Thursday, August 18, 2011

Antara Tubuh Dan Jiwa Yang Merdeka



Sebuah perenungan tentang kemerdekaan



The Israelites said to them, “If only we had died by the LORD’s hand in Egypt! There we sat around pots of meat and ate all the food we wanted, but you have brought us out into this desert to starve this entire assembly to death.”
Exodus 16:3
“Therefore, say to the Israelites: ‘I am the LORD, and I will bring you out from under the yoke of the Egyptians. I will free you from being slaves to them, and I will redeem you with an outstretched arm and with mighty acts of judgment.
Exodus 6:6



Merdeka! Senang bukan menyebutkannya? Kata ‘merdeka’ dalam bahasa Indonesia tidak memiliki padanan dalam bahasa Inggris. Terjemahan Inggris hanya memiliki ‘independence’ yang berarti kemandirian, atau ‘freedom’ yang berarti kebebasan. Yang satu berarti bisa menentukan nasib sendiri, yang lain artinya bebas melakukan apa saja. Tetapi, ‘merdeka’ memiliki arti ‘mandiri’ dan ‘bebas’ sekaligus, bahkan lebih dari itu. ‘Merdeka’ juga berarti sederajat, setara, punya kehormatan dan harga diri yang sejajar. Beruntunglah bahasa Indonesia yang memiliki kata ini. Pantas saja, dulu kata ‘Merdeka’ terpampang dimana-mana dan membuat penjajah Belanda terpana – karena menerjemahkannya pun mereka tak bisa!
Tapi, apakah kita sudah memahami arti kemerdekaan yang sesungguhnya? Merdeka bukanlah sesuatu yang indah-indah saja. Merdeka, pada saat didengungkan oleh Bung Karno dan kawan-kawan pejuang pada tahun 1945, adalah sebuah ide gila. Bukankah hidup dibawah penjajahan Belanda itu indah? Lihatlah rel kereta api yang dibangun, jalan raya Anyer – Panarukan. Lihatlah Pelabuhan Sunda Kelapa yang megah, lihatlah bangunan kolonial di Batavia yang indah dan tak kalah dengan negeri Belanda. Lihatlah karya arsitektur art deco tropis dari Schoemaker, dari Vila Isola sampai Hotel Homann. Indah bukan? Ya! Lihatlah pesta dansa-dansi a la Belanda di Harmonie. Tak heran, gaya hidup ini dinamai Mooi Indie – Hindia yang Cantik! Lalu, untuk apa merdeka? Untuk apa bebas? Untuk apa mandiri? Bukankah kita hidup enak dibawah lindungan payung oranye Kerajaan Belanda?



Inilah pertanyaan yang sama yang diajukan oleh bangsa Israel. Sesudah Allah menunjukkan kuasaNya yang luar biasa, dengan memberikan sepuluh tulah kepada Firaun dan negeri Mesir, termasuk meluputkan bangsa Israel dari kejaran Mesir dengan membelah Laut Merah, bukan puji syukur yang Ia dapatkan. Bukan sujud sembah yang Ia terima. Melainkan justru bangsa Israel yang bersungut-sungut! Ya Tuhan, bukankah lebih enak dijajah Mesir? Disana banyak roti dan daging. Disana banyak air. Memang, bangsa Israel dijajah. Tapi, dijajah kan tidak selalu dipecut, bukan? Dijajah juga berarti dijamin oleh penjajah. Tidak perlu memikirkan makan, semua disediakan majikan. Tidak perlu memikirkan infrastruktur, semuanya dibangun oleh majikan. Tidak perlu pusing membeli senjata, perlindungan diberikan oleh majikan. Enak bukan? Kalau sekali-kali dipecut sampai mati, atau disamakan dengan anjing dan dilarang masuk ke kelompok elit, ya itu sudah resiko!



Bukankah kenyataan ini adalah sebuah ironi? Ya, ironi yang begitu nyata. Bangsa Israel, dan Bangsa Indonesia, tidak boleh lupa. Allah memang berjanji menganugerahkan kemerdekaan, seperti yang Ia sabdakan dalam Keluaran 6:6. Ia menjanjikan tanah perjanjian, dimana semua orang bisa hidup sama rata, tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi. Namun, kemerdekaan itu mengandung tanggung jawab! Dengan merdeka, berarti suatu bangsa harus membangun segala sesuatunya sendiri. Suatu bangsa harus mencari makanannya sendiri, membangun jalan-jalannya sendiri, berperang sendiri, dan mempersenjatai diri sendiri. Dalam kisah keluarga bangsa Israel dari Mesir, terlihat berkali-kali bahwa walaupun bangsa Israel sudah keluar dari Mesir secara fisik, namun jiwa mereka masih jiwa bangsa jajahan. Pikiran mereka masih pikiran budak, padahal sudah merdeka. Mereka mau enaknya saja. Dibilang jangan makan manna hari Sabat, masih saja ada yang bandel. Diperintahkan menunggu diberi minum, masih saja bersungut-sungut. Bahkan, belum selesai Musa bercakap dengan Allah, mereka sudah membuat lembu emas dan memujanya! Namun, Allah dengan sabar namun tegas mendidik bangsa Israel untuk memerdekakan pikiran mereka, memerdekakan jiwa mereka. Kejam memang, dan butuh waktu 40 tahun sampai generasi bangsa Israel betul-betul merdeka. Bahkan Musa sendiripun tidak bisa masuk ke Tanah Perjanjian! Begitu kerasnya Allah mentransformasi jiwa sebuah bangsa, dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka. Karena, hanya bangsa merdeka sejati yang mengerti arti kemerdekaan, dan mengisinya dengan kemajuan dan kemakmuran!
Bangsa Indonesia kini sedang menempuh perjalanan yang sama. Lepas dari penjajahan Belanda, kita sudah secara fisik merdeka, namun mental kita masih mental negara jajahan. Kita kelimpungan mengatur keamanan, kesulitan mengatur produksi pangan, dan tertatih-tatih menata ekonomi. Hari-hari dibawah Orde Baru memang menawarkan kemajuan, namun akhirnya bangsa Indonesia jatuh lagi ke dalam penjajahan. Setelah reformasi, kita masih juga tertatih-tatih. Kita masih berusaha mengusir jiwa-jiwa terjajah, dan menggantikannya dengan pikiran-pikiran baru yang lebih bebas. Sudah banyak kemajuan! Seni dan budaya kini bisa dipraktekkan dengan bebas. Media pun bebas, setiap orang berhak dan layak berbicara. Indonesia menjadi negara yang toleran, dengan toleransi yang tidak dipaksakan, melainkan hadir dari lubuk hati setiap rakyatnya yang cinta damai. Bukan berarti tidak ada ancaman – ancaman selalu ada, namun Tuhan Allah senantiasa menyertai perjalanan bangsa kita.



Mengapa demikian? Tuhan kan tidak menurunkan manna untuk kita? Saudaraku, manna itu sudah turun. Dalam bentuk tanah yang subur. Dalam bentuk negara yang tetap bersatu. Dalam bentuk ekonomi yang bisa bangun sendiri tanpa campur tangan asing. Dalam bentuk setiap manusia Indonesia yang sambil tersenyum mengayuh becak atau mendorong gerobak, demi memutar roda ekonomi dan mencari sesuap nasi. Tidak ada negara selain Indonesia yang bisa selamat didera kerusuhan massal seperti 1998, krisis moneter dan melemahnya rupiah secara luar biasa, ataupun diinjak-injak oleh ego IMF yang ternyata lebih banyak membawa durjana daripada manfaat. Tapi, lihat kita sekarang! Berdiri tegak sebagai sebuah bangsa. Ekonomi kita sudah bangkit, bahkan bank-bank yang dulu begitu tinggi hati tahun 1998, sepuluh tahun kemudian meringkuk malu ketika kita tidak tersentuh krisis keuangan global berikutnya. Kita sudah selamat, melalui ancaman kiri dan kanan, tanpa campur tangan asing. Kita masih disini, saudaraku, adalah bukti kemuliaan Allah, penyertaan Allah atas bangsa ini.



Untuk itu, apa yang perlu kita lakukan selanjutnya? Mulailah berpikir dan bertindak seperti orang merdeka! Janganlah lagi berpikiran sebagai orang terjajah. Memerdekakan pikiran jauh lebih sulit daripada memerdekakan tubuh: ingat, Tuhan Allah hanya perlu waktu semalam untuk memerdekakan fisik Bangsa Israel dari Mesir, tetapi Ia butuh 40 tahun untuk memerdekakan jiwa mereka. Kita tidak perlu menunggu selama itu, karena prinsipnya sudah diberikanNya untuk kita pelajari.



Mulailah bertindak sebagai orang merdeka. Uruslah sandang, pangan, dan papan. Bangunlah jalan-jalan dan pelabuhan. Kobarkan semangat kemerdekaan melalui pidato, kata-kata yang menyegarkan, dan olah raga. Ingat, seperti yang Tuhan Allah lakukan, kita perlu ingatkan diri kita berulang-ulang, bahwa kita sudah merdeka. Terakhir, wujudkanlah kemerdekaan kita dalam peranan yang lebih aktif dalam percaturan hidup dunia. Tunjukkanlah, bahwa Indonesia – negara yang merdeka ini – selalu menjunjung tinggi asas kemerdekaan sejati, tanpa standar ganda dan kepentingan lainnya. Tunjukkanlah, bahwa toleransi dan kekeluargaan kita sudah menang melawan pertempuran panjang dengan ekstremisme dan individualisme. Tunjukkanlah, bahwa dengan senyum dan keringat, serta berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa, kita sudah merdeka. Dan akan merdeka terus, sampai selamanya.



Tomang, 17 Agustus 2011