Friday, November 20, 2009

[Resensi buku] Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando

” Bila jarum jam bisa diputar kembali, saya tetap memilih profesi sebagai tentara. Dalam pengabdian untuk bangsa dan negara, di dalam organisasi militer tidak ada pengelompokan. Kalau sampai terjadi pengelompokan-pegelompokan itu bukan militer profesional”
Epilog, hal. 475.

Kalau di Indonesia ada Pulitzer Prize, buku biografi yang satu ini pasti bisa menang. Sayangnya, perhargaan sastra di Indonesia masih sangat jarang, sehingga buku ini hanya terkenal di masyarakat karena pengungkapan Letjen TNI (Hor) Sintong Pandjaitan, sebagai penasehat keamanan dan ’orang dalam’ di pemerintahan presiden BJ Habibie, tentang peristiwa kerusuhan Mei 1998. Padahal, dari semua biografi yang pernah saya baca, buku ini adalah salah satu yang terbaik dari segi penulisan maupun jurnalistik. Dibandingkan dengan buku ‘Andrew Jackson, The American Lion’, karya Jon Menacham yang memenangkan Pulizer Prize tahun ini, menurut saya hanya beti alias beda tipis saja!

Pencapaian ini tak lain adalah karena kepiawaian Hendro Subroto, sang penulis buku ini. Hendro ternyata bukan orang sembarangan: beliau adalah seorang wartawan perang yang sudah berkecimpung di dunia jurnalistik sejak tahun 1964. Beliau adalah jenis wartawan yang sangat langka di Indonesia - wartawan yang bukan berhadapan dengan pentungan satpam atau dorongan polisi, melainkan dengan desingan peluru sungguhan dan todongan senjata betulan. Beliau mengenal Sintong dengan baik karena sering diterjunkan ke lapangan bersama Sintong, seperti dalam Penjelajahan Lembah X di Papua.

Ada dua kekuatan Hendro dalam penulisan buku ini: pertama dalam melukiskan situasi secara detail dan akurat, sehingga kita seolah-olah berada bersama Sintong dan pasukannya ketika mengejar Kahar Muzakkar, ketika tersesat di Lembah Baliem, atau ketika mengamati pembebasan pesawat Garuda ‘Woyla’ yang dibajak di Bangkok. Karena memang pernah terjun langsung ke lapangan, Hendro sangat piawai dalam membeberkan detail teknis, memberikan gambaran mengenai suasana, serta menjelaskan runut peristiwa, dalam suatu situasi dimana hitungan detik bisa terasa seperti berjam-jam.

Contohnya, ketika Hendro menuliskan tentang kisah penangkapan pemberontak DI/TII Kahar Muzakkar. Kita hanya mengenal Kahar dari pelajaran sekolah dulu - bahwa beliau adalah pemberontak yang kemudian tertangkap. Siapa sangka, bahwa kisah penangkapannya di Sulawesi Tenggara begitu dramatis. Setelah dikejar berminggu-minggu, dengan kekuatan penuh Angkatan Darat, Brigjen TNI M. Jusuf pada waktu itu menjanjikan pada pasukan yang bisa menangkap Kahar Muzakkar akan diangkut dengan pesawat AURI untuk pulang ke kesatuannya. Sebuah janji yang sederhana, namun sangat berarti bagi prajurit yang biasanya harus menempuh perjalanan berjam-jam lewat laut dan darat, sebelum sampai ke daerah penugasan di Sulawesi. Kahar Muzakkar begitu licin, sampai-sampai pada akhirnya beliau melarikan diri ke hutan-hutan di Sulawesi Tenggara. Ketika salah satu satuan prajurit pengintai menyusuri Sungai Lasolo, ia mendengar sayup-sayup lagu ’Terkenang Masa Nan Lalu’ dari Radio Malaysia. Tahulah ia, bahwa di dekat situ pasti ada Kahar Muzakkar, karena hanya Kahar yang boleh memiliki kemewahan sebuah radio transistor dalam tendanya. Akhirnya, diiringi lagu itupun, Kahar meregang nyawa, tertembak ketika sedang mengambil granat untuk menyerang balik. Walaupun bukan kesatuan Sintong yang menangkap Kahar, namun Hendro menuliskan cerita ini sebagai sebuah kelengkapan cerita. Kisah-kisah heroik yang sesungguhnya seperti ini sebenarnya harus lebih banyak lagi di-ekspos ke masyarakat, daripada mencari pahlawan-pahlawan semu dari layar sinetron.

Kekuatan Hendro yang kedua adalah pengetahuannya di bidang teknik kemiliteran. Dengan fasih, Hendro bisa menjelaskan spefisikasi teknis, kekurangan dan kelebihan sebuah kehikopter, tank, atau senapan yang digunakan pada saat itu. Dengan demikian, Hendro bisa memberikan penjelasan yang rinci dan detail mengenai apa yang terjadi dan mengapa. Contohnya, ketika Sintong bersikukuh untuk mencoba senapan Hekler & Koch MP5 SD-2 yang baru datang dari Jerman, sebelum memimpin operasi pembebasan pesawat Garuda ‘Woyla’ yang dibajak di Bangkok.

Saat itu, yang dihadapinya adalah Letjen TNI Benny Moerdani, yang terkenal kegarangannya dalam sejarah militer Indonesia. Namun, dalam satu situasi itu, Sintong menunjukkan keteguhan seorang prajurit - juga seorang Batak - dalam mempertahankan pendapatnya. Ternyata ia benar - senjata yang baru itu ternyata macet, dan Hendro menjelaskan bahwa kemungkinan karena udara di Indonesia begitu lembab, peluru dari Jerman yang sudah lama berada di senjata tersebut berkarat sehingga macet. Setelah mendapatkan mengganti peluru, barulah mereka berangkat, dan kemudian berhasil membebaskan pesawat Garuda dengan operasi pembebasan yang dramatis, di bawah tatapan kagum mata dunia internasional. Apa yang terjadi bila ternyata senapan yang digunakan dalam operasi sergap tersebut macet? Tidak terbayangkan!

Catatan yang juga menarik adalah mengenai mekanisme dalam ABRI, yang juga dikenal baik oleh Hendro Subroto. Aturan baku mengenai rantai komando, struktur intelijen ABRI, serta intrik internal diantara perwira, terjalin menjadi kisah yang asyik dibaca. Pada akhirnya, intrik ABRI tidak ada bedanya dengan pergulatan karir dalam sebuah perusahaan swasta, dan seorang Jenderal pada hakekatnya adalah seorang manajer. Kepatuhan mutlak prajurit kepada atasannya, yang sering dipandang khalayak umum sebagai suatu kelemahan dibanding demokrasi terbuka, ternyata adalah suatu kekuatan penting ABRI, dan alasan mengapa organisasi ABRI bisa bergerak jauh lebih cepat, efektif, dan gesit, dibanding sebuah institusi demokratis. Inilah yang dipraktekkan oleh Cina, sehingga ekonomi mereka maju begitu cepat dan pesatnya.

Mengenai gerakan reformasi 1998, Sintong sebagai seorang militer memiliki sebuah pandangan yang sangat bijak. Selama ini, saya selalu berdebat dengan rekan-rekan orang asing ketika membandingkan peristiwa Tiananmen di Cina dan Gerakan Reformasi 1998 di Indonesia. Gerakan reformasi di Indonesia seringkali dicap sebagai gerakan anarkis, yang menjerumuskan Indonesia ke dalam jurang kemunduran dan kekacauan. Sementara tindakan represif militer Cina di Tiananmen dianggap sebagai sebuah ‘tindakan yang tepat’, walaupun memakan korban jiwa. Saya sendiri selalu beranggapan bahwa reformasi Indonesia - meski berdampak negatif terhadap ekonomi - namun adalah hal yang benar, karena demokrasi dijunjung tinggi di Indonesia, sementara di Cina - walaupun ekonomi maju - tidak mementingkan demokrasi.

Namun, Sintong berpendapat lain, bahwa walaupun militer Cina melibas habis gerakan Tiananmen, namun semangat perjuangan Tiananmen justru diadopsi dan diteruskan oleh mereka. Semangat bekerja bagi negara, anti korupsi, dan memakmurkan rakyat, walaupun tidak secara demokratis, diteruskan oleh pemerintah dan militer Cina. Bisa saja pemerintah dan militer Cina berkembang menjadi diktator kejam, tapi tidak. Di Indonesia, justru para reformis yang meninggikan diri sebagai demokratis, yang kemudian menghancurkan ideologinya sendiri dengan berbagai kepentingan pribadi, KKN, dan korupsi. Bahkan sekarangpun, kita masih bergelut dengan musuh yang sama - walaupun dalam era yang berbeda. Dan, sang musuh nampaknya justru menjadi lebih kuat dari sebelumnya!

Buat saya, yang paling menarik dari buku ini adalah kisah kepahlawanan Sintong. Sudah lama, generasi saya hanya mendengar caci-maki dan sindiran sinis mengenai ke-Indonesiaan dan menjadi Indonesia. Bahkan, seperti sudah disebutkan diatas, masyarakat kini begitu rindu akan nilai-nilai kepahlawanan, sampai-sampai mencari pahlawan semu di layar televisi dan sinetron. Padahal, dalam sejarah kita, banyak kisah kepahlawanan seperti diceritakan dalam buku ini. Bagaimana pasukan khusus Indonesia, yang masih dipandang sebelah mata di dunia, bisa membebaskan para sandera dalam pembajakan pesawat Garuda ‘Woyla’ di Bangkok. Bagaimana seluruh insan negara Indonesia bahu membahu memenangkan Pepera Irian Barat, sehingga Papua bisa masuk ke pangkuan Ibu Pertiwi. Bagaimana pemberontakan demi pemberontakan bisa ditumpas, dengan semangat nasionalisme yang membara.

Semua itu dapat dicapai karena insan-insan yang berkecimpung di dalamnya, bekerja dengan sangat kompak, sungguh-sungguh, tanpa ambisi pribadi, demi tegaknya NKRI. Alangkah ironisnya jika kita bandingkan antara Pemenangan Pepera Irian Barat dengan lepasnya Timor Timur dari Indonesia - betapa taktik yang sama bisa memberikan hasil yang begitu berbeda, karena hilangnya kemurnian niat dan kesungguhan hati membela negara dalam pelaksanaannya. Kita butuh kisah-kisah seperti ini - agar kita bisa merasa percaya diri lagi sebagai orang Indonesia. Agar kita sadar, bahwa Indonesia pernah bisa, dan akan bisa lagi, asalkan ada hasrat murni dari dalam hati demi tegaknya bangsa dan negara Indonesia!

Harry Nazarudin

Saturday, November 7, 2009

Indonesia Harus Berani Menjadi Sempurna

“I come from the country where it is OK to be mediocre. Infact, pursuing perfection is seen as something unusual”
Agnes Monica, dalam wawancara dengan Channel News Asia mengenai usahanya mencapai kesempurnaan dalam industri musik.

Pertama-tama, saya terkejut melihat Agnes Monica di televisi asing. Selain Agnes, mungkin hanya Anggun, orang Indonesia yang namanya bisa berkibar di dunia musik internasional. Namun, yang membuat saya lebih terkesan adalah komentar Agnes tentang Indonesia, negara asalnya. Ia menjelaskan bahwa ia ingin mencapai kesempurnaan dalam industri musik, baik dari kualitas suara, kualitas video klip, maupun manajemennya. Namun, usahanya ini harus dilakukan dengan ekstra keras, karena menjadi sempurna bukanlah prioritas bagi kebanyakan orang Indonesia. Dan, ketika saya renungkan, Agnes benar.

Saya tersenyum sendiri mengingat komentar rekan saya ketika menyaksikan sebuah acara di Discovery Channel tentang sulitnya melakukan pengeboran minyak di lepas pantai sebuah negara Skandinavia. Betapa rig-nya harus dibuat di pelabuhan yang jaraknya jauh, lalu ditarik dengan kapal laut berkelok-kelok melewati lekukan fjord, melawan badai dan ombak, sampai mencapai tujuan. “Wah, kalau di Indonesia, kalau ditanya apakah minyak di pantai bisa diambil, jawabnya pasti: susah Pak! Cari tempat lain saja!” begitu kata teman saya sambil terkekeh. Begitu pula dengan proyek-proyek raksasa seperti kereta bawah tanah, membuat pesawat A-380, dan lain-lain. Semuanya dianggap sebagai proyek ‘gila’, yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Padahal, justru Indonesia-lah yang menjadi pelopor proyek ‘gila’ tersebut.

Waktu negara-negara Asia masih baru saja lepas dari belenggu penjajahan, sebuah eforia melanda kawasan ini. Negara-negara seperti India, Burma, Malaysia, Singapura, Taiwan, bahkan Cina, yang sudah merasakan pahit getir penjajahan, kini menjadi merdeka. Bangsa yang dididik kerdil sejak lahir - selalu diajarkan bahwa mereka - kita - berada sederajat lebih rendah dari sang penjajah, sederajat lebih bodoh, dan sederajat lebih kotor, mendadak merdeka. Dan Soekarno, Bapak Bangsa Indonesia, berada di barisan paling depan. Beliau menyadari betul apa yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa ini: kesetaraan. Bangsa-bangsa ini harus mendobrak batasan-batasan feodal yang diturunkan penjajah, dan membentuk sebuah identitas baru.

Maka, mulailah Indonesia menjadi pelopor. Dengan usaha sendiri - walaupun terseok-seok - tentara Indonesia berhasil merebut Irian Barat dari Belanda. Kemudian dibangunlah proyek-proyek mercusuar seperti Monas, Jembatan Semanggi, dan Air Mancur Bundaran HI. Mengapa disebut mercusuar? Karena Soekarno melihat Indonesia sebagai mercusuar - sebuah menara tinggi yang memancarkan cahaya, memandu kapal-kapal lainnya agar tidak tersesat dalam kegelapan! Bukan saja bangunan, tetapi juga program-program serupa, seperti Konferensi Asia Afrika, Ganefo, dan lain-lain!

Kalau kita berbicara dengan orang-orang yang hidup di era 1950-an, mereka akan masih ingat, bagaimana imaji dunia internasional terhadap Indonesia pada waktu itu. “Indonesia” kata seorang rekan asal Taiwan, “Dulu jadi pusat perhatian. Jakarta dulu jadi simbol kemajuan Asia!” katanya bersemangat. Ya - kita pernah bisa seperti itu. Monas dan Semanggi dibangun jauh sebelum Shanghai, Seoul, atau Bangkok mulai membangun proyek-proyek seperti itu. Jadi, kita bisa! Bukan hanya Monas, tapi mahakarya bangsa kita seperti Borobudur dan Prambanan - yang tidak kalah dengan Angkot Wat atau Great Wall, menjadi saksi bahwa sebenarnya Indonesia bisa.

Lalu, apa masalahnya? Mengapa kita sekarang kelihatannya sulit untuk maju? Bahkan untuk mempertahankan satu-satunya mahkota kita, kejayaan di olahraga bulutangkis - itu saja begitu sulit. Ya - karena bangsa ini lupa, bagaimana menjadi sempurna!

Dalam masyarakat kita sekarang ini, ada rasa pesimisme yang begitu besarnya. Rasa pesimisme ini begitu besarnya, sampai-sampai menjadi penghalang utama kemajuan bangsa kita. Bahkan hutang IMF yang dulu rasanya menggunung itu, kini telah lunas. Tapi, rasa pesimisme sebagai akibat dari eforia reformasi, masih belum sirna juga. Rasa inilah yang membuat kita menjadi bangsa gampangan - maunya yang gampang-gampang saja. Susah sedikit saja, maka proyek-proyek ini menjadi terbengkalai karena dicap sebagai ‚terlalu susah’. Lihat saja proyek jalan tol - dimana-mana nampak palang-palang beton yang berkarat tak terurus, sebagai simbol kemandekan kita. Padahal, di negara-negara seperti Cina, jalanan dibuat dalam hitungan hari saja. Di Indonesia, sudah bertahun-tahun, rugi pula!

Kita sudah lupa bagaimana caranya menjadi sempurna. Toleransi kita begitu besarnya, sampai-sampai orang yang masih berjuang menjadi sempurna sering dianggap ‘gila’. Bagaimana masyarakat umum menilai Ugo Untoro, Garin Nugroho, atau Ayu Utami? Dibandingkan dengan sinetron asal jadi, atau bintang film asal cantik? Bahkan ketika sebuah bank ingin mengedepankan bulutangkis, bukan atlit sungguhan, melainkan bintang sinetron yang jadi simbolnya! Nah, itulah sebabnya. Kita menjadi cepat puas, dan lupa mengejar kesempurnaan. Padahal, strive for perfection - atau kesungguhan mengejar kesempurnaan, adalah kunci kesuksesan sebuah bangsa - bahkan sekecil Singapura sekalipun.

Usaha ini tidak mudah, karena masyarakat sudah terlanjur diserbu oleh semua yang serba instan. Namun, masih belum terlambat! Media harus mengedepankan kisah-kisah orang yang mengejar kesempurnaan sebagai teladan - dari peraih Kalpataru, sampai juara Olimpiade Matematika. Mereka harus menghiasi halaman depan, bukan di paling belakang atau terselip di pojok kecil. Film, mengundang peranan besar. Buktinya, film Laskar Pelangi - yang mengisahkan tentang mengejar kesempurnaan - bisa laku keras! Namun, masih terlalu sedikit genre film seperti itu. Bangsa Amerika adalah contoh bagaimana industri film bisa memupuk nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa Amerika. Perlu kerja sama antara pemerintah dan masyarakat seni, namun hal ini bisa dicapai. Kalau Anda berpikir usaha ini mustahil, mungkin Anda juga dirasuki pikiran ‚asal gampang’. Mari kita raih kesempurnaan dalam mengajar masyarakat tentang arti mengejar kesempurnaan!