Kunjungan sahabat saya untuk pertama kali ke Indonesia
baru-baru ini membuat saya terhenyak. Mereka berasal dari sebuah negara maju di
Eropa, dan kami sudah kenal bertahun-tahun. Saya selalu ‘mengiklankan’ betapa
indahnya Indonesia kepada mereka, sampai 12 tahun setelah kami pertama kali
berkenalan, akhirnya mereka memberanikan diri terbang ke Indonesia.
Yang membuat saya terhenyak bukan reaksi mereka ketika
mencicipi petai goreng atau melihat kawah berasap di Bandung. Tetapi, reaksi
mereka terhadap kondisi lalu lintas di Indonesia. Betapapun saya menjelaskan supaya
mereka jangan kuatir, bahwa saya sudah bisanya berkendara di neraka ini, tidak
membuat mereka nyaman. Motor, mobil, pejalan kaki, mendadak melintas,
menerobos... neraka! Metromini berhenti semaunya. “Mengapa minibus itu
berhenti? Apakah dia tidak peduli pada mobil yang mengantri dibelakangnya?”
tanya teman saya. “Mengapa polisi membiarkannya terjadi?” tanyanya lagi. Saya
bingung mau menjawab apa.
Ingatkah Anda, kapan terakhir jalanan kita ‘berwibawa’?
Ingatkah Anda, kapan kita berkendara dengan nyaman, polisi ditakuti karena
jujur dan menegakkan peraturan, dan lalu lintas teratur rapi? Saya ingat di
tahun 1980-an, jalanan kita masih relatif berwibawa. Semua pengendara motor
wajib menggunakan helm. Sepeda motor berjalan di jalur paling kiri. Menerobos
lampu merah adalah pelanggaran besar. Melawan arus apalagi!
Sekarang, bolehkah saya berargumen, bahwa kemajuan suatu
negara bisa dinilai dari lalu lintasnya? Siapa yang tertib, seperti Singapura,
Malaysia, Austria, berarti negaranya maju. Yang berantakan, seperti India,
Bangladesh, Pakistan, berarti belum maju.
Nah, kalau saya boleh bertanya, apakah Indonesia mengalami kemajuan atau
kemunduran sejak tahun 1980-an?
Jika Anda berpendapat lalu lintas tidak penting untuk
dibenahi, nanti dulu. Di bawah ini ada beberapa poin mengenai lalu lintas kita
yang perlu kita cermati:
1.
Lalu lintas menunjukkan budaya. Apakah Indonesia
bangsa yang beradab atau biadab? Mohon maaf, jika menilai dari perilaku bangsa
kita di jalan raya, yang terakhir lebih tepat, terutama di kota besar. Kalau
ingin menunjukkan Indonesia beradab dan berbudaya, marilah mulai dari jalan
raya! Niscaya setiap tamu asing menghargai keteraturan kita, bukan
geleng-geleng melihat absennya aturan di jalanan kita.
2.
Jalan raya adalah simbol kewibawaan negara.
Dimanakah hadirnya negara dalam kehidupan kita? Diluar urusan setahun sekali
seperti KTP atau bayar pajak, negara hadir tiap hari dalam perjalanan kita.
Diantara mobil saya dan mobil sebelah, ada negara yang mengatur. Dan, kinerja
negara pun paling mudah dinilai dari sini. Jika negara absen di jalan raya,
mungkin saja negara sudah tidak ada bagi rakyatnya!
3.
Citra polisi perlu diperbaiki di jalan raya. Ya!
Jujur saja, dimanakah Anda paling sering melihat seorang berseragam kepolisian?
Densus 88? Brimob? Bukan – polisi lalu lintas tentu saja. Ingin memperbaiki
citra kepolisian? Mulailah dari polisi lalu lintas! Disinilah kepolisian
memiliki jendela dimana setiap rakyat bisa melihat dan menilainya, setiap hari.
4.
Angkutan umum perlu jadi teladan di jalan raya.
Ini yang saya tak habis pikir – mengapa di Jakarta semua bus, metromini, dan
kopaja ‘kebal hukum’? Mereka bisa membunuh siapa saja, melempar penumpangnya di
tengah jalan, dan tidak ada yang menyentuhnya. Di negara maju, angkutan umum
justru adalah teladan penegakan hukum. Merekalah simbol kehadiran negara,
simbol tegaknya undang-undang. Apakah segitu susahnya menertibkan bus dan
konco-konconya yang sebenarnya dijalankan atau diatur oleh BUMD atau negara?
5.
Galakkan iklan layanan masyarakat berlalu
lintas. Terlalu sedikit kita mendengar dan membaca, betapa berbahaya bermotor
tanpa helm, betapa merusaknya sikap berteduh semaunya ketika hujan, atau betapa
kejinya berhenti sembarangan. Daripada iklan pencitraan, mungkin lebih baik
uang negara dialirkan membuat iklan layanan masyarakat untuk perbaikan lalu
lintas!
Belakangan ini, dalam politik, terjadi sebuah trend yang
kurang menyenangkan. Sikap mengalah, yang menjadi keunggulan politik Indonesia
selama puluhan tahun, mulai menghilang. Yang ada adalah sikap ingin menang
dengan segala cara, sikap tidak mau mengalah, yang penting saya menang.
Apakah sikap ini terasa familier? Jangan-jangan, seorang
pejabat yang biasa berkendara dijaga oleh voorijder yang garang memaki
kendaraan lain supaya minggir, merasa beliaulah yang berhak jadi penguasa
negara ini. Jangan-jangan, jagoan bermotor yang tadi pagi lebih baik ngotot adu
jotos daripada mengaku salah (boro-boro minta maaf), nantinya akan ngotot
dilantik jadi pejabat walaupun sudah terdakwa korupsi. Jangan-jangan, kernet
bus yang biasa melintas semaunya di Slipi, kelak menjadi pengusaha yang
menjadikan OB sebagai direktur demi mendapatkan proyek.
Jangan-jangan, pandangan Radhar Panca Dahana di koran Kompas
beberapa waktu lalu salah. Jangan-jangan, sebuah revolusi mental bisa terjadi
tanpa proses panjang antar-generasi, namun hanya dengan merevolusi cara kita
berkendara. Jangan-jangan, jika rakyat diajar santun di jalanan, jika negara
bisa berwibawa tanpa korupsi di jalanan, jika rakyat bisa mengaku salah dan
minta maaf di jalanan, revolusi mental bisa bergulir lebih cepat. Atau
sebaiknya saya mengganti ‘jangan-jangan’ dengan ‘mudah-mudahan’?
Saran saya sederhana: wahai pemerintah, mulailah jadi
teladan bagi rakyat di jalan raya. Jalan raya adalah sekolah bernegara. Jika
ingin bernegara dengan beradab, beradablah dulu di jalanan!
Salam,
Harnaz
No comments:
Post a Comment