Kebetulan, tanggal 25 September 2014, saya menonton ulang salah satu film kesukaan saya, berjudul ‘Lincoln’ (2012) yang disutradarai oleh Steven Spielberg. Sepanjang sejarah, sangat sedikit film yang membahas khusus mengenai produk undang-undang, dan ini adalah salah satu yang terbaik. Film ‘Lincoln’ tidak membahas Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke 16, melainkan membahas kelahiran Amandemen ke 13 Konstitusi Amerika Serikat, yang kemudian dikenal sebagai undang-undang yang melarang perbudakan.
Film ini menyajikan drama pengesahan amandemen konstitusi di
House of Representative (DPR) yang sangat menarik, mirip dengan yang kita
saksikan belakangan ini di DPR kita. Bahkan di tahun 1865, strategi perjuangan
menuju pengesahan produk perundangan sudah terjadi: ada dua kubu berseteru, ada
pelobby, ada transaksi, ada negosiasi. Disinilah keindahan film ini, yang
begitu jujur menampilkan sisi busuk dari sebuah proses politik. Busuk, namun
menghasilkan produk yang baik.
Dari proses pengesahan Amandemen ke-13, peranan Presiden
Abraham Lincoln sangat dominan. Beliau menerima tantangan berat dalam
perjuangannya. Fraksinya kalah suara di parlemen, Perang Saudara yang sedang
berkecamuk juga menambah bebannya. Tapi, ia dengan gigih memperjuangkan
Amandemen ke-13 – bahkan mempertaruhkan reputasinya sendiri dengan ‘berbohong’
mengenai delegasi dari Negara Konfederasi yang ingin berdamai. Apa yang membuat
Lincoln begitu gigih memperjuangkan penghapusan perbudakan?
“Intuisi” kata Lincoln ketika berkali-kali ditanya mengenai
hal ini. Intuisi, bahwa sebenarnya esensi demokrasi yang dijunjung tinggi oleh
Konstitusi Amerika Serikat bertentangan dengan asas perbudakan. Intuisi, bahwa
hak yang sama untuk semua warga negara harusnya berlaku juga bagi warga kulit
hitam. Intuisi, bahwa kemerdekaan yang begitu kuat diperjuangkan oleh imigran
kulit putih Amerika Serikat, harusnya juga berlaku bagi imigran kulit hitam dan
semua bangsa. Lincoln kemudian meminta anggota Senat mendengarkan ‘intuisi’
mereka masing-masing sebelum melakukan voting.
Apakah perbudakan itu sejalan dengan asas demokrasi yang begitu mereka junjung
tinggi, atau berlawanan?
Dengan intuisi inilah kemudian Amandemen ke-13 disahkan
tanggal 31 Januari 1865. Ada pro, ada kontra, kondisi riuh, dan kesamaan hak
antar ras baru 200 tahun kemudian bisa benar-benar dihapuskan. Tapi, kubu
pro-Amandemen menang.
Jakarta, 25 September 2014. Sayang sekali, kita tidak punya
Abraham Lincoln, yang rela berjibaku demi tercapainya sebuah idealisme
demokrasi. Kita juga tidak punya Thaddeus Stevens, seorang senator yang gigih
memperjuangkan amandemen. Yang kita punya adalah usaha Koalisi Merah Putih untuk
menggusur pilkada langsung, tindakan walk-out dari Partai Demokrat yang
melancarkan tindakan ini, dan diketoknya palu yang mengecewakan rakyat.
Konon, toh demokrasi bisa melalui mekanisme demokrasi.
Toh, negara-negara maju lainnya juga menggunakan sistem representasi. Malahan,
pilihan langsung melanggar sila ke-4 Pancasila. Apakah benar begitu?
Mari kita bicara mengenai ‘intuisi’ dalam penafsiran demokrasi.
Inilah yang menjadi pegangan Lincoln dan Thaddeus Stevens dalam memperjuangkan
Amandemen ke-13. Ini pula yang perlu kita pegang dalam menilai keabsahan
pilkada langsung. Secara intuitif, apakah pemilihan kepala daerah secara
langsung sejalan dengan demokrasi, atau bertentangan?
Demokrasi dalam bahasa Yunani berarti ‘kekuatan rakyat’.
Lawan katanya adalah aristokrasi yang artinya ‘kekuatan elit’. Kekuatan rakyat
diterjemahkan sebagai kondisi dimana warga negara memiliki hak setara dalam
pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka (http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi).
Maka, secara intuitif, semakin definitif warga negara bisa menentukan pilihan
pemimpinnya, semakin ideal pelaksanaan demokrasi di negara tersebut. Bukan
berarti demokrasi tidak bisa terwujud tanpa representasi – tetapi demokrasi pemilihan
langsung adalah bentuk demokrasi yang lebih murni. Karena melalui representasi ,
elit DPR dan DPRD sangat bisa kemudian berubah menjadi aristokrasi – kekuasaan
golongan elit semata.
Tadinya saya berencana menulis artikel untuk melaporkan
gilang gemilang kemenangan pilihan langsung rakyat untuk pilkada, dan
menyamakannya dengan Amandemen ke-13 Konstitusi Amerika Serikat. Sayangnya,
sejarah berkata lain. Mungkin, intuisi para wakil rakyat di Senayan berbeda
dengan intuisi saya, seorang warga negara biasa...
Jakarta, 27 September
2014