Apa itu Amerikanisasi? Bukan, saya tidak berbicara mengenai
antek-antek. Saya berbicara soal demokrasi Amerika yang kini sedang rusak, dan
resiko rusak ini yang menjalar ke Indonesia!
Kok bisa demokrasi Amerika Serikat rusak? Ya – seperti ditulis
oleh William Liddle, seorang indonesianis asal Ohio, dan juga banyak pengamat
politik lainnya di AS: demokrasi di negara itu sedang ‘sakit’. Sejak jaman
George W. Bush, sampai kemudian Barrack Obama, terjadi trend yang disebut ‘partisan’.
Desain demokrasi sebenarnya adalah kekuasaan mayoritas dalam pemilihan umum.
Artinya, yang mayoritas berhak memilih pemimpin sendiri sehingga tidak terjadi
kekuasaan despot, abadi, atau tirani.
Tetapi, apa yang terjadi kalau tidak ada mayoritas? Kalau
setiap pemilu suaranya 40:40 dengan 20 persen saja yang belum memutuskan? Yang
20% ini namanya swing vote. Dan dalam
demokrasi yang ‘sakit’, yang menentukan siapa pemimpin masa depan justru 20%
ini, dan bukan mayoritasnya!
Mengapa ini bisa terjadi? Memang, Amerika Serikat menganut
sistem dua partai saja, Demokrat dan Republik. Tapi, masalah utama yang
sangat cepat ‘membusukkan’ demokrasi, adalah semangat partisan. Maksudnya apa?
Partisan artinya pemilih – rakyat – memilih partai karena fanatisme semata,
bukan karena kinerja, program, atau prestasi. Jadi, salah benar, bejat suci,
partai saya adalah A. Dan Partai A selalu terbaik, selalu didukung, apapun yang
terjadi. Inilah yang disebut partisan. Semangat demokrasi adalah memilih yang
terbaik sehingga kalau fanatik begini, sistemnya tidak akan berjalan.
Terjadilah kemudian apa yang disebut sebagai ‘tirani
demokrasi’. Saya pernah mengobrol dengan rekan dari Afrika. Dan saya bertanya,
di Afrika banyak negara demokratis, yang mengadakan pemilu rutin, namun tetap
dihantui kemiskinan, kekejaman, dan tirani. Mengapa demikian? Dia menjawab,
karena sistem demokrasi disana dirusak oleh partisan berdasarkan suku. Artinya,
suku membuat partai, dan setiap anggota suku fanatik memilih partainya. Akibatnya: yang
menang pemilu selalu suku mayoritas, betapapun bejat pemimpinnya! Bagaimana
jika suku minoritas bosan ditindas? Mereka harus memberontak, membentuk negara
baru, dimana mereka mayoritas. Baru bisa berkuasa!
Inilah yang disebut tirani demokrasi, yang bisa terjadi di
Indonesia!
Indonesia memang beruntung, tidak memiliki kecenderungan
partai sesuku dan sistemnya multipartai. Namun, polarisasi pilpres 2014 yang
diwarnai perang media dan urat syaraf politik, yang buntutnya masih kita
rasakan sekarang. Jika dulu kita tidak punya oposisi, mengandalkan musyawarah
mufakat, kini parlemen kita terkotak dengan jelas dan orang malah bangga
dibilang ‘oposisi’ – dan tentu saja beliau akan beroposisi tanpa tedeng
aling-aling! Hal seperti ini, belum pernah terjadi di Indonesia, negri musyawarah mufakat. Kondisi ini harus
dicegah!
Kita harus ingat, bahwa inti demokrasi adalah memilih
pemimpin yang terbaik – tidak berdasarkan suku, agama, fanatisme politik, atau
alasan lainnya. Semangat inilah yang membuat negara-negara demokratis menjadi yang termaju dan termakmur di dunia. Tetapi iika ini tidak dilakukan, maka demokrasi tidak berjalan –
apapun namanya, bahkan di Negeri Paman Sam sekalipun! Kuncinya, rakyat jangan mudah
tertipu mesin media partisan (media yang mendukung fanatisme partai). Tetaplah
melihat suatu masalah dengan kepala jernih, dan berpendapat untuk kepentingan
kita sendiri. Supaya demokrasi yang kita perjuangkan sepenuh hati ini, tidak
rusak sebelum kita nikmati!
Mari kita tolak partisan. Kita tolak partai-partaian. Kita tetap satu, mengawasi pemimpin kita yang sedang berkuasa. Dan ingat ketika waktunya untuk memilih - pilihlah dengan bijak! Ingat, di luar sana sekarang, ada yang rela mati demi mendapatkan apa yang kita nikmati sekarang. Mari kita nikmati dengan bijak dan pastikan demokrasi membawa Indonesia gemilang!
Jakarta, 4 Oktober 2014
Harnaz
No comments:
Post a Comment