Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah
darah jang satoe, tanah Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang
satoe, bangsa Indonesia.
Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean,
bahasa Indonesia
Soegondo, Batavia, 28 Oktober 1928
Sadarkah Anda, bahasa bahasa Indonesia adalah harta yang
begitu penting yang kita miliki? Tanah bisa dipecah, bangsa bisa terbelah.
Tetapi bahasa tetap menjadi perekat dan pemersatu bangsa, sampai hari ini.
Tahukah Anda, bahwa hanya ada dua negara yang ‘membuat’
bahasanya sendiri di dunia ini: Korea dan Indonesia? Bahasa dan aksara Korea
terbentuk selama ratusan tahun, sementara bahasa Indonesia disahkan dan
digunakan hanya dalam waktu 69 tahun. Namun, bahasa ini telah memiliki 30 juta
penutur asli dan 230 juta penutur saat ini. Luar biasa!
Saya pernah ke India, dimana saya menyaksikan dua orang
India hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa mantan penjajah mereka, yakni
Inggris. Ketika saya ditemani rekan saya asal Kalkuta untuk terbang ke Tamil
Nadu di India Selatan, teman saya sama turisnya dengan saya: di Selatan,
bahasanya sudah bukan Hindi lagi. Bahkan tulisannya pun tidak bisa dia baca!
Saya bersyukur, bahwa sebagai orang Indonesia, kemanapun saya pergi di
Indonesia, saya bisa berbicara bahasa Indonesia.
Tahukah Anda darimana asal-usul bahasa Indonesia? M. Yamin
dalam Kongres Pemuda Kedua yang menghasilkan Sumpah Pemuda, berkata bahwa hanya
ada dua bahasa yang bisa dijadikan bahasa persatuan: bahasa Jawa dan bahasa
Melayu rendah. Kemudian, beliau menyimpulkan bahwa bahasa Melayu rendah atau
Melayu pasar inilah yang lebih luas jangkauannya dan lebih cocok menjadi bahasa
pergaulan.
Bahasa Melayu sebenarnya berasal dari Sungai Batanghari di
Jambi. Kerajaan Hindu-Buddha Malayu pada abad ke-7 Masehi di Batanghari adalah
pelopor bangsa Melayu, yang kemudian menyebar sampai ke semenanjung Malaysia.
Dari sanalah tumbuh bahasa Melayu Tinggi, yang lebih dekat dengan Bahasa
Malaysia sekarang ini. Titik pentingnya adalah pertengahan abad ke-19 ketika
Raja Ali Haji dari Kerajaan Riau – Johor membuat kamus pertama untuk Bahasa
Melayu, mematenkannya menjadi bahasa resmi sepenuhnya.
Bahasa Indonesia, jelas berbeda dengan bahasa Melayu.
Perbedaannya lebih jauh dari dialek Austria, Swiss, dan Jerman Tinggi
(hochdeutsch) di Eropa. Semua orang Indonesia paham bahwa kalau ke Malaysia,
lebih baik berbicara bahasa Inggris karena kita akan bingung mendengar hari
bulan, telepon kecemasan, dan rumah sakit korban lelaki. Jika demikian, pada
titik mana bahasa Indonesia dan bahasa Melayu berpisah?
Alkisah, tahun 1928, ketika M. Yamin memaklumkan Sumpah
Pemuda, adalah bersamaan dengan periode keemasan sebuah bentuk sastra sempalan
Melayu, yakni sastra Melayu Tionghoa. Pada masa ini, setiap bulan terbit cerita
bulanan dan satu novel berbahasa Melayu Tionghoa, dari Batavia, Semarang, dan
kota-kota lainnya. Walaupun namanya ‘Tionghoa’, namun tidak semua penggiatnya
beretnis Tionghoa. Kata ini merujuk pada asal penuturnya yakni orang Tionghoa,
namun kemudian diadopsi oleh kaum Pribumi dan memiliki tokoh Pribumi seperti R.M.
Tirtoadisoerjo, Semaoen, dan Mas Marco Kartodikromo.
Mengapa disebut Melayu pasar? Karena bahasa ini memang lahir
di pasar. Kota multietnis seperti Batavia, tidak bakal bisa berinteraksi jika
tidak ada bahasa lingua franca atau
bahasa perdagangan. Dan siapakah yang ada di pasar? Orang-orang Tionghoa tentu
saja! Kaum yang sejak jaman politik segregasi Belanda diberi tugas mengurus
perdagangan. Dan darah sastra dari Tiongkok, meskipun kini sebagian besar tidak
lagi bisa berbahasa Mandarin, masih kuat mengalir ketika tahun 1856 Belanda
mencabut sensor pers. Maka bermunculanlah koran dan media cetak berbahasa
Melayu pasar, yang dimiliki, dan digiati, baik oleh kaum Pribumi dan kaum
Tionghoa. Dan dari sinilah mulai tumbuh sempalan bahasa baru: Bahasa Indonesia!
Bagaimana dengan anggapan bahwa bahasa Indonesia berasal dari
Kepulauan Riau? Jika Anda pernah ke Riau, Anda pasti mahfum bahwa bahasa daerah di
Kepulauan Riau lebih mirip melayu Malaysia daripada bahasa Indonesia. Tapi, ada
apa di Kepulauan Riau? Sejak dahulu, dari Natuna sampai Kuala Tungkal, dari
Pangkalpinang sampai Tanjungpinang, terdapat titik-titik perdagangan dan jaringan
perkapalan yang memiliki banyak populasi orang Tionghoa. Disini antara penggiat
melayu Pribumi dan Tionghoa berinteraksi membentuk sebuah bahasa perdagangan,
Melayu Tionghoa, atau Melayu Pasar, cikal-bakal bahasa Indonesia!
Jika Raja Ali Haji adalah pahlawan yang mematenkan Bahasa
Melayu, lalu siapakah tokoh mirip bagi bahasa Indonesia? Adalah seorang
bernama Lie Kim Hok, yang dilahirkan tahun 1853 di Buitenzorg (Bogor sekarang)
dan menguasai bahasa Sunda, Melayu, dan Belanda. Beliau merasa terganggu karena
varian Melayu yang digunakan di Batavia mulai berantakan tanpa tata bahasa. Untuk
itu, tahun 1884 ia menerbitkan sebuah buku 116 halaman berjudul “Malajoe
Batawi: Kitab deri hal Perkataan-perkataan Malajoe, Hal Memetjah Oedjar-Oedjar
Malajoe dan Hal Pernahkan Tanda-Tanda Batja dan Hoeroef-Hoeroef Besar”. Lie Kim
Hok adalah orang pertama yang mematenkan aturan Melayu Pasar, atau disebut
Melayu Betawi, dalam sebuah buku tata bahasa, dan membuat terobosan secara
linguistik menjadi bahasa baru. Bahasa inilah yang kemudian berkembang menjadi
Bahasa Indonesia.
Kita harus bersyukur dan bangga dengan bahasa kita, bahasa
Indonesia. Dan melalui sejarahnya, kita menyadari, bahwa terbentuknya Indonesia
sekarang adalah hasil dari perjuangan setiap unsur masyarakatnya, tanpa
kecuali. Merdeka!
Harnaz281014
No comments:
Post a Comment