Seperti biasa, terjadi pro dan kontrak terkait pengumuman menteri Kabinet Kerja Pak Jokowi – Kalla. Ada yang suka, ada yang tidak, ada yang mulai mengkritik dari soal rokok sampai soal gaya bicara yang kikuk. Tetapi, marilah kita melihat dari sisi lain. Ada sebuah terobosan penting yang terjadi pada hari Minggu, 26 Oktober 2014, yakni depriyayinisasi menteri Indonesia.
Secara definisi, priyayi adalah golongan masyarakat Jawa keturunan
dari adipati dan gubernur yang ditunjuk oleh Sultan Agung, raja Mataram, pada
abad ke-17. Dari sudut aristokrasi Belanda, para priyayi disebut sebagai ‘bangsawan
jubah’ (nobles of the robe), yakni
orang yang mendapatkan status karena merupakan keturunan dari seseorang yang
memiliki jabatan administratif. Mereka selama berabad-abad mendedikasikan hidup
bagi pekerjaan administratif dan pemerintahan, bekerja dengan pengabdian kepada
Sultan. Prinsip priyayi adalah lebih baik halus daripada kasar, lebih
mementingkan batin daripada lahir.
Selama penjajahan Belanda, terjadi perubahan perlahan-lahan
terhadap budaya priyayi. Belanda tidak pernah mencengkeram Indonesia kuat-kuat
dalam masa penjajahannya. Tetapi, Belanda menggunakan pemerintah lokal – para
bangsawan dan priyayi – untuk memerintah. Maka, terjadi pergeseran dalam budaya
priyayi. Jika sebelumnya priyayi didasari dedikasi luhur pada Sultan, kini
dedikasi adalah untuk Belanda. Belanda pula yang memutuskan, apakah seorang
priyayi ‘diangkat’ atau ‘dicopot’.
Dari titik ini, hubungan antara jabatan dan kinerja mulai
memudar. Setelah diangkat menjadi pejabat, seorang priyayi ‘disanjung’ oleh
sederet fasilitas. Ia dipilih karena trah, bekerja karena anugerah. Ia terlatih
untuk berada dalam rata-rata – tidak terlalu menonjol karena akan bahaya jika
terlihat Belanda, tidak juga terlalu kejam karena menimbukan protes warga yang
sekali lagi akan menarik perhatian Belanda. Memang, ada satu-dua yang berani
membela rakyat. Tetapi, mayoritasnya, aman-aman saja.
Inilah ‘menteri’ jaman dahulu. Seorang yang dipilih oleh
Presiden karena jasanya pada negara. Sebuah proyek balas budi, setelah berjuang
demi kemerdekaan. Sebuah posisi penuh fasilitas yang bisa dinikmati asal adem
ayem saja. Tidak perlu capek-capek berprestasi. Sekali lagi, ada satu-dua
pengecualian. Tetapi, mayoritasnya adalah program yang mogok dan rencana kerja yang
jalan di tempat.
Rekan saya dari Inggris, terheran-heran melihat
iring-iringan patwal yang mengawal menteri yang akan menghadiri seminar di
hotel tempat kami menginap. “How many police officers are constantly guarding
your minister?” katanya. Kami hitung: dua motor di depan, dua motor di
belakang, satu mobil Fortuner berisi 4 orang. Delapan! Ini baru patwalnya,
belum lagi ‘jajaran’-nya yang hadir beberapa jam sebelumnya. Jika dihitung,
bisa 14 orang totalnya! “In the UK, the ministers had to take the Tube to avoid
traffic!” kata teman saya yang memang sinis. Tapi, itulah kenyataan di
Indonesia.
Sampai, saat Pak Jokowi mengumumkan menteri Kabinet Kerja.
Minggu, 26 Oktober 2014. Pak Jokowi memutus tradisi menteri dan kementerian
kita, dengan melakukan de-priyayi-nisasi jabatan menteri. Yang ada hanya tim
yang siap kerja, seperti kick-off meeting sebuah project. Para menteri – baik politisi
senior, cucu mantan presiden, maupun konglomerat terkenal, semua menurut pada
presiden, berbaju putih, dan berlari kecil menuju barisan. Siap kerja, tanpa
batik mewah eksklusif atau jamuan makan malam indah. Pengumumannya pun dilakukan
di halaman – bukan di gedung-gedung mewah seperti biasa. Para menteri tidak sowan ke Bapak Presiden, tetapi
memandang Presiden sebagai direktur. Ketika wartawan mau mewawancara direktur,
maka Pak Jokowi pun mengarahkan untuk bicara langsung dengan para manajer.
Langsung dengan para menteri. Soalnya, kini tugas direktur – Presiden Jokowi –
hanya memberikan arahan.
Saya rasa, ini merupakan terobosan yang harus diapresiasi.
Kabinet Kerja memutus rantai ratusan tahun yang menghantui kinerja
administratif pemerintahan Indonesia. Kini, menteri adalah manajer, pekerja,
yang dinilai berdasarkan prestasi dan kinerjanya. Jabatannya tidak dari langit,
bukan anugerah, tetapi hasil komitmen, dan harus berprestasi jika ingin
mempertahankan jabatannya. Jika, tidak berprestasi, maka – layaknya seorang
manajer – bisa dipecat oleh atasannya.
Semoga, terobosan ini disambut oleh para menteri yang
berlomba-lomba memberikan kinerja yang baik. Tidak perlu lagi mengandalkan
posisi rata-rata, karena sekarang justru yang rata-rata yang akan dibuang!
Selamat bekerja Kabinet Kerja, kami menanti kerja keras Anda
semua!
Harnaz - 27102014
No comments:
Post a Comment