ini nampak berlimpah ruah waktu saya masih ke hipermarket Auchan. Chaos dimana-mana: orang berebut kacang, berebut makanan diskon, maklum di Cina segalanya serba besar dan banyak karena jumlah penduduknya yang besar. Banyak petasan dijual, dengan tulisan-tulisan berwarna emas/merah bertulisnya ‘New Year’ dan bergambarkan harimau. Orang-orang sibuk pulang kampung, naik dari jendela kereta api, berebut naik pesawat. Persis suasana libur Lebaran di negri kita!
Perayaan Imlek memang sudah berubah, didera oleh sejarah dan politik. Di Cina daratan sendiri, ada Revolusi Kebudayaan tahun 1960-an, yang memakan korban lebih dari 30 juta jiwa. Revolusi ini secara sistematik menghancurkan sisa-sisa budaya feodal Cina dan menggantikannya dengan budaya ‘baru’, komunisme. Semua kelenteng, buku, bahkan furniture, dihancurkan, sehingga generasi seumur saya di Cina daratan sudah tidak mengenal lagi apa itu hio, meja persembahan, dan kelenteng. Apa yang dulu ada di Cina daratan, kini masih bisa dijumpai di Taiwan dan Hong Kong, yang relatif tidak terlalu kena dampak revolusi kebudayaan.
Di Indonesia sendiri, kebalikannya: justru pergulatan politik tahun 1960-an mengakibatkan pemerintahan Orde Baru mengeraskan kepalannya kepada masyarakat Tionghoa di Indonesia. Karakter Cina dilarang, perayaan Imlek selalu didahului oleh surat edaran yang ‘menghimbau’ dan mengajurkan ‘pembauran’. Yang bisa dilakukan, hanya tutup – menutup usaha kami, selama satu hari. Tiba-tiba, di tengah usaha pemerintah waktu itu untuk ‘meniadakan’ kaum kami, mendadak kaum kami ‘tidak ada’ beneran selama satu hari, dan masyarakat begitu kehilangan. Kue-kue favorit hilang dari pasar, toko-toko langganan tutup, bengkel langganan tutup, salon tercinta tutup, bahkan simbok penjaja kue jajan pasar pun ikut libur, karena pabrik kuenya tutup!
Kini, jamannya sudah berbeda. Terima kasih pada demokrasi, kini Imlek bahkan merupakan hari libur nasional, yang bisa saya banggakan di tempat saya kerja, sebagai simbol kebhinekaan Indonesia. Kami bersyukur, bahwa perayaan Imlek boleh dilakukan dengan bebas. Kue keranjang sudah berevolusi, menjadi makanan Indonesia dengan berbagai bentuk dan variasi. Ikan gurame goreng asam manis, kue lapis legit, dan kue keranjang dengan parutan kelapa, misalnya, menjadi simbol imlek asli Indonesia. Demikian warga Tionghoa lainnya di Malaysia, Singapura, Taiwan, bahkan Toronto dan San Francisco, menemukan caranya masing-masing.
Kini, orang Tionghoa sudah menjadi diaspora. Yang di Indonesia menjadi orang Indonesia, turut berjuang dan menemukan identitasnya yang baru. Demikian pula di Singapura, juga di Malaysia dan negara-negara lainnya. Bahkan Cina Daratan, yang dulu dijadikan momok sebagai ‘musuh’ karena paham komunisnya, kini menjadi lokomotif ekonomi dunia. Jadi, dinding-dinding ideologi yang dulu dibangun, kini runtuh. Dan, masyarakat Tionghoa perantauan sudah menjadi 100% warga Indonesia, Malaysia, Singapura, dan bahkan Taiwan. Namun, setahun sekali, ijinkanlah kami merayakan Imlek. Bukan untuk menunjukkan bahwa kami berbeda, melainkan sekedar untuk kami mengingat asal-usul kami, mengingat sejarah perjalanan kami. Dan, mengingat, betapa beruntungnya kami menjadi warga Indonesia, sekaligus menyadarkan kami, bahwa kami masih punya satu tugas, yaitu untuk menunjukkan bakti bagi negara dan bangsa Indonesia.
No comments:
Post a Comment