Seperti biasa, terjadi pro dan kontrak terkait pengumuman menteri Kabinet Kerja Pak Jokowi – Kalla. Ada yang suka, ada yang tidak, ada yang mulai mengkritik dari soal rokok sampai soal gaya bicara yang kikuk. Tetapi, marilah kita melihat dari sisi lain. Ada sebuah terobosan penting yang terjadi pada hari Minggu, 26 Oktober 2014, yakni depriyayinisasi menteri Indonesia.
Monday, October 27, 2014
Depriyayinisasi Menteri di Indonesia
Seperti biasa, terjadi pro dan kontrak terkait pengumuman menteri Kabinet Kerja Pak Jokowi – Kalla. Ada yang suka, ada yang tidak, ada yang mulai mengkritik dari soal rokok sampai soal gaya bicara yang kikuk. Tetapi, marilah kita melihat dari sisi lain. Ada sebuah terobosan penting yang terjadi pada hari Minggu, 26 Oktober 2014, yakni depriyayinisasi menteri Indonesia.
Friday, October 3, 2014
Hati-hati Amerikanisasi Demokrasi kita!
Saturday, September 27, 2014
Demokrasi dan Intuisi Kita
Kebetulan, tanggal 25 September 2014, saya menonton ulang salah satu film kesukaan saya, berjudul ‘Lincoln’ (2012) yang disutradarai oleh Steven Spielberg. Sepanjang sejarah, sangat sedikit film yang membahas khusus mengenai produk undang-undang, dan ini adalah salah satu yang terbaik. Film ‘Lincoln’ tidak membahas Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke 16, melainkan membahas kelahiran Amandemen ke 13 Konstitusi Amerika Serikat, yang kemudian dikenal sebagai undang-undang yang melarang perbudakan.
Sunday, September 21, 2014
Bernegara di Jalanan Kita
Sunday, January 29, 2012
Obituary: Drg. Daniel Nazarudin, born Thio Tjong Bing. A Good Dentist, A Great Person, The Greatest Dad.
Thursday, August 18, 2011
Antara Tubuh Dan Jiwa Yang Merdeka
Sebuah perenungan tentang kemerdekaan
The Israelites said to them, “If only we had died by the LORD’s hand in Egypt! There we sat around pots of meat and ate all the food we wanted, but you have brought us out into this desert to starve this entire assembly to death.”
Exodus 16:3
“Therefore, say to the Israelites: ‘I am the LORD, and I will bring you out from under the yoke of the Egyptians. I will free you from being slaves to them, and I will redeem you with an outstretched arm and with mighty acts of judgment.
Exodus 6:6
Merdeka! Senang bukan menyebutkannya? Kata ‘merdeka’ dalam bahasa Indonesia tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris. Terjemahan Inggris hanya memiliki ‘independence’ yang berarti kemandirian, atau ‘freedom’ yang berarti kebebasan. Yang satu berarti bisa menentukan nasib sendiri, yang lain artinya bebas melakukan apa saja. Tetapi, ‘merdeka’ memiliki arti ‘mandiri’ dan ‘bebas’ sekaligus, bahkan lebih dari itu. ‘Merdeka’ juga berarti sederajat, setara, punya kehormatan dan harga diri yang sejajar. Beruntunglah bahasa Indonesia yang memiliki kata ini. Pantas saja, dulu kata ‘Merdeka’ terpampang dimana-mana dan membuat penjajah Belanda terpana – karena menerjemahkannya pun mereka tak bisa!
Tapi, apakah kita sudah memahami arti kemerdekaan yang sesungguhnya? Merdeka bukanlah sesuatu yang indah-indah saja. Merdeka, pada saat didengungkan oleh Bung Karno dan kawan-kawan pejuang pada tahun 1945, adalah sebuah ide gila. Bukankah hidup dibawah penjajahan Belanda itu indah? Lihatlah rel kereta api yang dibangun, jalan raya Anyer – Panarukan. Lihatlah Pelabuhan Sunda Kelapa yang megah, lihatlah bangunan kolonial di Batavia yang indah dan tak kalah dengan negeri Belanda. Lihatlah karya arsitektur art deco tropis dari Schoemaker, dari Vila Isola sampai Hotel Homann. Indah bukan? Ya! Lihatlah pesta dansa-dansi a la Belanda di Harmonie. Tak heran, gaya hidup ini dinamai Mooi Indie – Hindia yang Cantik! Lalu, untuk apa merdeka? Untuk apa bebas? Untuk apa mandiri? Bukankah kita hidup enak dibawah lindungan payung oranye Kerajaan Belanda?
Inilah pertanyaan yang sama yang diajukan oleh bangsa Israel. Sesudah Allah menunjukkan kuasaNya yang luar biasa, dengan memberikan sepuluh tulah kepada Firaun dan negeri Mesir, termasuk meluputkan bangsa Israel dari kejaran Mesir dengan membelah Laut Merah, bukan puji syukur yang Ia dapatkan. Bukan sujud sembah yang Ia terima. Melainkan justru bangsa Israel yang bersungut-sungut! Ya Tuhan, bukankah lebih enak dijajah Mesir? Disana banyak roti dan daging. Disana banyak air. Memang, bangsa Israel dijajah. Tapi, dijajah kan tidak selalu dipecut, bukan? Dijajah juga berarti dijamin oleh penjajah. Tidak perlu memikirkan makan, semua disediakan majikan. Tidak perlu memikirkan infrastruktur, semuanya dibangun oleh majikan. Tidak perlu pusing membeli senjata, perlindungan diberikan oleh majikan. Enak bukan? Kalau sekali-kali dipecut sampai mati, atau disamakan dengan anjing dan dilarang masuk ke kelompok elit, ya itu sudah resiko!
Bukankah kenyataan ini adalah sebuah ironi? Ya, ironi yang begitu nyata. Bangsa Israel, dan Bangsa Indonesia, tidak boleh lupa. Allah memang berjanji menganugerahkan kemerdekaan, seperti yang Ia sabdakan dalam Keluaran 6:6. Ia menjanjikan tanah perjanjian, dimana semua orang bisa hidup sama rata, tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Namun, kemerdekaan itu mengandung tanggung jawab! Dengan merdeka, berarti suatu bangsa harus membangun segala sesuatunya sendiri. Suatu bangsa harus mencari makanannya sendiri, membangun jalan-jalannya sendiri, berperang sendiri, dan mempersenjatai diri sendiri. Dalam kisah keluarga bangsa Israel dari Mesir, terlihat berkali-kali bahwa walaupun bangsa Israel sudah keluar dari Mesir secara fisik, namun jiwa mereka masih jiwa bangsa jajahan. Pikiran mereka masih pikiran budak, padahal sudah merdeka. Mereka mau enaknya saja. Dibilang jangan makan manna hari Sabat, masih saja ada yang bandel. Diperintahkan menunggu diberi minum, masih saja bersungut-sungut. Bahkan, belum selesai Musa bercakap dengan Allah, mereka sudah membuat lembu emas dan memujanya! Namun, Allah dengan sabar namun tegas mendidik bangsa Israel untuk memerdekakan pikiran mereka, memerdekakan jiwa mereka. Kejam memang, dan butuh waktu 40 tahun sampai generasi bangsa Israel betul-betul merdeka. Bahkan Musa sendiripun tidak bisa masuk ke Tanah Perjanjian! Begitu kerasnya Allah mentransformasi jiwa sebuah bangsa, dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka. Karena, hanya bangsa merdeka sejati yang mengerti arti kemerdekaan, dan mengisinya dengan kemajuan dan kemakmuran!
Bangsa Indonesia kini sedang menempuh perjalanan yang sama. Lepas dari penjajahan Belanda, kita sudah secara fisik merdeka, namun mental kita masih mental negara jajahan. Kita kelimpungan mengatur keamanan, kesulitan mengatur produksi pangan, dan tertatih-tatih menata ekonomi. Hari-hari dibawah Orde Baru memang menawarkan kemajuan, namun akhirnya bangsa Indonesia jatuh lagi ke dalam penjajahan. Setelah reformasi, kita masih juga tertatih-tatih. Kita masih berusaha mengusir jiwa-jiwa terjajah, dan menggantikannya dengan pikiran-pikiran baru yang lebih bebas. Sudah banyak kemajuan! Seni dan budaya kini bisa dipraktekkan dengan bebas. Media pun bebas, setiap orang berhak dan layak berbicara. Indonesia menjadi negara yang toleran, dengan toleransi yang tidak dipaksakan, melainkan hadir dari lubuk hati setiap rakyatnya yang cinta damai. Bukan berarti tidak ada ancaman – ancaman selalu ada, namun Tuhan Allah senantiasa menyertai perjalanan bangsa kita.
Mengapa demikian? Tuhan kan tidak menurunkan manna untuk kita? Saudaraku, manna itu sudah turun. Dalam bentuk tanah yang subur. Dalam bentuk negara yang tetap bersatu. Dalam bentuk ekonomi yang bisa bangun sendiri tanpa campur tangan asing. Dalam bentuk setiap manusia Indonesia yang sambil tersenyum mengayuh becak atau mendorong gerobak, demi memutar roda ekonomi dan mencari sesuap nasi. Tidak ada negara selain Indonesia yang bisa selamat didera kerusuhan massal seperti 1998, krisis moneter dan melemahnya rupiah secara luar biasa, ataupun diinjak-injak oleh ego IMF yang ternyata lebih banyak membawa durjana daripada manfaat. Tapi, lihat kita sekarang! Berdiri tegak sebagai sebuah bangsa. Ekonomi kita sudah bangkit, bahkan bank-bank yang dulu begitu tinggi hati tahun 1998, sepuluh tahun kemudian meringkuk malu ketika kita tidak tersentuh krisis keuangan global berikutnya. Kita sudah selamat, melalui ancaman kiri dan kanan, tanpa campur tangan asing. Kita masih disini, saudaraku, adalah bukti kemuliaan Allah, penyertaan Allah atas bangsa ini.
Untuk itu, apa yang perlu kita lakukan selanjutnya? Mulailah berpikir dan bertindak seperti orang merdeka! Janganlah lagi berpikiran sebagai orang terjajah. Memerdekakan pikiran jauh lebih sulit daripada memerdekakan tubuh: ingat, Tuhan Allah hanya perlu waktu semalam untuk memerdekakan fisik Bangsa Israel dari Mesir, tetapi Ia butuh 40 tahun untuk memerdekakan jiwa mereka. Kita tidak perlu menunggu selama itu, karena prinsipnya sudah diberikanNya untuk kita pelajari.
Mulailah bertindak sebagai orang merdeka. Uruslah sandang, pangan, dan papan. Bangunlah jalan-jalan dan pelabuhan. Kobarkan semangat kemerdekaan melalui pidato, kata-kata yang menyegarkan, dan olah raga. Ingat, seperti yang Tuhan Allah lakukan, kita perlu ingatkan diri kita berulang-ulang, bahwa kita sudah merdeka. Terakhir, wujudkanlah kemerdekaan kita dalam peranan yang lebih aktif dalam percaturan hidup dunia. Tunjukkanlah, bahwa Indonesia – negara yang merdeka ini – selalu menjunjung tinggi asas kemerdekaan sejati, tanpa standar ganda dan kepentingan lainnya. Tunjukkanlah, bahwa toleransi dan kekeluargaan kita sudah menang melawan pertempuran panjang dengan ekstremisme dan individualisme. Tunjukkanlah, bahwa dengan senyum dan keringat, serta berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, kita sudah merdeka. Dan akan merdeka terus, sampai selamanya.
Tomang, 17 Agustus 2011
Wednesday, December 29, 2010
Kapan Terakhir Anda Bangga Jadi Orang Indonesia?
Katakan saja sejujurnya: kapan terakhir kali Anda BANGGA jadi orang Indonesia?Bagus kalau masih ingat, tapi kebanyakan pasti sudah lupa. Kalau ditanya, kapan terakhir kali Anda MALU jadi orang Indonesia? Pasti semua lancar menjawab! Waktu Mas Gayus tertangkap basah menonton tennis dengan wig-nya yang belah tengah itu, waktu kita tidak berdaya melihat TKW kita disiksa diluar negri, dan lain-lain. Sangat mudah untuk MALU jadi orang Indonesia bukan? Susah bangganya!
Nah, inilah salah satu lagi jasa kalian, wahai Timnas Sepakbola Indonesia. Kalian berhasil membuat sekian banyak orang BANGGA menjadi orang Indonesia! Di kawasan Niaga Sudirman Jakarta, di Bekasi, Bandung, bahkan Surabaya dan Jayapura; atau di dunia maya, Twitter, Facebook, Blackberry Messenger; saya melihat jutaan nuansa merah putih di sana-sini, dengan tulisan yang menggetarkan jiwa: Garuda di dadaku. Lihatlah food court di mall yang baru saja saya kunjungi: berbagai orang dari berbagai lapisan masyarakat, yang kulitnya coklat, putih, kuning, hitam, jerawatan atau bahkan penuh burik, semuanya campur baur menonton perjuangan kalian. Tidak ada satupun yang berani menarik bayaran, atau meminta kita membayar tiket. Kan kita semua sama: orang Indonesia! Kursi food court yang biasanya jadi rebutan kini dibagi dengan ramah, bahkan beberapa orang yang tidak saling mengenal duduk semeja nonton bersama. Kok bisa? Karena kita sama-sama BANGGA jadi orang Indonesia!
Dan itu semua adalah jasa kalian, Timnas Sepakbola Indonesia! Kalian memberi alasan bagi kami untuk BANGGA jadi orang Indonesia!
Hingar-bingar ini mengingatkan orang pada Piala Dunia di Jerman tahun 2006. Banyak orang di Indonesia tidak menyadari bahwa Jerman juga memiliki krisis identitas, krisis nasionalisme. Nasionalisme Jerman dalam Perang Dunia II pernah menjadi sebuah bentuk yang menakutkan dibawah kekuasaan Partai Nazi-nya Adolf Hitler. Sejak itu, orang Jerman seringkali merasa ‘malu’ menjadi orang Jerman. Walaupun negara Jerman kini adalah negara supermaju dengan ekonomi superkuat, tapi krisis identitas itu tetaplah ada. Nama ‘Jerman’ selalu melekat pada ‘Nazi’ sehingga segala setiap warga Jerman takut untuk menyandang nasionalisme Jerman, tidak bangga menjadi orang Jerman.
Piala Dunia 2006 di Jerman mengubah semuanya. Olah raga, khususnya sepak bola yang memang populer di Jerman, menjadi jawabannya. Tiba-tiba, dengan sarana sepak bola, orang Jerman boleh berbangga lagi menjadi orang Jerman. Bendera Jerman berkibar-kibar di seluruh negri, di mobil-mobil, dan kaus Timnas Jerman marak dimana-mana. Saya yang berkunjung ke Jerman pada waktu itu beruntung bisa melihat eforia yang positif ini. Bahkan saya baru tahu salah satu rekan saya ternyata orang Jerman, dari bendera yang tertancap di jendela mobilnya. “Yes, I am German!” katanya BANGGA. Tidak ada lagi ketakutan karena diasosiasikan oleh Nazi. Yang ada hanya kebanggaan sebagai penyelenggara Piala Dunia, walaupun hanya jadi pemenang ketiga setelah Jerman kalah dari Italia di Semifinal. Namun, berkahnya luar biasa, membuat orang Jerman bisa BANGGA lagi jadi orang Jerman.
Inilah juga berkah yang dibawa oleh Timnas Sepakbola Indonesia, membuat kita BANGGA jadi orang Indonesia!
Dengan ini, teriring juga pesan untuk para pemimpin negri ini. Lihatlah rakyatmu yang sudah begitu haus dengan nasionalisme! Lihatlah semua orang yang berbaur menjadi dua warna: merah dan putih, walaupun dalam sebuah even lingkup ASEAN saja! Lihatlah rakyatmu yang sudah bosan MALU mendengar berita-berita miring tentang negrinya, dan begitu rindu untuk BANGGA jadi orang Indonesia! Dan penampilan Timnas Sepakbola Nasional tahun ini berhasil menjawab kerinduan itu. Bagaimana caranya? Gampang: dengan bersungguh-sungguh!
Lihatlah kesungguhan Alfred Riedl dalam mengatur tim-nya. Lihatlah kesungguhan Irfan Bachdim, Gonzales, Nasuha, M. Ridwan, dan kawan-kawan, begitu mereka melihat jutaan orang mendukung mereka di kursi stadion. Saya yakin, walaupun Gonzales disogok milyaran rupiah untuk mengalah pada timnas Malaysia, atau Bambang Pamungkas disogok berkilo-kilo emas untuk membuat gol bunuh diri ke gawang Indonesia, tidak ada yang bergeming. Bahkan supporter pun tidak terpancing menggunakan laser di Senayan. Mengapa? Karena kesungguhan mereka, nasionalisme mereka, BANGGA-nya mereka menjadi orang Indonesia! Inilah benteng anti korupsi, benteng anti nepotisme, benteng anti kolusi yang sudah kita lupakan: NASIONALISME!
Ingat, bahwa bangsa ini dibangun hanya bermodalkan nasionalisme. Sebelum 1945, kita belum jadi satu bangsa. Kita terpecah-pecah, tersebar di ribuan pulau yang sulit berkomunikasi satu sama lain. Kita terbelah, kiri-kanan maupun atas-bawah. Namun, dengan hentakan pidato Bung Karno, serta gelombang pemikiran brilyan para bapak bangsa kita, jutaan manusia penghuni ribuan pulau ini bisa bersatu dibawah panji Indonesia. Bukan hanya itu, bahkan gerombolan manusia ini berani mendeklarasikan diri sebagai berbangsa satu, bertanah air satu, Indonesia! Lebih gilanya lagi, rombongan massa ini bisa membuat bahasa-nya sendiri: Bahasa Indonesia, yang kemudian digunakan oleh lebih dari 240 juta orang Indonesia. Sadarkah Anda? Kita satu-satunya bangsa di dunia yang berhasil membuat bahasa sendiri, tidak mencontek Inggris atau Belanda! Padahal, apa sih pengikat kita sebenarnya? Hanya sama-sama bekas jajahan Belanda! Lihatlah: berangkat dari sebuah ‘bekas jajahan’, nasionalisme berhasil membawa Indonesia menjadi sebuah bangsa. Itulah dahsyatnya nasionalisme!
Jadi, wahai pemimpin negri, kembalilah ke akar bangsa ini, kembalilah ke apa yang membuat kita kuat: Nasionalisme! Gaungkanlah semangatnya dimana-mana melalui olah raga. Uruslah sepak bola dengan benar, bulu tangkis harus terus dibina, semua cabang olah raga harap digarap dengan becus. Dan, kobarkanlah semangat nasionalisme dengan kata dan tindakan. Niscaya, bukan saja piala AFF atau Piala Asia, bahkan Piala Dunia-pun akan bisa kita raih. Mengapa tidak? Masakan dari 240 juta orang Indonesia kita tidak bisa menemukan 11 orang yang bisa main bola sampai juara?
Ayo teruskan perjuangan kalian Timnas Indonesia! Ingatkan lagi pada kami, betapa BANGGA-nya jadi orang Indonesia!
Jakarta, 29 Desember 2010