Tuesday, October 28, 2014

Bahasa Indonesia dan Sumpah Pemuda



Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe bertoempah darah  jang satoe, tanah Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia.

Kami poetra dan poetri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia

Soegondo, Batavia, 28 Oktober 1928

 

Sadarkah Anda, bahasa bahasa Indonesia adalah harta yang begitu penting yang kita miliki? Tanah bisa dipecah, bangsa bisa terbelah. Tetapi bahasa tetap menjadi perekat dan pemersatu bangsa, sampai hari ini.

Tahukah Anda, bahwa hanya ada dua negara yang ‘membuat’ bahasanya sendiri di dunia ini: Korea dan Indonesia? Bahasa dan aksara Korea terbentuk selama ratusan tahun, sementara bahasa Indonesia disahkan dan digunakan hanya dalam waktu 69 tahun. Namun, bahasa ini telah memiliki 30 juta penutur asli dan 230 juta penutur saat ini. Luar biasa!

Saya pernah ke India, dimana saya menyaksikan dua orang India hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa mantan penjajah mereka, yakni Inggris. Ketika saya ditemani rekan saya asal Kalkuta untuk terbang ke Tamil Nadu di India Selatan, teman saya sama turisnya dengan saya: di Selatan, bahasanya sudah bukan Hindi lagi. Bahkan tulisannya pun tidak bisa dia baca! Saya bersyukur, bahwa sebagai orang Indonesia, kemanapun saya pergi di Indonesia, saya bisa berbicara bahasa Indonesia.

Tahukah Anda darimana asal-usul bahasa Indonesia? M. Yamin dalam Kongres Pemuda Kedua yang menghasilkan Sumpah Pemuda, berkata bahwa hanya ada dua bahasa yang bisa dijadikan bahasa persatuan: bahasa Jawa dan bahasa Melayu rendah. Kemudian, beliau menyimpulkan bahwa bahasa Melayu rendah atau Melayu pasar inilah yang lebih luas jangkauannya dan lebih cocok menjadi bahasa pergaulan.

Bahasa Melayu sebenarnya berasal dari Sungai Batanghari di Jambi. Kerajaan Hindu-Buddha Malayu pada abad ke-7 Masehi di Batanghari adalah pelopor bangsa Melayu, yang kemudian menyebar sampai ke semenanjung Malaysia. Dari sanalah tumbuh bahasa Melayu Tinggi, yang lebih dekat dengan Bahasa Malaysia sekarang ini. Titik pentingnya adalah pertengahan abad ke-19 ketika Raja Ali Haji dari Kerajaan Riau – Johor membuat kamus pertama untuk Bahasa Melayu, mematenkannya menjadi bahasa resmi sepenuhnya.

Bahasa Indonesia, jelas berbeda dengan bahasa Melayu. Perbedaannya lebih jauh dari dialek Austria, Swiss, dan Jerman Tinggi (hochdeutsch) di Eropa. Semua orang Indonesia paham bahwa kalau ke Malaysia, lebih baik berbicara bahasa Inggris karena kita akan bingung mendengar hari bulan, telepon kecemasan, dan rumah sakit korban lelaki. Jika demikian, pada titik mana bahasa Indonesia dan bahasa Melayu berpisah?

Alkisah, tahun 1928, ketika M. Yamin memaklumkan Sumpah Pemuda, adalah bersamaan dengan periode keemasan sebuah bentuk sastra sempalan Melayu, yakni sastra Melayu Tionghoa. Pada masa ini, setiap bulan terbit cerita bulanan dan satu novel berbahasa Melayu Tionghoa, dari Batavia, Semarang, dan kota-kota lainnya. Walaupun namanya ‘Tionghoa’, namun tidak semua penggiatnya beretnis Tionghoa. Kata ini merujuk pada asal penuturnya yakni orang Tionghoa, namun kemudian diadopsi oleh kaum Pribumi dan memiliki tokoh Pribumi seperti R.M. Tirtoadisoerjo, Semaoen, dan Mas Marco Kartodikromo.

Mengapa disebut Melayu pasar? Karena bahasa ini memang lahir di pasar. Kota multietnis seperti Batavia, tidak bakal bisa berinteraksi jika tidak ada bahasa lingua franca atau bahasa perdagangan. Dan siapakah yang ada di pasar? Orang-orang Tionghoa tentu saja! Kaum yang sejak jaman politik segregasi Belanda diberi tugas mengurus perdagangan. Dan darah sastra dari Tiongkok, meskipun kini sebagian besar tidak lagi bisa berbahasa Mandarin, masih kuat mengalir ketika tahun 1856 Belanda mencabut sensor pers. Maka bermunculanlah koran dan media cetak berbahasa Melayu pasar, yang dimiliki, dan digiati, baik oleh kaum Pribumi dan kaum Tionghoa. Dan dari sinilah mulai tumbuh sempalan bahasa baru: Bahasa Indonesia!

Bagaimana dengan anggapan bahwa bahasa Indonesia berasal dari Kepulauan Riau? Jika Anda pernah ke Riau, Anda pasti mahfum bahwa bahasa daerah di Kepulauan Riau lebih mirip melayu Malaysia daripada bahasa Indonesia. Tapi, ada apa di Kepulauan Riau? Sejak dahulu, dari Natuna sampai Kuala Tungkal, dari Pangkalpinang sampai Tanjungpinang, terdapat titik-titik perdagangan dan jaringan perkapalan yang memiliki banyak populasi orang Tionghoa. Disini antara penggiat melayu Pribumi dan Tionghoa berinteraksi membentuk sebuah bahasa perdagangan, Melayu Tionghoa, atau Melayu Pasar, cikal-bakal bahasa Indonesia!

Jika Raja Ali Haji adalah pahlawan yang mematenkan Bahasa Melayu, lalu siapakah tokoh mirip bagi bahasa Indonesia? Adalah seorang bernama Lie Kim Hok, yang dilahirkan tahun 1853 di Buitenzorg (Bogor sekarang) dan menguasai bahasa Sunda, Melayu, dan Belanda. Beliau merasa terganggu karena varian Melayu yang digunakan di Batavia mulai berantakan tanpa tata bahasa. Untuk itu, tahun 1884 ia menerbitkan sebuah buku 116 halaman berjudul “Malajoe Batawi: Kitab deri hal Perkataan-perkataan Malajoe, Hal Memetjah Oedjar-Oedjar Malajoe dan Hal Pernahkan Tanda-Tanda Batja dan Hoeroef-Hoeroef Besar”. Lie Kim Hok adalah orang pertama yang mematenkan aturan Melayu Pasar, atau disebut Melayu Betawi, dalam sebuah buku tata bahasa, dan membuat terobosan secara linguistik menjadi bahasa baru. Bahasa inilah yang kemudian berkembang menjadi Bahasa Indonesia.

Kita harus bersyukur dan bangga dengan bahasa kita, bahasa Indonesia. Dan melalui sejarahnya, kita menyadari, bahwa terbentuknya Indonesia sekarang adalah hasil dari perjuangan setiap unsur masyarakatnya, tanpa kecuali. Merdeka!

Harnaz281014

Monday, October 27, 2014

Depriyayinisasi Menteri di Indonesia



Seperti biasa, terjadi pro dan kontrak terkait pengumuman menteri Kabinet Kerja Pak Jokowi – Kalla. Ada yang suka, ada yang tidak, ada yang mulai mengkritik dari soal rokok sampai soal gaya bicara yang kikuk. Tetapi, marilah kita melihat dari sisi lain. Ada sebuah terobosan penting yang terjadi pada hari Minggu, 26 Oktober 2014, yakni depriyayinisasi menteri Indonesia.

Secara definisi, priyayi adalah golongan masyarakat Jawa keturunan dari adipati dan gubernur yang ditunjuk oleh Sultan Agung, raja Mataram, pada abad ke-17. Dari sudut aristokrasi Belanda, para priyayi disebut sebagai ‘bangsawan jubah’ (nobles of the robe), yakni orang yang mendapatkan status karena merupakan keturunan dari seseorang yang memiliki jabatan administratif. Mereka selama berabad-abad mendedikasikan hidup bagi pekerjaan administratif dan pemerintahan, bekerja dengan pengabdian kepada Sultan. Prinsip priyayi adalah lebih baik halus daripada kasar, lebih mementingkan batin daripada lahir.

Selama penjajahan Belanda, terjadi perubahan perlahan-lahan terhadap budaya priyayi. Belanda tidak pernah mencengkeram Indonesia kuat-kuat dalam masa penjajahannya. Tetapi, Belanda menggunakan pemerintah lokal – para bangsawan dan priyayi – untuk memerintah. Maka, terjadi pergeseran dalam budaya priyayi. Jika sebelumnya priyayi didasari dedikasi luhur pada Sultan, kini dedikasi adalah untuk Belanda. Belanda pula yang memutuskan, apakah seorang priyayi ‘diangkat’ atau ‘dicopot’.

Dari titik ini, hubungan antara jabatan dan kinerja mulai memudar. Setelah diangkat menjadi pejabat, seorang priyayi ‘disanjung’ oleh sederet fasilitas. Ia dipilih karena trah, bekerja karena anugerah. Ia terlatih untuk berada dalam rata-rata – tidak terlalu menonjol karena akan bahaya jika terlihat Belanda, tidak juga terlalu kejam karena menimbukan protes warga yang sekali lagi akan menarik perhatian Belanda. Memang, ada satu-dua yang berani membela rakyat. Tetapi, mayoritasnya, aman-aman saja.

Inilah ‘menteri’ jaman dahulu. Seorang yang dipilih oleh Presiden karena jasanya pada negara. Sebuah proyek balas budi, setelah berjuang demi kemerdekaan. Sebuah posisi penuh fasilitas yang bisa dinikmati asal adem ayem saja. Tidak perlu capek-capek berprestasi. Sekali lagi, ada satu-dua pengecualian. Tetapi, mayoritasnya adalah program yang mogok dan rencana kerja yang jalan di tempat.

Rekan saya dari Inggris, terheran-heran melihat iring-iringan patwal yang mengawal menteri yang akan menghadiri seminar di hotel tempat kami menginap. “How many police officers are constantly guarding your minister?” katanya. Kami hitung: dua motor di depan, dua motor di belakang, satu mobil Fortuner berisi 4 orang. Delapan! Ini baru patwalnya, belum lagi ‘jajaran’-nya yang hadir beberapa jam sebelumnya. Jika dihitung, bisa 14 orang totalnya! “In the UK, the ministers had to take the Tube to avoid traffic!” kata teman saya yang memang sinis. Tapi, itulah kenyataan di Indonesia.

Sampai, saat Pak Jokowi mengumumkan menteri Kabinet Kerja. Minggu, 26 Oktober 2014. Pak Jokowi memutus tradisi menteri dan kementerian kita, dengan melakukan de-priyayi-nisasi jabatan menteri. Yang ada hanya tim yang siap kerja, seperti kick-off meeting sebuah project. Para menteri – baik politisi senior, cucu mantan presiden, maupun konglomerat terkenal, semua menurut pada presiden, berbaju putih, dan berlari kecil menuju barisan. Siap kerja, tanpa batik mewah eksklusif atau jamuan makan malam indah. Pengumumannya pun dilakukan di halaman – bukan di gedung-gedung mewah seperti biasa. Para menteri tidak sowan ke Bapak Presiden, tetapi memandang Presiden sebagai direktur. Ketika wartawan mau mewawancara direktur, maka Pak Jokowi pun mengarahkan untuk bicara langsung dengan para manajer. Langsung dengan para menteri. Soalnya, kini tugas direktur – Presiden Jokowi – hanya memberikan arahan.

Saya rasa, ini merupakan terobosan yang harus diapresiasi. Kabinet Kerja memutus rantai ratusan tahun yang menghantui kinerja administratif pemerintahan Indonesia. Kini, menteri adalah manajer, pekerja, yang dinilai berdasarkan prestasi dan kinerjanya. Jabatannya tidak dari langit, bukan anugerah, tetapi hasil komitmen, dan harus berprestasi jika ingin mempertahankan jabatannya. Jika, tidak berprestasi, maka – layaknya seorang manajer – bisa dipecat oleh atasannya.

Semoga, terobosan ini disambut oleh para menteri yang berlomba-lomba memberikan kinerja yang baik. Tidak perlu lagi mengandalkan posisi rata-rata, karena sekarang justru yang rata-rata yang akan dibuang!

Selamat bekerja Kabinet Kerja, kami menanti kerja keras Anda semua!

Harnaz - 27102014

Friday, October 3, 2014

Hati-hati Amerikanisasi Demokrasi kita!

Apa itu Amerikanisasi? Bukan, saya tidak berbicara mengenai antek-antek. Saya berbicara soal demokrasi Amerika yang kini sedang rusak, dan resiko rusak ini yang menjalar ke Indonesia!

Kok bisa demokrasi Amerika Serikat rusak? Ya – seperti ditulis oleh William Liddle, seorang indonesianis asal Ohio, dan juga banyak pengamat politik lainnya di AS: demokrasi di negara itu sedang ‘sakit’. Sejak jaman George W. Bush, sampai kemudian Barrack Obama, terjadi trend yang disebut ‘partisan’. Desain demokrasi sebenarnya adalah kekuasaan mayoritas dalam pemilihan umum. Artinya, yang mayoritas berhak memilih pemimpin sendiri sehingga tidak terjadi kekuasaan despot, abadi, atau tirani.

Tetapi, apa yang terjadi kalau tidak ada mayoritas? Kalau setiap pemilu suaranya 40:40 dengan 20 persen saja yang belum memutuskan? Yang 20% ini namanya swing vote. Dan dalam demokrasi yang ‘sakit’, yang menentukan siapa pemimpin masa depan justru 20% ini, dan bukan mayoritasnya!

Mengapa ini bisa terjadi? Memang, Amerika Serikat menganut sistem dua partai saja, Demokrat dan Republik. Tapi, masalah utama yang sangat cepat ‘membusukkan’ demokrasi, adalah semangat partisan. Maksudnya apa? Partisan artinya pemilih – rakyat – memilih partai karena fanatisme semata, bukan karena kinerja, program, atau prestasi. Jadi, salah benar, bejat suci, partai saya adalah A. Dan Partai A selalu terbaik, selalu didukung, apapun yang terjadi. Inilah yang disebut partisan. Semangat demokrasi adalah memilih yang terbaik sehingga kalau fanatik begini, sistemnya tidak akan berjalan.

Terjadilah kemudian apa yang disebut sebagai ‘tirani demokrasi’. Saya pernah mengobrol dengan rekan dari Afrika. Dan saya bertanya, di Afrika banyak negara demokratis, yang mengadakan pemilu rutin, namun tetap dihantui kemiskinan, kekejaman, dan tirani. Mengapa demikian? Dia menjawab, karena sistem demokrasi disana dirusak oleh partisan berdasarkan suku. Artinya, suku membuat partai, dan setiap anggota suku  fanatik memilih partainya. Akibatnya: yang menang pemilu selalu suku mayoritas, betapapun bejat pemimpinnya! Bagaimana jika suku minoritas bosan ditindas? Mereka harus memberontak, membentuk negara baru, dimana mereka mayoritas. Baru bisa berkuasa!

Inilah yang disebut tirani demokrasi, yang bisa terjadi di Indonesia!

Indonesia memang beruntung, tidak memiliki kecenderungan partai sesuku dan sistemnya multipartai. Namun, polarisasi pilpres 2014 yang diwarnai perang media dan urat syaraf politik, yang buntutnya masih kita rasakan sekarang. Jika dulu kita tidak punya oposisi, mengandalkan musyawarah mufakat, kini parlemen kita terkotak dengan jelas dan orang malah bangga dibilang ‘oposisi’ – dan tentu saja beliau akan beroposisi tanpa tedeng aling-aling! Hal seperti ini, belum pernah terjadi di Indonesia, negri musyawarah mufakat. Kondisi ini harus dicegah!

Kita harus ingat, bahwa inti demokrasi adalah memilih pemimpin yang terbaik – tidak berdasarkan suku, agama, fanatisme politik, atau alasan lainnya. Semangat inilah yang membuat negara-negara demokratis menjadi yang termaju dan termakmur di dunia. Tetapi iika ini tidak dilakukan, maka demokrasi tidak berjalan – apapun namanya, bahkan di Negeri Paman Sam sekalipun! Kuncinya, rakyat jangan mudah tertipu mesin media partisan (media yang mendukung fanatisme partai). Tetaplah melihat suatu masalah dengan kepala jernih, dan berpendapat untuk kepentingan kita sendiri. Supaya demokrasi yang kita perjuangkan sepenuh hati ini, tidak rusak sebelum kita nikmati!
 
Mari kita tolak partisan. Kita tolak partai-partaian. Kita tetap satu, mengawasi pemimpin kita yang sedang berkuasa. Dan ingat ketika waktunya untuk memilih - pilihlah dengan bijak! Ingat, di luar sana sekarang, ada yang rela mati demi mendapatkan apa yang kita nikmati sekarang. Mari kita nikmati dengan bijak dan pastikan demokrasi membawa Indonesia gemilang!

Jakarta, 4 Oktober 2014

Harnaz