Saya beruntung bisa hadir dalam salah satu konser yang
diadakan oleh Cordana Youth Choir, yang dipimpin oleh Ibu Aida Swenson, putri
dari Alfred Simanjuntak. Pak Alfred adalah ‘A Simanjuntak’ yang mengarang lagu ‘Bangun
Pemudi Pemuda’, sebuah lagi perjuangan yang sangat terkenal terutama pada hari
ini, 28 Oktober.
Saya ingat waktu itu Pak Alfred sudah sepuh, dan ketika
didaulat untuk menjadi dirigen di salah satu lagu yang dinyanyikan oleh Cordana
Choir. Pak Alfred berjalan tertatih-tatih dari kursi VIP di belakang menuju
panggung di depan, tangga yang berderet-deret menjadi tantangan berat beliau
untuk mencapai panggung. Namun ketika sampai di depan, Gedung Usmar Ismail
mendadak riuh rendah oleh tepuk tangan hadirin, yang kagum atas perjuangan dan
dedikasi beliau untuk musik Indonesia.
“Inilah Pak A Simanjuntak, yang mengarang lagi Bangun Pemuda
Pemudi” kata MC. Dan Pak Alfred lalu mengangkat tangannya untuk protes. “Salah!
Bukan ‘Bangun Pemuda Pemudi’, tetapi ‘Bangun Pemudi Pemuda’!” tukasnya dengan
mata berapi-api. “Karena pemudi itu lebih penting dari pemuda!” lanjutnya, yang
langsung disambut oleh tepuk tangan hadirin yang lebih meriah.
Tahun ini, baiklah kita mengingat bahwa definisi bertumpah
darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, adalah berlaku untuk semua
golongan baik mayoritas maupun minoritas yang beridentitas sama: Indonesia. Sumpah
Pemuda pada 28 Oktober 1928 diadakan di gedung Katholieke jongelingen bond atau
Gedung Pemuda Katolik. Walaupun sejarah mencatat penggagas dan pengurusnya
semuanya pemuda, tapi tercatat Sumpah Pemuda dimulai dengan ‘Kami, poetra dan
poerti Indonesia’. Berarti, ada sejumlah pemudi yang turut hadir dan berteriak
Indonesia!
Di jaman kekinian yang semakin terpolarisasi ini, masyarakat
kita menjadi terkotak-kotak. Penggunaan gedung untuk ibadah, pemilihan kepala
daerah wanita, bahkan polarisasi kampanye presiden saja bisa menjadi tembok
yang seolah-olah memisahkan saya dengan Anda, dia dan mereka. Begitu mudah kita
bersimpati pada satu golongan ketika berita diskriminasi (yang belum tentu
benar) digaungkan. Dan kita malah menambah gaungnya – dengan me-retweet atau
share di Facebook. Alhasil, kita menambah tinggi tembok virtual yang membatasi
diri kita dengan sesama bangsa Indonesia.
Sumpah Pemuda, mengingatkan kita akan identitas mulia yang
ditatah di dalam setiap jiwa bangsa Indonesia sejak tahun 1928. Bahwa kita
tidak meributkan ras dan agama, kita tidak malu menjabat tangan saudara yang
berbeda penampilan dan kelas sosial, karena kita memiliki identitas yang sama.
Apakah itu? Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia. Dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Apakah
kita masih bertumpah darah satu? Apakah kita masih berbangsa satu? Dan yang
paling urgent: apakah kita masih menjunjung tinggi bahasa persatuan? Please
dech, kalo gitu... Yuk kembali ke Indonesia!
Jangan lagi bilang 'Damn, I love Indonesia'. If you are indonesian, then say: "Sialan, saya cinta Indonesia!"
Memperingati Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015
Harnaz