Wednesday, December 29, 2010

Kapan Terakhir Anda Bangga Jadi Orang Indonesia?

Buat Timnas Indonesia, yang baru saja memenangkan leg kedua, selamat! Bagaimanapun sistem kompetisinya, kalian sudah bisa memenangkan pertandingan 2-1 di Senayan, melewati masa krisis tertinggal 0-1 dan serangkaian kegugupan karena beban dan tuntutan media. Namun, Timnas Indonesia tetaplah menjadi pemenang kali ini. Jangan lupa, timnas punya satu jasa besar lagi di penghujung tahun ini: berhasil mengeluarkan jiwa seorang pemenang dalam diri kita, orang Indonesia!

Katakan saja sejujurnya: kapan terakhir kali Anda BANGGA jadi orang Indonesia?Bagus kalau masih ingat, tapi kebanyakan pasti sudah lupa. Kalau ditanya, kapan terakhir kali Anda MALU jadi orang Indonesia? Pasti semua lancar menjawab! Waktu Mas Gayus tertangkap basah menonton tennis dengan wig-nya yang belah tengah itu, waktu kita tidak berdaya melihat TKW kita disiksa diluar negri, dan lain-lain. Sangat mudah untuk MALU jadi orang Indonesia bukan? Susah bangganya!

Nah, inilah salah satu lagi jasa kalian, wahai Timnas Sepakbola Indonesia. Kalian berhasil membuat sekian banyak orang BANGGA menjadi orang Indonesia! Di kawasan Niaga Sudirman Jakarta, di Bekasi, Bandung, bahkan Surabaya dan Jayapura; atau di dunia maya, Twitter, Facebook, Blackberry Messenger; saya melihat jutaan nuansa merah putih di sana-sini, dengan tulisan yang menggetarkan jiwa: Garuda di dadaku. Lihatlah food court di mall yang baru saja saya kunjungi: berbagai orang dari berbagai lapisan masyarakat, yang kulitnya coklat, putih, kuning, hitam, jerawatan atau bahkan penuh burik, semuanya campur baur menonton perjuangan kalian. Tidak ada satupun yang berani menarik bayaran, atau meminta kita membayar tiket. Kan kita semua sama: orang Indonesia! Kursi food court yang biasanya jadi rebutan kini dibagi dengan ramah, bahkan beberapa orang yang tidak saling mengenal duduk semeja nonton bersama. Kok bisa? Karena kita sama-sama BANGGA jadi orang Indonesia!
Dan itu semua adalah jasa kalian, Timnas Sepakbola Indonesia! Kalian memberi alasan bagi kami untuk BANGGA jadi orang Indonesia!

Hingar-bingar ini mengingatkan orang pada Piala Dunia di Jerman tahun 2006. Banyak orang di Indonesia tidak menyadari bahwa Jerman juga memiliki krisis identitas, krisis nasionalisme. Nasionalisme Jerman dalam Perang Dunia II pernah menjadi sebuah bentuk yang menakutkan dibawah kekuasaan Partai Nazi-nya Adolf Hitler. Sejak itu, orang Jerman seringkali merasa ‘malu’ menjadi orang Jerman. Walaupun negara Jerman kini adalah negara supermaju dengan ekonomi superkuat, tapi krisis identitas itu tetaplah ada. Nama ‘Jerman’ selalu melekat pada ‘Nazi’ sehingga segala setiap warga Jerman takut untuk menyandang nasionalisme Jerman, tidak bangga menjadi orang Jerman.

Piala Dunia 2006 di Jerman mengubah semuanya. Olah raga, khususnya sepak bola yang memang populer di Jerman, menjadi jawabannya. Tiba-tiba, dengan sarana sepak bola, orang Jerman boleh berbangga lagi menjadi orang Jerman. Bendera Jerman berkibar-kibar di seluruh negri, di mobil-mobil, dan kaus Timnas Jerman marak dimana-mana. Saya yang berkunjung ke Jerman pada waktu itu beruntung bisa melihat eforia yang positif ini. Bahkan saya baru tahu salah satu rekan saya ternyata orang Jerman, dari bendera yang tertancap di jendela mobilnya. “Yes, I am German!” katanya BANGGA. Tidak ada lagi ketakutan karena diasosiasikan oleh Nazi. Yang ada hanya kebanggaan sebagai penyelenggara Piala Dunia, walaupun hanya jadi pemenang ketiga setelah Jerman kalah dari Italia di Semifinal. Namun, berkahnya luar biasa, membuat orang Jerman bisa BANGGA lagi jadi orang Jerman.

Inilah juga berkah yang dibawa oleh Timnas Sepakbola Indonesia, membuat kita BANGGA jadi orang Indonesia!

Dengan ini, teriring juga pesan untuk para pemimpin negri ini. Lihatlah rakyatmu yang sudah begitu haus dengan nasionalisme! Lihatlah semua orang yang berbaur menjadi dua warna: merah dan putih, walaupun dalam sebuah even lingkup ASEAN saja! Lihatlah rakyatmu yang sudah bosan MALU mendengar berita-berita miring tentang negrinya, dan begitu rindu untuk BANGGA jadi orang Indonesia! Dan penampilan Timnas Sepakbola Nasional tahun ini berhasil menjawab kerinduan itu. Bagaimana caranya? Gampang: dengan bersungguh-sungguh!

Lihatlah kesungguhan Alfred Riedl dalam mengatur tim-nya. Lihatlah kesungguhan Irfan Bachdim, Gonzales, Nasuha, M. Ridwan, dan kawan-kawan, begitu mereka melihat jutaan orang mendukung mereka di kursi stadion. Saya yakin, walaupun Gonzales disogok milyaran rupiah untuk mengalah pada timnas Malaysia, atau Bambang Pamungkas disogok berkilo-kilo emas untuk membuat gol bunuh diri ke gawang Indonesia, tidak ada yang bergeming. Bahkan supporter pun tidak terpancing menggunakan laser di Senayan. Mengapa? Karena kesungguhan mereka, nasionalisme mereka, BANGGA-nya mereka menjadi orang Indonesia! Inilah benteng anti korupsi, benteng anti nepotisme, benteng anti kolusi yang sudah kita lupakan: NASIONALISME!

Ingat, bahwa bangsa ini dibangun hanya bermodalkan nasionalisme. Sebelum 1945, kita belum jadi satu bangsa. Kita terpecah-pecah, tersebar di ribuan pulau yang sulit berkomunikasi satu sama lain. Kita terbelah, kiri-kanan maupun atas-bawah. Namun, dengan hentakan pidato Bung Karno, serta gelombang pemikiran brilyan para bapak bangsa kita, jutaan manusia penghuni ribuan pulau ini bisa bersatu dibawah panji Indonesia. Bukan hanya itu, bahkan gerombolan manusia ini berani mendeklarasikan diri sebagai berbangsa satu, bertanah air satu, Indonesia! Lebih gilanya lagi, rombongan massa ini bisa membuat bahasa-nya sendiri: Bahasa Indonesia, yang kemudian digunakan oleh lebih dari 240 juta orang Indonesia. Sadarkah Anda? Kita satu-satunya bangsa di dunia yang berhasil membuat bahasa sendiri, tidak mencontek Inggris atau Belanda! Padahal, apa sih pengikat kita sebenarnya? Hanya sama-sama bekas jajahan Belanda! Lihatlah: berangkat dari sebuah ‘bekas jajahan’, nasionalisme berhasil membawa Indonesia menjadi sebuah bangsa. Itulah dahsyatnya nasionalisme!

Jadi, wahai pemimpin negri, kembalilah ke akar bangsa ini, kembalilah ke apa yang membuat kita kuat: Nasionalisme! Gaungkanlah semangatnya dimana-mana melalui olah raga. Uruslah sepak bola dengan benar, bulu tangkis harus terus dibina, semua cabang olah raga harap digarap dengan becus. Dan, kobarkanlah semangat nasionalisme dengan kata dan tindakan. Niscaya, bukan saja piala AFF atau Piala Asia, bahkan Piala Dunia-pun akan bisa kita raih. Mengapa tidak? Masakan dari 240 juta orang Indonesia kita tidak bisa menemukan 11 orang yang bisa main bola sampai juara?

Ayo teruskan perjuangan kalian Timnas Indonesia! Ingatkan lagi pada kami, betapa BANGGA-nya jadi orang Indonesia!

Jakarta, 29 Desember 2010

Tuesday, November 9, 2010

Pertarungan Para Dewa

Kisah ‘Pertarungan Para Dewa’ atau Clash of the Titans adalah salah satu kisah legenda Yunani yang cukup terkenal dan bahkan sudah pernah difilmkan oleh sutradara Hollywood. Kisah ini adalah kisah yang sangat menarik untuk diperhatikan, terutama di masa sekarang ini yang konon katanya penuh dengan bencana dari Tuhan. Kisah ini dimulai dengan sebuah pertanyaan sederhana: mengapa para dewa begitu kejam menyiksa manusia? Mengapa para dewa begitu bengis, memaksa manusia untuk memberikan berbagai macam persembahan, dan sesudah semuanya dipenuhi, toh akhirnya manusia pula yang disiksa dengan berbagai cobaan?

Adalah Perseus, seorang manusia setengah dewa, anak haram dewa Zeus, yang dibesarkan oleh keluarga nelayan yang mengasihinya dengan sepenuh hati. Ia begitu sayang kepada orang tua angkatnya, manusia yang lemah dan ringkih ini, sehingga ia merasa kasihan pada mereka dan justru marah pada dewa. Mengapa orang-orang baik ini, nelayan tak berdosa ini, seolah-olah diperas habis-habisan oleh dewa-dewi di Olympus, yang seharusnya melindungi dan mengasihi manusia? Apalagi, ketika Hades, Dewa Kegelapan, seenaknya mengirimkan bala tentara setan yang tanpa sengaja membunuh orang tua angkat Perseus. Perseus pun murka.

Perseus kemudian bersumpah, akan menggunakan kekuatan manusia – tanpa ke-dewa-annya – untuk membunuh Hades dengan cara menghancurkan Kraken, mahluk mahamengerikan ciptaan Hades yang bisa memunahkan umat manusia. Perseus pun berjuang menghadapi penyihir Stygi, hantu Djinn, bahkan berhasil memotong kepala Medusa, dewi mengerikan berambut ular yang bisa mengubah semua mahluk yang dipandangnya menjadi batu. Sepanjang perjalanan, Perseus terus memperjuangkan kemanusiaannya, dengan sesedikit mungkin menggunakan kekuatan mukjijat, melainkan dengan tipu muslihat dan akal sederhana, sampai ia bisa mengakali para dewa. Toh, Zeus, sang ayah, tidak tinggal diam. Ia mengirimkan Pegasus, kuda bersayap kendaraannya, dan sebilah pedang yang ditempa di Olympus, yang sanggup memenggal kepala seorang dewi seperti Medusa sekalipun.

Tapi, apakah Zeus membantu Perseus dengan melontarkan petir pada setiap lawan yang dihadapinya? Tidak. Zeus duduk memandang dengan cemas di Olympus, berharap Perseus menang. Perseus tidak serta-merta menang dengan kuda terbang dan pedang. Ia harus bertarung, memeras akal, dan melalui gunung-gemunung dan sungai maut untuk mencapai tujuannya. Namun, Perseus akhirnya berhasil. Ia potong kepala Medusa, dan dibawanya ke hadapan Kraken, sehingga Kraken, raksasa mengerikan itu, menjadi batu dan kemudian hancur berantakan. Hidup manusia! Teriak Perseus ketika Kraken yang bersiap menelan semua mahluk hidup, kini menjadi batu yang retak berguguran.

Kisah ini memang sebuah adaptasi, namun mengandung makna filosofis yang cukup mendalam. Pertanyaan pertama masih belum terjawab: mengapa Tuhan merancang begitu banyak bencana bagi manusia? Mengapa semua persembahan dan doa yang dipanjatkan, semua dzikir dan pertobatan yang diteriakkan, kadang-kadang seolah jatuh ke sepasang telinga yang tuli? Toh, gunung tetap meletus, tsunami tetap menerjang, dan badai tetap mengamuk? Inilah titik dasar dari pergumulan dalam kisah ini. Dengan demikian, apakah manusia masih harus berdoa dan bersembahyang? Apakah sudah tidak ada gunanya lagi, memberikan persembahan dan bertobat? Lalu, pertanyaan akhir yang selalu muncul: dengan demikian, apakah Tuhan ada?

Kisah Pertarungan Para Dewa merupakan sebuah kisah yang sangat tepat melukiskan pergumulan ini. Manusia memang tidak bisa bertopang dagu saja – kita perlu seorang Perseus. Seorang pemimpin, yang berani lantang berteriak untuk menantang para dewa. Seseorang yang berani menghunus pedang dan berbuat sesuatu, untuk melawan apa yang terjadi. Bukan dengan doa, bukan dengan dzikir, dan bukan dengan lebih banyak lagi persembahan. Tetapi dengan sebilah pedang, dan semangat kemanusiaan, bahwa apapun masalah yang ada, bisa ditaklukkan: apakah itu kepala Medusa berambut ular yang harus dipotong ataupun Kalajengking Raksasa di padang gurun. Ya: semuanya harus dilawan dengan sabetan pedang, cipratan darah, dan keringat. Tapi, Perseus akhirnya menang!

Perseus memiliki makna berbuat sesuatu. Inilah yang kurang kita lakukan. Setiap kali ada bencana, yang diteriakkan adalah keprihatinan, kesedihan, teriakan dzikir dan doa, memohon pada Tuhan supaya bencana berhenti. Kita seperti Spyros, nelayan ayah angkat Perseus, yang hanya bisa meratap lalu mati ditelan ombak! Bahkan manusia seperti ini, seolah dengan mudah saja ‘menyalahkan’ Tuhan atas bencana yang terjadi, sebagai pelarian untuk lepas tanggung jawab, padahal bencana itu terjadi karena kelalaian sendiri.

Coba ingat ‘bencana’ Situ Gintung yang sebenarnya bukan ‘bencana’, melainkan sebuah kelalaian murni. Lihatlah betapa pemuka agama waktu itu berteriak pada semua orang untuk ‘tabah atas cobaan Tuhan ini’? Ini sama sekali bukan hasil karya Tuhan, bahkan Tuhan bisa tersinggung dengan pernyataan ini. Bukan Dia yang membangun situ, bukan Dia pula yang membangun rumah di jalur situ, dan bukan Dia pula yang bertugas mengontrol keretakan dindingnya! Dia hanya menciptakan hukum Fisika, yang merumuskan bahwa air yang terus menerus ditambahkan pada sebuah bejana berdinding tipis akan mampu menjebol dinding tersebut. Lalu, kita sebut ini ‘cobaan Tuhan’? Mohon maaf – ini murni manusia yang mencobai manusia lainnya!

Lalu bagaimana dengan tsunami, bencana gunung berapi? Untuk ini, kita harus melihat bagaimana prinsip Perseus mendasari pemikiran bangsa Eropa. Di Jerman, saya pernah menghadiri sebuah rapat didalam ruangan yang seluruh dindingnya terbuat dari kaca. Padahal, waktu itu bulan Desember dan angina bertiup kencang sekali. Pohon cemara melambar-lambar, menghamburkan salju yang turun kebawah, sementara di atas tanah sudah ada 40 cm salju yang menumpuk sejak kemarin. Suhu diluar -15oC. Tapi, kami bisa duduk nyaman di ruangan itu. Suhu ruangan 28oC, tak sedikitpun angina dari luar terasa masuk ke ruangan. Padahal, pemandangan indah bisa kami nikmati lewa kaca. Bagaimana caranya? Dengan doa? Dzikir? Persembahan? Tidak! Dengan teknologi. Seluruh kaca terbuat dari silica dengan teknologi tertentu yang anti-pecah, merupakan system kaca ganda dengan gas Argon yang diinjeksikan diantara dua kaca agar hawa dingin terinsulasi. Dinding, penyekat, atap, bahkan tiang penyangga, semua didesain untuk menahan dingin dan menyimpan panas. Inilah pedang Perseus yang ditempa di Olympus. Dengan teknologi, orang Jerman bisa mengalahkan cuaca, sementara orang di Mongolia, Cina, atau India, masih harus meringkuk kedinginan di musim dingin yang tidak sedingin di Jerman hari itu.

Indonesia perlu Perseus – yang tidak menyerah dan berdoa, apalagi menyerahkan tanggung jawab pada Tuha. Indonesia perlu Perseus, yang menggunakan teknologi dan ilmu pengetahuan untuk melindungi diri dari kemungkinan bencana. Bahwa kita lahir di sebuah pulau yang dikelilingi laut dan memiliki gunung berapi di tengahnya, sudah bukan rahasia lagi sejak awal. Lalu mengapa kita masih gelagapan menghadapi tsunami dan letusan gunung api? Karena kita masih Spyros, belum Perseus. Nah, celakanya, Perseus ini harus dating dari Indonesia dan tidak bisa diimpor dari Eropa atau Amerika. Karena, tidak ada satupun Negara di dunia ini yang memiliki gunung api dan garis pantai sepanjang Indonesia. Kita tidak bisa bertanya pada orang Barat atau Jepang atau Cina, bagaimana menghadapi letusan gunung berapi dan tsunami. Teknologinya harus dating dari kita sendiri! Apakah dengan cara mengukur suhu perut bumi, atau dengan mengukur getaran gempa secara tiga dimensi, atau dengan melakukan finite element analysis terhadap pergerakan pelat bumi? Wallahualam. Yang jelas, sesuatu harus dilakukan – seperti Perseus, kita harus berjuang, meneliti, mengeluarkan energi dan dana, untuk melindungi kita dari kemarahan para dewa. Tidak pernah cukup hanya berdoa dan bersembahyang!

Lalu, apakah Tuhan diperlukan? Toh, di kisah ini, Perseus tidak mungkin menang tanpa pedang yang ditempa di Olympus, bukan? Perseus tidak mungkin menang tanpa Pegasus, tanpa bantuan dari Io, maupun tanpa tiga tali keeping Drachma untuk sang pengemudi perahu, bukan? Ya – Tuhan itu ada dan Ia pasti akan bertindak. Namun, jangan berharap Tuhan akan turun dari langit dan membereskan masalah kita semua – hanya karena kita berdoa dan berdzikir. Berdoa bagus, berdzikir apalagi. Tapi, keduanya harus disertai dengan perbuatan – pertempuran, sabetan pedang – supaya perang bisa dimenangkan. Toh, Zeus tersenyum bangga ketika Perseus bisa menyelamatkan manusia dengan usahanya sendiri. Tuhan pun, akan tersenyum bangga jika kita, bangsa Indonesia, bisa menghadapi bencana-bencana dengan rencana teknis dan taktis yang bisa melindungi kita dari fenomena ala mini. Ia justru akan murka, ketika doa dan dzikir dijadikan alat untuk melempar tanggung jawab dari manusia, kepada Tuhan yang tidak bersalah!

Thursday, July 15, 2010

Berdamai Dengan Kematian

Menghadapi kematian memang gampang-gampang susah. Gampang, karena mengucapkan kata 'mati' itu lumrah dalam kehidupan sehari-hari. Kata-kata "Mampus lu!" atau "Mati dah gua..." sering sekali kita ucapkan, baik sengaja maupun tidak, hehe. Bahkan mati seolah-olah menjadi pilihan dalam hidup, seolah-olah sebagai emergency button yang kadang-kadang dengan warnanya yang merah dan bentuknya yang menonjol dengan sexy-nya, menggoda kita untuk menekannya. Padahal, kematian yang sesungguhnya, apalagi yang tidak diduga-duga, sangat lain bentuknya dengan 'mampus' yang kita lafalkan. Kematian yang sesungguhnya sangat berat, karena merupakan sebuah kondisi yang konstan, padahal hidup ini tidak ada yang konstan. Makan, lapar lagi. Kaya, bisa miskin. Mati adalah konstan, sehingga kadang-kadang pikiran kita seolah-olah ditampar berkali-kali setiap kali dia mengecek kenyataan dan mendapatkan bahwa yang mati tetaplah mati dan belum berubah.

Tahap pertama dalam menghadapi kematian pasti adalah menerima kematian itu. Sebenarnya penerimaan ini bukan pilihan - mau tidak mau ya harus diterima. Hanya, memang pikiran dan jiwa manusia butuh waktu untuk me-register dalam prosesornya bahwa yang bersangkutan sudah tidak ada. Pikiran kita berkali-kali mengecek kenyataan, bahkan rasanya tidak akan kaget bila yang sudah meninggalkan kita itu masih mengirim sms atau pesan facebook. Ini adalah sebuah proses yang sangat-sangat melelahkan, karena berkali-kali proses pengecekan dilakukan, berkali-kali pula kita disadarkan akan kepahitan dan kehilangan yang terjadi. Lalu muncul pertanyaan yang paling jahat: mengapa? Dan demikian seterusnya.

Tetapi, Tuhan memang Maha Adil. Beliau sudah menyiapkan suatu sistem dalam jiwa kita yang membuat proses ini tidak berlangsung selamanya. Otak dan hati kemudian akan mulai belajar menerima kenyataan kehilangan tersebut. Hati dan pikiran mulai sedikit rileks, tidak lagi melakukan mengecekan berulang-ulang. Ini berarti kehilangan yang bersangkutan sudah diregister dalam alam bawah sadar kita. Hidup mulai kembali normal, biasanya dalam jangka waktu setahun setelah kehilangan. Saya sendiri merasa heran, betapa besar perbedaan antara setahun sebelum dan sesudah kehilangan. Tuhan memang Maha Adil.

Sesudah bisa menerima, tahap berikutnya adalah hidup dengan kematian. Ini artinya, antara hidup dan kematian berjalan berdampingan. Hati dan otak sudah meregister bahwa yang bersangkutan sudah tidak ada. Hidup berjalan kembali. Matahari terbit dan tenggelam, anak-anak lulus dan pindah sekolah. Tapi, yang bersangkutan tetap tidak ada. Otak sudah tidak teriak lagi, tetapi masih diam. Tidak berceloteh. Hidup diusahakan berjalan tanpa yang bersangkutan. Kalau bisa jangan diingat, kalau bisa ditiadakan. Kalau bisa jangan dibicarakan, supaya hidup tidak terganggu. Tapi, masalahnya, kematian adalah konstan. Mau dicuekin pun, kematian tetap ada di pojok. Menyeringai dengan jahatnya. Begitu kita sedih, begitu otak lelah dan lengah, kematian menelusup masuk. Mengungkit kenangan dan argumen lama. Keluarlah kalimat pengandaian yang paling jahat: seandainya... kalau waktu itu...

Inilah yang disebut hidup dengan kematian. Hidup berjalan, kematian juga berjalan. Berdampingan, sikut-sikutan. Masing-masing berebut perhatian otak dan hati kita. Masing-masing berusaha menarik perhatian nurani dan jiwa kita. Masing-masing teguh berada di tempatnya, membuat kita seolah tercabik di tengah-tengah. Hidup menjadi kosong, karena kita berada diantara hidup dan kematian. Ke kiri tidak, ke kanan tidak. Lama-lama, tenaga akan habis, dan kepahitan akan menaklukkan optimisme kita. Itu kalau kita tenggelam dalam tahap ini, dan tidak berbuat sesuatu untuk maju ke tahap berikutnya!

Apakah tahap berikutnya? Berdamai dengan kematian. Sebuah kata-kata indah yang saya dapatkan dari sebuaj episode Kick Andy di MetroTV. Episode yang mengisahkan keluarga yang ditinggalkan sanaknya ketika menjadi korban jatuhnya pesawat Adam Air beberapa tahun lalu. Trenyuh melihat mereka di TV. Saya baru kehilangan seorang adik saja sudah begini, apalagi ini, satu keluarga seketurunan hilang semua dalam waktu singkat. Namun, judul episode ini membuat saya tersentuh, karena inilah tahap berikutnya. Kita harus berdamai dengan kematian.

Maksudnya berdamai adalah, kenyataan kehilangan bukan lagi dianggap sebuah tabu. Orang yang kita cintai tidak lagi kita simpan dalam-dalam dalam kotak hati yang tertutup rapat, kalau bisa jangan diperlihatkan siapa-siapa. Kenangan-kenangan yang ada kita buang, kita letakkan nun jauh disana, kalau bisa jangan teringat lagi. Ini bukan damai namanya, ini berarti musuhan dengan kematian. Kematian kita anggap musuh, kita jauhkan, kita lupakan. Namun, sudah menjadi sifat kematian yang sangat konsisten. Seringainya tetap tersungging di pojok saja, dan ia akan kembali sejauh apapun kita berusaha menghindar. Ingat, kita selalu berubah, sementara kematian konstan. Ia persisten. Ia tetap disana, sementara kita bolak-balik. Dalam proses bolak-balik ini, pasti satu atau dua kali kita bersenggolan dengan kenangan kematian, dan seringainya sekali lagi melemahkan kita.

Berdamai berarti berjalan berdampingan dengan kematian. Berdamai berarti mengenang orang terkasih sebagaimana adanya. Berdamai berarti tidak menghindar dari kenangan kematian, tetapi bergandengan tangan dan melangkah bersama mengarungi kehidupan. Mengganggap kematian sebagai sebuah kenyataan pahit yang akan membawa berkah, yang sudah terencana. Menerima, bahwa rencanaNya diatas rencana kita. Mengakui, bahwa toh kita semua akan berakhir sama - kita hanya berbeda waktu. Jadi, untuk apa ditangisi? Untuk apa dihindari? Waktu toh sama konsistennya dengan kematian. Waktu toh tidak bisa kita rem atau kita percepat. Waktu kita sendiri, tidak bisa sedetikpun kita percepat atau perlambat. Jadi, nikmati saja! Waktunya akan tiba bahwa kita berkumpul kembali. Kenanglah waktu-waktu yang lalu, bersiaplah menuju waktu yang akan datang, tiba waktunya.

Tuhan memang Maha Adil. Ketika Ia menciptakan kematian yang konstan, ia juga menciptakan waktu yang sama konstannya. Waktu pada akhirnya akan menang, sampai Ia datang untuk kedua kalinya. Untuk apa kita kuatir?

Berdamai dengan kematian berarti menghargai kematian dan kehidupan apa adanya. Berdamai dengan kematian berarti mengenang yang tercinta dengan terbuka, tidak menyimpannya dalam hati. Berdamai dengan kematian adalah langkah terakhir, yang tidak jatuh dari langit, tetapi sesuatu yang harus kita usahakan. Harus kita perjuangkan, dan menjadi pembelajaran besar buat hati kita. Itulah sebabnya banyak sekali jiwa-jiwa besar hidup di tahun 1960-an. Karena, begitu banyak orang pada waktu itu didera kehilangan hebat akibat Perang Dunia II. Lihat apa akibatnya! Mereka keluar sebagai pemenang, jiwa mereka kuat, hatinya teguh, jauh jika dibandingkan dengan generasi sekarang. Itulah manfaat dan kekuatan yang diperoleh dari perdamaian dengan kematian.

Jadi, berdamailah dengan kematian. Jangan musuhi dia, jangan hindari dia. Hadapi dia - jabatlah tangannya. Nicaya seringai sinis itu akan menjadi senyum manis, dan kenangan yang dulu indah, akan menjadi indah kembali.

Toh.... kita cuma berbeda waktu!

3 Tahun Meninggalnya dr. Erina Natania Nazarudin
Kedoya, 15 Juli 2010

Monday, February 15, 2010

On Being 33

“I’m 33 at the moment,

I’m still a man, but you see I’m a they

Kid on the way, babe, a family on my mind…”

‘100 years’ by Five for Fighting

Well, yes, fellas, I officially turn 33 today.

If I think about it, 33 ain’t so bad. And for me becoming 33, it ain’t so bad either. I think I have achieved, thanks to the blessings of the the Lord, more things than most 33-year-olds can achieve.

This year, for example, I have made a step in my career to move into a new position abroad. This brings me out from good old Indonesia, at least officially, to the ever-progressing China. I moved from the sleepy Jakarta suburb by the name of LIPPO Cikarang to a busy suburb of Shanghai, a city called Kunshan. I have established my position in the organization, fought through a painful merger process, and finally decided to start a brand new department, dealing with tissue. From my humble beginnings in oversized working clothes blotted with oil stains and polyurethane splashes in the sleepy town of Karawang, I have turned into an indonesian expatriate (not many of us around) showing up everyday with a suit and a tie in a high-tech office near Shanghai. I talk, discuss, and debate with much older foreigners from a much more advanced countries, in 2 different languages. Sometimes I show myself as a selfish kid who wants to change the world, with baldening hair and a double chin. Short, talks too much, with a loud voice, always seems angry and intimidating when I state my opinion, although really, I am not. That’s just the way it is, if I feel the fire about something. Not bad, for a 33 year old.

From the traveling world, I still kept my promise to visit 2 new islands or provinces every year in Indonesia. This year has brought me to see the city of Balikpapan and Tenggarong in Borneo, my first venture to this island (second, if you count my transit from Manado to Jakarta 2 years ago). I saw Balikpapan’s beautiful moon bear reserve and strange ‘orange durian’ fruit. The second opportunity was Lampung, with a wonderful jungle adventure trip in Way Kambas. I traveled to Japan, the wonderful city of Matsuyama, dipped my bare body in the oldest hot bath in the country. I traveled to South Korea, visiting the serene temple of Daeheung-sa. The crown jewel was of course a visit to the Taj Mahal in Agra, India, which changed my whole perspective on love. New year’s eve was in Singapore, watching the beautiful firecracker show in the Esplanade. Not bad, for the 33rd year of one’s life.

In the hobby world, some achievements have also been made. I wrote several articles to the Jakarta Post after seeing many interesting concerts. One of them was a performance by the Nusantara Symphony Orchestra in Balai Sarbini, Jakarta. One article was also published about my journey through the jungle in Lampung. I continuously write for Jalansutra mailing list, travel reviews of India and Japan, which both receive very warm respond from the forum. After moving to China, I write quite a lot of christian articles, each one replaces every missed visit to the church (either if I am in China or if I wake up too late in Jakarta). All in all, quite well, for a 33 year old while busy traveling the world and working abroad.

From the financial side, it has also been not so bad, although there are still challenges for the future. My house is completely paid for this year, which I learned about after the bank rejected my installment for the mortgage (What was the problem? Why was the transfer rejected? Hello? Oh, all paid for? No more mortgage payment? I tell ya, it takes some getting use to not paying anything after all these years of mortgage installments). Then I applied for a business mortgage, renew the machines of my laundry, refurbished the whole house/laundry, making part of my dream ‘to live in a house that looks and feels just like a room at the JW Marriott Hotel Surabaya’ partly come true (32 inch flat TV, yes, air conditioning, yes, carpet and sofa, naaaah). The laundry is now gearing up to pay the mortgage, still struggling with manpower and low orders. We’ll manage. Not bad, for a 33 year old businessman wannabe.

But still, I am not happy. I know God has blessed me with all these, and I am sure he is smiling now at me, looking down on me, sitting in my room in Tomang, writing on my laptop. Do you want to know, what I think he’s saying? “OK now boy, watcha gonna do?”. That’s that.

Yes, when you’re young, and by ‘young’ I can still gladly say, in the 20-s, the world belongs to you. You have nothing, zero, and can only progress to positive, even with the slightest progress. So, you have nothing to loose! You think you can do something, and you do it. And for someone like me, I think I can do everything. I dare to try, that’s my philosophy. Managing position? Why not! Washing other people’s underwear to earn money? Hell, I can do that! Writing as a part-time journalist? Oh yeah, bring it on. Writing a travel journal? That’s a piece of cake! Have your own business? Come to papa!

So here I am, a most-of-the-time expatriate manager, part-time laundry owner, part-time journalist, part-time travel writer, part-time business owner. All in parts, nothing in wholes!

And when I get to know that Pramoedya Ananta Toer dedicated all of his life to writing, even without pen and paper; that Warren Buffet dedicated his life to investing, even without an inheritance; that Bill Gates dedicated his life to software, even without a degree in computing; I blushed. Here I am, a 33 year old, achieving partly of everything and being really good at nothing. Not good, not good at all.

I remembered in my high school days, when I was in the same situation. I tried to play organ, learn karate, study, and became active in student’s organizations, until I get sick of all of them. Then, I met a bunch of friends who were doing nothing but playing all day, from house to house, from one video game to another. Then I told my mom and dad, that I want to stop trying so hard. I want to relax now, afterall, highschool years come only once in life. I just want to enjoy life, hang with my friends, have fun. I warned them that my performance at school was probably going to slightly slip from the usual no. 8th or 9th. They said, yes, by all means, do it. And I did it. And you know what? My performance was not worse, it was better! My rank was lifted up to 3rd, 2nd, even 1st at times. I excelled far better then I was before, until I was eligible for the best Technical Institute in the country (that was when all the fun stop, though). Anyway, I felt ‘the call of nature’ back then to relax, and just do what I enjoy the most, forget trying to be best at everything, just be excellent at one thing. And I did. And I was.

Now, I am feeling this ‘call of nature’ again. I think, I have to do something. I have to forget trying to be best at everything, and seek out within myself, what I want to do the most. Is it becoming a professional manager with suits and ties? Or an enterpreneur with laundry uniform? Or a writer and a journalist? I believe I have the talents from God to do these things. That’s why, even with so little time invested, I still get good responses. But without focus, it’s nothing. It’s just occasional blogs, without a book, occasional articles, without front-page, occasional manager, without the board. So I have to be serious now, because like high school times, 30-s also only happens once in life. Once I screw up here, I’d be too old for everything, too late for anything, and it’ll be too long to achieve something. I have to stop, tell myself to relax, and do the things I like to do the most, and focus on it. Then, I’d become someone.

What do I want to achieve anyway? An interesting comment came from one of my closest friends. When I told her about my achievements in business life, with salaries, status, and management levels, she smiled. “That’s not what you’re looking for, isn’t it? You are aiming for something else, aren’t you?”. Yes. She is right. I don’t think I want to be remembered as a manager who successfully manage a division until retirement. I don’t think I want to be remembered as a businessman who marvels in cheating banks into giving credits that made me a millionaire. Perhaps, I don’t even want to be a millionaire. What do I want to be then?

I remember back in my university, I was queuing for a payphone in the library (yes, if you turn 33 years old today, you’d remember the day). There was a much older person queuing in front of me, with a simple coat and an old, ugly leather bag. I thought he looked like a postman. But when he picked up the phone and started to talk, I was surprised. He spoke with a very fluent american english, starting with, “Hello, this is Professor Joko. May I speak to…”. My God. When I told this story to my dad, he wisely said, “Son, that man needs no Rolex watch or Louis Vuitton bag to make other people respect him. People respect him for what he is”. Wow. Cool. That, I want to be.

So I guess I’d have to tell my parents, that I am not going to be a millionaire. Maybe not even a rich director of a company. Or at least, I am not going to invest so much time, effort, energy, thoughts, talents, brainpower, attitude, earnest work, willpower, and prayers, to become one. But I will invest all of those to become noble. To be the first indonesian to win a noble prize, either peace or literature (hell, maybe chemistry!). To be remembered as a person, blessed with talents, having a one-track-mind to achieve a single goal, using all of his effort, to be… well… remembered. To leave a mark for the society. To stand for Indonesia. If I’d end up as a millionaire, that’s fine of course. But I won’t spend so much time for money. I want to spend more time for a cause.

That’s that. Happy 33th birthday, Harry Hardianto Nazarudin. May your dreams, come true.

And, yes. Getting married. I know. It’s already late. You’re starting to sound like my parents…..

Tomang, February 12, 2010

Sunday, February 14, 2010

Selamat Tahun Baru Imlek Untuk Yang Merayakan!

Sudah dua bulan berturut-turut Republik Rakyat Cina, termasuk kota Kunshan tempat saya tinggal sekarang, dihajar oleh hawa dingin yang tak terperi. Apalagi dalam masa yang disebut ‘san ciu’, atau 3 x 9, 27 hari sesudah Winder Solstice yang tahun lalu jatuh pada tanggal 22 Desember. Tiba-tiba angin dingin seperti AC busway, bertiup kencang berhari-hari, berbulan-bulan. Suhu langsung jatuh dibawah nol, bahkan mencapai –5 celcius di Kunshan.

Rumah-rumah di Shanghai kebanyakan tidak memiliki radiator penghangat seperti di Eropa. Ini merupakan sisa aturan jaman dulu, karena Chairman Mao mengatakan bahwa radiator (atau boiler) hanya untuk wilayah utara Sungai Kuning. Sementara wilayah Selatan Sungai Kuning dianggap ‘cukup hangat’ sehingga pemerintah tidak menyediakan sarana penghangat, boiler, atau radiator. Memang, tidak seperti Beijing atau Qingdao, suhu di Shanghai tidak pernah lebih dari –10 celcius. Tapi, Shanghai letaknya sangat dekat dengan Sungai Kuning, sehingga termasuk apes gara-gara peraturan ini: dingin iya, tapi belum cukup dingin untuk dibuatkan infrastruktur seperti boilet! 

Akibatnya, musim dingin menjadi sangat menyiksa. Jendela-jendela bocor, tidak dilengkapi penyekat untuk negara empat musim seperti Eropa. Satu-satunya penghangat adalah AC yang meniupkan angin panas, tetapi udara menjadi pengap dan bau. Dan, untuk masyarakat kebanyakan, satu-satunya sumber panas dalam rumahnya adalah kompor! Namun demikian, dengan gigi gemeretak menahan dingin, masyarakat tetap berkegiatan seperti biasa. Naik sepeda dan motor, dalam suhu –5 celcius, angin kencang pula, demi mencari sesuap nasi. Benar-benar ulet orang-orang ini, pikir saya. 

Sampai Senin kemarin, 8 Februari 2010, mendadak seluruh Kunshan diliputi kabut supertebal. Saya bahkan tidak bisa melihat gedung kantor saya dari pagar! Ada apa gerangan, pikir saya. Esoknya, cuaca cerah, dan – bukan sulap bukan sihir – suhu langsung naik dari –5 menjadi +12 celcius! Sejak itu, setiap hari suhu mulai menanjak, karena angin hangat tiba-tiba bertiup kencang setiap hari. Guangzhou sudah +22 celcius,  Kunshan +15, saya sudah bisa melepas sweater waktu tidur dan menyetir dengan jendela terbuka. Selamat datang musim semi! 

Masyarakat pun riuh rendah menyambut tahun baru. Disini, tidak ada kue keranjang, yee shang, atau semua ornamen Imlek yang kita kenal. Yang ada adalah camilan, seperti berbagai macam kacang (pistachio, almond, walnut), dan kue-kue kering, yang biasanya sulit didapat dan cukup mahal, kali ini nampak berlimpah ruah waktu saya masih ke hipermarket Auchan. Chaos dimana-mana: orang berebut kacang, berebut makanan diskon, maklum di Cina segalanya serba besar dan banyak karena jumlah penduduknya yang besar. Banyak petasan dijual, dengan tulisan-tulisan berwarna emas/merah bertulisnya ‘New Year’ dan bergambarkan harimau. Orang-orang sibuk pulang kampung, naik dari jendela kereta api, berebut naik pesawat. Persis suasana libur Lebaran di negri kita! 

Perayaan Imlek memang sudah berubah, didera oleh sejarah dan politik. Di Cina daratan sendiri, ada Revolusi Kebudayaan tahun 1960-an, yang memakan korban lebih dari 30 juta jiwa. Revolusi ini secara sistematik menghancurkan sisa-sisa budaya feodal Cina dan menggantikannya dengan budaya ‘baru’, komunisme. Semua kelenteng, buku, bahkan furniture, dihancurkan, sehingga generasi seumur saya di Cina daratan sudah tidak mengenal lagi apa itu hio, meja persembahan, dan kelenteng. Apa yang dulu ada di Cina daratan, kini masih bisa dijumpai di Taiwan dan Hong Kong, yang relatif tidak terlalu kena dampak revolusi kebudayaan. 

Di Indonesia sendiri, kebalikannya: justru pergulatan politik tahun 1960-an mengakibatkan pemerintahan Orde Baru mengeraskan kepalannya kepada masyarakat Tionghoa di Indonesia. Karakter Cina dilarang, perayaan Imlek selalu didahului oleh surat edaran yang ‘menghimbau’ dan mengajurkan ‘pembauran’. Yang bisa dilakukan, hanya tutup – menutup usaha kami, selama satu hari. Tiba-tiba, di tengah usaha pemerintah waktu itu untuk ‘meniadakan’ kaum kami, mendadak kaum kami ‘tidak ada’ beneran selama satu hari, dan masyarakat begitu kehilangan. Kue-kue favorit hilang dari pasar, toko-toko langganan tutup, bengkel langganan tutup, salon tercinta tutup, bahkan simbok penjaja kue jajan pasar pun ikut libur, karena pabrik kuenya tutup! 

Kini, jamannya sudah berbeda. Terima kasih pada demokrasi, kini Imlek bahkan merupakan hari libur nasional, yang bisa saya banggakan di tempat saya kerja, sebagai simbol kebhinekaan Indonesia. Kami bersyukur, bahwa perayaan Imlek boleh dilakukan dengan bebas. Kue keranjang sudah berevolusi, menjadi makanan Indonesia dengan berbagai bentuk dan variasi. Ikan gurame goreng asam manis, kue lapis legit, dan kue keranjang dengan parutan kelapa, misalnya, menjadi simbol imlek asli Indonesia. Demikian warga Tionghoa lainnya di Malaysia, Singapura, Taiwan, bahkan Toronto dan San Francisco, menemukan caranya masing-masing. 

Kini, orang Tionghoa sudah menjadi diaspora. Yang di Indonesia menjadi orang Indonesia, turut berjuang dan menemukan identitasnya yang baru. Demikian pula di Singapura, juga di Malaysia dan negara-negara lainnya. Bahkan Cina Daratan, yang dulu dijadikan momok sebagai ‘musuh’ karena paham komunisnya, kini menjadi lokomotif ekonomi dunia. Jadi, dinding-dinding ideologi yang dulu dibangun, kini runtuh. Dan, masyarakat Tionghoa perantauan sudah menjadi 100% warga Indonesia, Malaysia, Singapura, dan bahkan Taiwan. Namun, setahun sekali, ijinkanlah kami merayakan Imlek. Bukan untuk menunjukkan bahwa kami berbeda, melainkan sekedar untuk kami mengingat asal-usul kami, mengingat sejarah perjalanan kami. Dan, mengingat, betapa beruntungnya kami menjadi warga Indonesia, sekaligus menyadarkan kami, bahwa kami masih punya satu tugas, yaitu untuk menunjukkan bakti bagi negara dan bangsa Indonesia. 

Selamat merayakan Imlek untuk para JS-ers yang merayakan! Xin nien kuai le, gong xi!

Cheers

Harnaz

Sunday, January 17, 2010

KH Abdurrahman Wahid – Berani Tidak Keren

“Sebab tidak mudah seorang mau mati untuk orang yang benar – tetapi mungkin untuk orang yang baik ada orang yang berani mati. Akan tetapi Allah menunjukkan kasihNya kepada kita, oleh karena Kristus telah mati untuk kita, ketika kita masih berdosa”
Roma 5:7-8

“Janganlah kamu mencari dan mengikuti kebenaran karena tokohnya, tetapi carilah kebenaran itu sendiri niscaya kamu akan tahu siapa tokohnya”
Ali bin Abi Tholib

Bangsa Indonesia baru saja kehilangan salah seorang putra terbaiknya. KH Abdurrahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur, meninggal dunia pada tanggal 30 Desember 2009. Biasanya, Gus Dur dikenal di media dengan sebutan ‘bagus, tapi’. Bagus, tapi selalu ada ‘tapi’-nya. Misalnya, pluralis, tapi eksentrik. Jadi presiden, tapi kemudian dijatuhkan oleh MPR. Dikagumi, tapi juga banyak mengundang kritik. Bahkan dalam tulisan-tulisan obituari mengenai dirinya di surat kabar seperti Kompas sekalipun, kekaguman atas Gus Dur selalu diimbangi dengan ke-‘tapi’-an yang tak kalah dominan. Gus Dur memang orang yang dikagumi, tetapi – dengan meminjam istilah beliau yang ‘slengean’ – kurang keren.

Mengapa Gus Dur kurang terlihat keren? Bukan karena beliau posturnya tidak tinggi besar, atau senyumnya kurang menawan. Justru itulah sifat Gus Dur yang paling membuatnya menjadi manusia luar biasa: keberaniannya untuk tidak keren. Keberaniannya untuk nyeleneh, untuk menentang pendapat banyak orang, dan untuk bergerak ke kiri ketika orang sekampung lari ke kanan. Dengan bertindak aneh begitu, seseorang tersebut pasti disebut kurang keren, tidak ikut mode, mau beda sendiri. Tapi, disitulah kualitas agung seorang Gus Dur – perimbangan antara intelektualitas yang jauh melebihi kalangannya dan kekeraskepalaan dan sifat saakelijk a la Jawa Timuran yang sangat kentara.

Coba saja bayangkan: di jaman edan ini, semua orang cenderung ingin terlihat keren. Contohnya adalah pandangan mengenai agama: ngaku saja, untuk menjadi radikal itu jauh lebih keren daripada menjadi moderat, bukan? Apabila berbicara mengenai penyerangan Amerika ke Irak, bukankah lebih keren dan terlihat gagah, jika seseorang berteriak lantang soal kebencian terhadap agama Islam oleh Amerika yang dikuasai Yahudi, daripada sebuah tindakan meredam kekuatan negara berbahaya yang sudah menyerang negara Islam tetangganya secara sepihak? Kalau bicara mengenai golongan Tionghoa, bukankah jauh lebih terlihat perlente berbicara tentang betapa rakusnya orang-orang Tionghoa yang menguasai ekonomi, daripada berbicara tentang betapa orang Tionghoa memperoleh diskriminasi pada jaman Orba sekalipun sudah mengharumkan nama bangsa lewat prestasi di bulutangkis? Ya – akui saja – menjadi radikal, pasti lebih keren!

Dalam kalangan Kristen, radikalisme juga terlihat lebih keren bukan? Ketika bicara mengenai semangat iman, bukankah lebih terlihat rohani jika kita bicara mengenai penginjilan, yang berarti membawa jiwa-jiwa baru alias berusaha mengkristenkan orang yang sudah beragama? Padahal, jangankan menerima jiwa baru, di negara ini orang yang sudah Kristen saja masih banyak yang tidak terurus. Pernahkah Anda melihat kondisi gereja-gereja di Sumba atau di Papua? Kondisi gereja-gereja di pedalaman itu – bahkan nampak juga di lereng Merapi, tidak perlu jauh-jauh ke luar pulau – sangat menyedihkan, dan masyarakatnya bahkan masih kekurangan gizi. Justru merekalah jiwa-jiwa yang harus kita selamatkan – bukanlah Tuhan Yesus berkata, dimanakah kalian pada saat Aku lapar? Lalu, apakah bukan tanggung jawab orang Kristen juga, kalau Indonesia termasuk salah satu negara terkorup di dunia? Sadarkah Anda, bahwa untuk tidak korupsi saja, iman kita masih terlalu kecil?

Nah, hal-hal begini – yang tentu saja tidak terlihat keren – justru adalah hal-hal hakiki yang benar. Disinilah kekuatan iman seorang Gus Dur – beliau mampu, cukup tangguh, dan sangat berani untuk tidak keren dan tidak populer. Beliau tidak segan membela hak-hak kaum minoritas. Ketika radikalisme menjadi keren, beliau justru teguh mempertahankan pluralisme dan sikap moderat. Moderat yang bukan berarti permisif, tapi inklusif.

Kalau diperhatikan, bukankah itu juga yang menjadi sifat Tuhan Yesus dalam hidupNya? Iapun sangat dibenci oleh orang Farisi dan Ahli Taurat – tokoh-tokoh agama pada masaNya – karena sikapnya yang tidak keren, bahkan cenderung kurang ajar. Mengapa Ia bergaul dengan pemungut cukai? Mengapa Ia mau berbicara dengan seorang perempuan sundal? Mengapa Ia berbicara soal pengampunan dosa yang gratis, tidak melalui korban sembelihan? Mengapa pula Ia berani memetik gandum pada hari Sabat? Ya – Tuhan Yesus juga sangat berani untuk tidak tampil keren. Ia berani berkata bahwa yang miskin itu lebih berbahagia dari yang kaya, yang menyumbang dua perak lebih berarti daripada yang menyumbang emas permata. Ia berani mengobrak-abrik meja dagangan di Bait Suci dan Ia tak segan menyindir para pemimpin agama yang korup. Alhasil, Tuhan Yesus menjadi tokoh yang dibenci oleh para pemimpin agama, tetapi dicintai rakyat. Begitu pula Gus Dur, yang seringkali membuat rikuh para petinggi bangsa, namun bisa membuat seorang petani miskin merasa nyaman duduk selonjoran di halaman Istana Negara.

Jangan marah dulu, saya tidak menyamakan Gus Dur dengan Tuhan Yesus. Saya hanya mengajak Anda untuk merenung, betapa sulitnya meneladani sikap Tuhan Yesus. Dan salah satu contoh manusia yang berhasil meneladani sikap Tuhan Yesus dalam membela yang lemah, selain sederet orang seperti Ibu Teresa dan Mahatma Gandhi, adalah seorang Indonesia kelahiran Jombang, Jawa Timur, yang bernama KH Abdurrahman Wahid. Sikapnya yang berani tidak keren, tidak takut terlihat beda sendiri, dan kegigihannya membela kebenaran, patut menjadi teladan kita semua. Dalam tulisan Rasul Paulus kepada jemaat di Roma, dituliskan bahwa untuk orang yang baik mungkin ada yang rela mati. Tetapi, untuk orang yang benar, sangat sedikit orang yang rela mati – apalagi untuk orang yang berdosa. Tuhan Yesus rela mati untuk kita yang berdosa. Gus Dur rela pontang-panting kesana-kemari, kadang-kadang mengabaikan kesehatannya sendiri, untuk membela yang benar, meskipun yang benar itu lemah atau tidak baik.

Untuk menutup tulisan ini, saya ingin menganjurkan agar kita mengenang Gus Dur bukan sebagai tokoh yang ‘bagus, tapi’, melainkan sebagai tokoh yang ‘bagus, walaupun’. Ia bisa menjadi presiden, walaupun tidak punya gelar doktor. Ia tetap menjadi tokoh yang disegani, walaupun sudah tidak jadi presiden lagi. Ia bisa menjadi seorang kiai yang taat, walaupun tak segan membantu dan membela kaum minoritas. Sayangnya, ia sudah meninggalkan kita, walaupun masih banyak masalah yang menghadang bangsa ini di masa depan. Harapan kita hanya tertuju pada tokoh-tokoh muda yang kini bermunculan. Mudah-mudahan, akan ada seorang pemimpin sekaliber Gus Dur, yang akan muncul ke panggung politik bangsa ini. Mudah-mudahan, Tuhan memberikan kepada kita pengganti Gus Dur, yang sama-sama berani tidak keren. “Ya tunggu aja! Gantinya kan pasti ada!” kata Gus Dur dalam bayangan saya. “Gitu aja kok repot!”

Selamat jalan, Gus Dur!

-Harry Nazarudin-

Catatan: tulisan ini adalah pendapat pribadi murni tanpa muatan politik maupun agama. Jika Anda merasa keberatan, silakan mengirimkan email ke harnaz@gmail.com, supaya kita bisa berdiskusi. Terima kasih!