Sunday, January 17, 2010

KH Abdurrahman Wahid – Berani Tidak Keren

“Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar – tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati. Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa”
Roma 5:7-8

“Janganlah kamu mencari dan mengikuti kebenaran karena tokohnya, tetapi carilah kebenaran itu sendiri niscaya kamu akan tahu siapa tokohnya”
Ali bin Abi Tholib

Bangsa Indonesia baru saja kehilangan salah seorang putra terbaiknya. KH Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur, meninggal dunia pada tanggal 30 Desember 2009. Biasanya, Gus Dur dikenal di media dengan sebutan ‘bagus, tapi’. Bagus, tapi selalu ada ‘tapi’-nya. Misalnya, pluralis, tapi eksentrik. Jadi presiden, tapi kemudian dijatuhkan oleh MPR. Dikagumi, tapi juga banyak mengundang kritik. Bahkan dalam tulisan-tulisan obituari mengenai dirinya di surat kabar seperti Kompas sekalipun, kekaguman atas Gus Dur selalu diimbangi dengan ke-‘tapi’-an yang tak kalah dominan. Gus Dur memang orang yang dikagumi, tetapi – dengan meminjam istilah beliau yang ‘slengean’ – kurang keren.

Mengapa Gus Dur kurang terlihat keren? Bukan karena beliau posturnya tidak tinggi besar, atau senyumnya kurang menawan. Justru itulah sifat Gus Dur yang paling membuatnya menjadi manusia luar biasa: keberaniannya untuk tidak keren. Keberaniannya untuk nyeleneh, untuk menentang pendapat banyak orang, dan untuk bergerak ke kiri ketika orang sekampung lari ke kanan. Dengan bertindak aneh begitu, seseorang tersebut pasti disebut kurang keren, tidak ikut mode, mau beda sendiri. Tapi, disitulah kualitas agung seorang Gus Dur – perimbangan antara intelektualitas yang jauh melebihi kalangannya dan kekeraskepalaan dan sifat saakelijk a la Jawa Timuran yang sangat kentara.

Coba saja bayangkan: di jaman edan ini, semua orang cenderung ingin terlihat keren. Contohnya adalah pandangan mengenai agama: ngaku saja, untuk menjadi radikal itu jauh lebih keren daripada menjadi moderat, bukan? Apabila berbicara mengenai penyerangan Amerika ke Irak, bukankah lebih keren dan terlihat gagah, jika seseorang berteriak lantang soal kebencian terhadap agama Islam oleh Amerika yang dikuasai Yahudi, daripada sebuah tindakan meredam kekuatan negara berbahaya yang sudah menyerang negara Islam tetangganya secara sepihak? Kalau bicara mengenai golongan Tionghoa, bukankah jauh lebih terlihat perlente berbicara tentang betapa rakusnya orang-orang Tionghoa yang menguasai ekonomi, daripada berbicara tentang betapa orang Tionghoa memperoleh diskriminasi pada jaman Orba sekalipun sudah mengharumkan nama bangsa lewat prestasi di bulutangkis? Ya – akui saja – menjadi radikal, pasti lebih keren!

Dalam kalangan Kristen, radikalisme juga terlihat lebih keren bukan? Ketika bicara mengenai semangat iman, bukankah lebih terlihat rohani jika kita bicara mengenai penginjilan, yang berarti membawa jiwa-jiwa baru alias berusaha mengkristenkan orang yang sudah beragama? Padahal, jangankan menerima jiwa baru, di negara ini orang yang sudah Kristen saja masih banyak yang tidak terurus. Pernahkah Anda melihat kondisi gereja-gereja di Sumba atau di Papua? Kondisi gereja-gereja di pedalaman itu – bahkan nampak juga di lereng Merapi, tidak perlu jauh-jauh ke luar pulau – sangat menyedihkan, dan masyarakatnya bahkan masih kekurangan gizi. Justru merekalah jiwa-jiwa yang harus kita selamatkan – bukanlah Tuhan Yesus berkata, dimanakah kalian pada saat Aku lapar? Lalu, apakah bukan tanggung jawab orang Kristen juga, kalau Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia? Sadarkah Anda, bahwa untuk tidak korupsi saja, iman kita masih terlalu kecil?

Nah, hal-hal begini – yang tentu saja tidak terlihat keren – justru adalah hal-hal hakiki yang benar. Disinilah kekuatan iman seorang Gus Dur – beliau mampu, cukup tangguh, dan sangat berani untuk tidak keren dan tidak populer. Beliau tidak segan membela hak-hak kaum minoritas. Ketika radikalisme menjadi keren, beliau justru teguh mempertahankan pluralisme dan sikap moderat. Moderat yang bukan berarti permisif, tapi inklusif.

Kalau diperhatikan, bukankah itu juga yang menjadi sifat Tuhan Yesus dalam hidupNya? Iapun sangat dibenci oleh orang Farisi dan Ahli Taurat – tokoh-tokoh agama pada masaNya – karena sikapnya yang tidak keren, bahkan cenderung kurang ajar. Mengapa Ia bergaul dengan pemungut cukai? Mengapa Ia mau berbicara dengan seorang perempuan sundal? Mengapa Ia berbicara soal pengampunan dosa yang gratis, tidak melalui korban sembelihan? Mengapa pula Ia berani memetik gandum pada hari Sabat? Ya – Tuhan Yesus juga sangat berani untuk tidak tampil keren. Ia berani berkata bahwa yang miskin itu lebih berbahagia dari yang kaya, yang menyumbang dua perak lebih berarti daripada yang menyumbang emas permata. Ia berani mengobrak-abrik meja dagangan di Bait Suci dan Ia tak segan menyindir para pemimpin agama yang korup. Alhasil, Tuhan Yesus menjadi tokoh yang dibenci oleh para pemimpin agama, tetapi dicintai rakyat. Begitu pula Gus Dur, yang seringkali membuat rikuh para petinggi bangsa, namun bisa membuat seorang petani miskin merasa nyaman duduk selonjoran di halaman Istana Negara.

Jangan marah dulu, saya tidak menyamakan Gus Dur dengan Tuhan Yesus. Saya hanya mengajak Anda untuk merenung, betapa sulitnya meneladani sikap Tuhan Yesus. Dan salah satu contoh manusia yang berhasil meneladani sikap Tuhan Yesus dalam membela yang lemah, selain sederet orang seperti Ibu Teresa dan Mahatma Gandhi, adalah seorang Indonesia kelahiran Jombang, Jawa Timur, yang bernama KH Abdurrahman Wahid. Sikapnya yang berani tidak keren, tidak takut terlihat beda sendiri, dan kegigihannya membela kebenaran, patut menjadi teladan kita semua. Dalam tulisan Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, dituliskan bahwa untuk orang yang baik mungkin ada yang rela mati. Tetapi, untuk orang yang benar, sangat sedikit orang yang rela mati – apalagi untuk orang yang berdosa. Tuhan Yesus rela mati untuk kita yang berdosa. Gus Dur rela pontang-panting kesana-kemari, kadang-kadang mengabaikan kesehatannya sendiri, untuk membela yang benar, meskipun yang benar itu lemah atau tidak baik.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menganjurkan agar kita mengenang Gus Dur bukan sebagai tokoh yang ‘bagus, tapi’, melainkan sebagai tokoh yang ‘bagus, walaupun’. Ia bisa menjadi presiden, walaupun tidak punya gelar doktor. Ia tetap menjadi tokoh yang disegani, walaupun sudah tidak jadi presiden lagi. Ia bisa menjadi seorang kiai yang taat, walaupun tak segan membantu dan membela kaum minoritas. Sayangnya, ia sudah meninggalkan kita, walaupun masih banyak masalah yang menghadang bangsa ini di masa depan. Harapan kita hanya tertuju pada tokoh-tokoh muda yang kini bermunculan. Mudah-mudahan, akan ada seorang pemimpin sekaliber Gus Dur, yang akan muncul ke panggung politik bangsa ini. Mudah-mudahan, Tuhan memberikan kepada kita pengganti Gus Dur, yang sama-sama berani tidak keren. “Ya tunggu aja! Gantinya kan pasti ada!” kata Gus Dur dalam bayangan saya. “Gitu aja kok repot!”

Selamat jalan, Gus Dur!

-Harry Nazarudin-

Catatan: tulisan ini adalah pendapat pribadi murni tanpa muatan politik maupun agama. Jika Anda merasa keberatan, silakan mengirimkan email ke harnaz@gmail.com, supaya kita bisa berdiskusi. Terima kasih!