Wednesday, October 28, 2015

Sumpah Pemudi Pemuda



Saya beruntung bisa hadir dalam salah satu konser yang diadakan oleh Cordana Youth Choir, yang dipimpin oleh Ibu Aida Swenson, putri dari Alfred Simanjuntak. Pak Alfred adalah ‘A Simanjuntak’ yang mengarang lagu ‘Bangun Pemudi Pemuda’, sebuah lagi perjuangan yang sangat terkenal terutama pada hari ini, 28 Oktober.

Saya ingat waktu itu Pak Alfred sudah sepuh, dan ketika didaulat untuk menjadi dirigen di salah satu lagu yang dinyanyikan oleh Cordana Choir. Pak Alfred berjalan tertatih-tatih dari kursi VIP di belakang menuju panggung di depan, tangga yang berderet-deret menjadi tantangan berat beliau untuk mencapai panggung. Namun ketika sampai di depan, Gedung Usmar Ismail mendadak riuh rendah oleh tepuk tangan hadirin, yang kagum atas perjuangan dan dedikasi beliau untuk musik Indonesia.

“Inilah Pak A Simanjuntak, yang mengarang lagi Bangun Pemuda Pemudi” kata MC. Dan Pak Alfred lalu mengangkat tangannya untuk protes. “Salah! Bukan ‘Bangun Pemuda Pemudi’, tetapi ‘Bangun Pemudi Pemuda’!” tukasnya dengan mata berapi-api. “Karena pemudi itu lebih penting dari pemuda!” lanjutnya, yang langsung disambut oleh tepuk tangan hadirin yang lebih meriah.

Tahun ini, baiklah kita mengingat bahwa definisi bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu, adalah berlaku untuk semua golongan baik mayoritas maupun minoritas yang beridentitas sama: Indonesia. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 diadakan di gedung Katholieke jongelingen bond atau Gedung Pemuda Katolik. Walaupun sejarah mencatat penggagas dan pengurusnya semuanya pemuda, tapi tercatat Sumpah Pemuda dimulai dengan ‘Kami, poetra dan poerti Indonesia’. Berarti, ada sejumlah pemudi yang turut hadir dan berteriak Indonesia!

Di jaman kekinian yang semakin terpolarisasi ini, masyarakat kita menjadi terkotak-kotak. Penggunaan gedung untuk ibadah, pemilihan kepala daerah wanita, bahkan polarisasi kampanye presiden saja bisa menjadi tembok yang seolah-olah memisahkan saya dengan Anda, dia dan mereka. Begitu mudah kita bersimpati pada satu golongan ketika berita diskriminasi (yang belum tentu benar) digaungkan. Dan kita malah menambah gaungnya – dengan me-retweet atau share di Facebook. Alhasil, kita menambah tinggi tembok virtual yang membatasi diri kita dengan sesama bangsa Indonesia.

Sumpah Pemuda, mengingatkan kita akan identitas mulia yang ditatah di dalam setiap jiwa bangsa Indonesia sejak tahun 1928. Bahwa kita tidak meributkan ras dan agama, kita tidak malu menjabat tangan saudara yang berbeda penampilan dan kelas sosial, karena kita memiliki identitas yang sama. Apakah itu? Bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Berbangsa yang satu, bangsa Indonesia. Dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Apakah kita masih bertumpah darah satu? Apakah kita masih berbangsa satu? Dan yang paling urgent: apakah kita masih menjunjung tinggi bahasa persatuan? Please dech, kalo gitu... Yuk kembali ke Indonesia!

Jangan lagi bilang 'Damn, I love Indonesia'. If you are indonesian, then say: "Sialan, saya cinta Indonesia!"

Memperingati Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2015


Harnaz

Saturday, February 14, 2015

Kiat Agar Proyek Mobnas Bisa Sukses

Mobil VW beetle tahun 1966, dari Wikipedia

Sekali lagi, kita heboh soal mobil nasional. Dalam rangka ini, sebuah TV Nasional menayangkan dokumenter soal sejarah ‘mobnas’ kita. Muncullah wajah ganteng berkumis, dengan sebuah mobil yang dulu akrab dengan kita. Bentuknya ya biasa saja, cenderung jelek. Lalu, sederet ‘usaha’ lainnya dari berbagai perusahaan yang semuanya tersedak, batuk, atau pingsan sebelum jadi.

Seperti apa maunya mobil nasional kita? Kerja sama dengan tetangga, atau saudara tua? Saya punya satu masukan agar mobil nasional kita berhasil. Saya memang bukan siapa-siapa, tetapi sudah punya pengalaman berkelana ke negara yang punya mobnas keren dan laris manis.

Saya ingin mengingatkan para politikus, pelaku usaha otomotif, para pemimpin negara, para pembuat keputusan, yang semuanya orang Indonesia seperti saya, yang rindu bahwa bangsa yang besar ini bisa produksi mobil sendiri. Saya ingatkan , bahwa syarat pertama untuk mobil nasional kita bukanlah yang murah. Bukan yang terjangkau. Bukan pula yang punya merek baru atau aneh2. Bukan pula yang kerja sama dengan tetangga. Syaratnya apa?

MOBIL NASIONAL KITA HARUS BAGUS!!!

Sadar kan? Di negara yang kadang2 masih feodal ini, kata ‘bagus’ bukanlah kaya pertama yang muncul ketika bicara mobil nasional. Yang ada adalah kata ‘murah’, ‘terjangkau’, ‘irit’. Singkat kata, jelek!

Negara ini punya penyakit lama yang kadang suka kambuh, bahwa yang murah itu ya wajar kalau jelek. Kalau mau bagus, ya harus mahal. Wajar kalau rakyat yang bayar murah menyabung nyawa loncat dari kopaja di jalur Busway setiap pagi. Wajar kalau rakyat yang bayar murah antri sampai koma di puskesmas. Murah kok mau enak!! Begitu kan? Jadi, begitu jugalah mobil nasional kita. Dicari, didesain, direkayasa, supaya murah, merakyat dan… Juelekk!

Mari kita bandingkan dengan mobnas paling sukses di dunia: Volkswagen beetle alias VW kodok. Namanya saja ‘mobil rakyat’ – Volkswagen. Mobnas Jerman ini diproduksi sampai 21 juta unit, dan sampai sekarang menjadi kultus. Kok bisa?

Ide mobnas Jerman ini lahir tahun 1933 di Berlin Motor Show. Penggagasnya adalah Kanselir Jerman waktu itu, Adolf Hitler, yang menginginkan setiap orang di Jerman punya mobil atau traktor. Lalu, apa dia bikin yang jelek dan murah? Tidak! Tanpa tanggung2, beliau memanggil Ferdinand Porsche, salah seorang desainer mobil terbaik pada jaman itu, dan memberikan kontraknya pada Mercedes-Benz di Stuttgart, yang sudah menjadi pusat industri otomotif Jerman. Lalu, dibangunlah sebuah pabrik di Fallersleben, yang kemudian menjadi Wolfsburg, yang menjadi kantor pusat VW sampai hari ini. Jelas bahwa Hitler memilih desainer terbaik, membangun pabrik terbaik, sehingga hasilnya pun luar biasa.

Bahkan pada saat Hitler dan segala kekejamannya kemudian terguling, VW beetle menjadi simbol ‘kebanggaan’ Jerman yang tersisa. Justru produksi VW beetle paling tinggi di masa sesudah 1945 sesudah perang usai, sehingga mencapai 21 juta unit dan menjadi platform mobil yang paling banyak diproduksi di dunia. Karena mobil ini terkenal handal, berkualitas, dan bagus. Keluarga Porsche sendiri kemudian mendirikan perusahaan baru, khusus mobil sport masih dengan basis desain yang sama! Hebat bukan?

Coba liat deretan mobnas kita. Asal tahu saja, orang Indonesia – baik kaya atau biasa saja – tidak suka barang jelek, walaupun murah! Ingat, disini adalah asal pemeo ‘biar tekor asal sohor’. Jadi, jangan heran kalau mobil rakyat nasional yang jelek kemudian terpuruk di pasar. Emang kita siapa, enak aja, dikasih barang jelek?

Buatlah mobil nasional seperti Kijang Innova. Atau Honda CRV. Atau bahkan Ferrarri sekalian! Jadi jika kita melihatnya, dan bisa bangga. Orang lain juga bisa berdecak kagum. Ini lho, buatan Indonesia. Bukan mobil jelek asal murah...

Salam, 

Harnaz


Thursday, February 5, 2015

Cintailah Presidenmu!



“Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian”

Soekarno

Yogyakarta, 19 Desember 1948. Pelabuhan udara Maguwo, Yogyakarta. Taruna Kasmiran, yang bertugas menjaga Bandara Maguwo, sudah gugur di pagi hari beserta setengah kompi pasukannya, ketika mendadak diberondong senjata Belanda. Jam 5.45, 9 pesawat Mustang dan 5 pesawat Kitty Hawk milik Belanda membombardir bandara Maguwo. Kolonel D.R.A van Langen diberi tugas memimpin 2600 pasukan Belanda dengan perintah yang jelas: “Tangkap Soekarno dan seluruh kabinet ilegal-nya”. Tidak sudi Belanda menyebutnya ‘Presiden’. Negara yang baru lepas dari kekejaman Hitler ini, rupanya tidak belajar, malahan ingin berlaku sama kejam pada negara jajahannya. 

Pasukan Kol. van Langen akhirnya mencapai Gedong Agung, tempat Presiden Soekarno baru saja menyampaikan salam perpisahan pada Jenderal Sudirman yang pergi bergerilya. Ajakan untuk ikut bergerilya ditolak oleh Presiden. Beliau kuatir, jika Presiden Republik Indonesia kabur menghilang ke hutan, maka lenyap pula hakikat bangsa Indonesia itu sendiri. Maka, seperti Sri Sultan yang menghadapi Kol. van Langen dengan dada tegap, Presiden Soekarno pun diborgol bak pesakitan dibawah senyum sinis pasukan van Langen.

Presiden – lembaga kepresidenan – adalah lembaga terpenting di Indonesia. Sebelum ada KPK, kepolisian, DPR, Tim Sembilan, KPU, dan lain-lain, yang ada hanya Presiden dan Wakil Presiden. Embryo bangsa ini lahir dari lembaga kepresidenan. Kita bukan bangsa yang kemerdekaannya adalah hadiah dari penjajah. Kita bukan bangsa yang lahir lengkap dengan proses transisi dan legitimasi. Kita hadir melalui seorang Presiden, yang mampu menginspirasi jutaan warganya untuk setia, mengangkat senjata, dan meregang nyawa demi lahirnya sebuah negara.

Namun, dengan berjalannya demokratisasi yang begitu cepat, lembaga kepresidenan kini mengalami abrasi. Jaman Soekarno, Presiden adalah dewa. Ia pemimpin, ia penginspirasi bangsa. Jaman Soeharto, presiden adalah sakral. Jangankan mengancam pemakzulan seperti sekarang – bisik-bisik miring saja bisa membuat Anda menghilang.

Bagaimana dengan sekarang? Memang, Undang-Undang Pemilu menyelamatkan lembaga kepresidenan dengan membuat rakyat bisa memilih langsung Presidennya, sehingga kesakralannya terjaga. Tapi, lembaga kepresidenan kini nelangsa, karena rakyat yang baru melek politik ini menyandera Presiden dengan segala harapan yang mustahil. Presiden dilecehkan. Presiden dikerjain. Presiden di-bully. Sedikit saja salah, bahkan anggota keluarganya tak luput dicaci publik. Yang lain boleh korupsi. Yang lain boleh brengsek. Tetapi, Presiden suci. Apakah ini adil?

Di tengah isu yang marak soal lembaga kepresidenan akhir-akhir ini, saya hanya ingin mengingatkan – cobalah untuk proporsional dan adil pada lembaga kepresidenan yang kita pilih langsung dan kita cintai bersama. 

Ingat, DPR sudah meluluskan uji kelayakan dan kepatutan bagi seseorang tersangka korupsi oleh KPK. Ingat, Kompolnas mencalonkan seorang calon kapolri yang pernah memiliki rekening gendut, dan kini malah menggantinya dengan seseorang yang sama buramnya. Partai politik yang konon memekik merdeka dan berjuang untuk rakyat, kini berbondong-bondong pura-pura bingung, sementara Presiden berdiri sendirian menghadapi publik. Presiden kembali diancam, bukan oleh Belanda, tapi oleh bangsanya sendiri.

Cintailah presiden kita. Ingatlah bahwa embryo Indonesia, DNA Indonesia, urat nadi dan definisi bangsa Indonesia, dikandung oleh presiden. Bukan DPR, bukan polisi, bukan KPK, bukan partai politik.

“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”

Soekarno

Harnaz, 5 Februari 2015

Friday, January 23, 2015

Salahkan Punjabi Untuk Semua Ini!



Ini adalah sebuah parodi, yang terinspirasi dari televisi. Sedang seru menyiarkan pertarungan dua kadal yang beda nasib: satu cicak, yang lain buaya!

Tapi, yuk sejenak kita renungkan. Coba bayangkan, Anda sudah sukses. Karir sudah penuh bintang. Rekening bank sudah... Yah.... Boleh dibilang chubby. Gak gendut-gendut amat, tapi gak melarat pastinya. Rumah sepuluh. Mobil bejibun. Anak-anak kuliah di Amerika. Harusnya, Anda menjadi orang bahagia, bukan? Sejahtera, duduk ongkang kaki. Ngobrol sana-sini, menikmati hasil merangkak puluhan tahun dari trottoir ke kursi empuk sekarang ini. Sesekali dipanggil seminar, banyak kali diundang nikahan pegawai rendahan. "Apa resep bisa sukses seperti Bapak?" tanya sang pegawai sambil menyeka peluh karena budget cekak tidak bisa sewa AC. "Kerja keras Dik, banyak berdoa, dan pantang menyerah!" begitu meluncur dari balik kumis. Bahagia bukan?

Di alam ideal, maka yang bersangkutan akan tersenyum rela, mandheg pandhito, mundur demi bangsa. Toh lumbung sudah penuh sampai puncak atapnya. Sudahlah, masak satu negara repot gara-gara saya.

Tapi, kok yang kita lihat di dunia nyata nggak begitu ya? 

Maaf, ini bukan salah yang punya kumis atau yang rambutnya cepak. Ini salah Punjabi! Kok Punjabi? Karena semua ide ini datangnya dari sinetron!

Ketika datang tawaran sebuah jabatan, bak adegan sinetron, seorang rekan tergopoh-gopoh membawa berita. "Pak, Bapak akan diangkat jadi pimpinan!". Bayangkan wajah Dude Herlino, terbelalak bangga, dengan senyum. Lalu, muncul suara sambil wajah Dude di-close up. "Asiiik! Aku akan jadi pimpinan! Luar biasa! Aku bisa melakukan apa saja yang aku mau! HAHAHAHA"

Namun, lamunannya membuyar ketika seseorang nyebelin - katakanlah diperankan oleh Eeng Saptahadi - tergopoh-gopoh membawa berita lain. "Pak, pengangkatan Bapak tidak jadi. Malah, Bapak mau dimasukkan ke penjara!"

Wajah Dude pun berubah. Jadi sedih. Takut. Manyun. Cemberut. "Hah? Masuk penjara? Siapa yang menzolimi aku begini? Mengapa bisa begini? TIDAAAAAK!!!"

Adegan berikutnya tentu sang tokoh sedang menunaikan shalat. Berdoa pada Yang Kuasa. 

Setelah itu, lalu ia bangkit, dan mulai lagi ada narasi suara, seiring dengan wajahnya yang mengeras. "Aku tidak boleh menyerah! Jabatan itu adalah hakku! Itu adalah rejekiku! Aku harus melawan!". Biar lebay, ia menonjok tembok sampai tangannya berdarah. 

Maka, iapun berjuang. Menuntut balik. Marah-marah. Mengangkat kepalan keatas, meninju langit sebagai lambang perlawanan. Sikat! Serang! Seorang wanita cantik nampak mengikuti dari belakang. "Aku tahu Mas, kamu pasti bisa..." Bisiknya. Hmmm, dari dandanannya sudah ketahuan, ini orang gak bener nih!

Akhirnya, kisah pun tidak kunjung selesai karena sebelum sidang pertama dimulai, yang bersangkutan jatuh miskin, mendadak buta, lalu masuk rumah sakit, rujuk dengan istrinya, kemudian kembali kaya lagi. Begitu berulang, sampai tidak terasa, lima tahun berlalu!

Apa yang dihasilkan? Bendungan? Jalan? Kereta api? 

Bukan. Putri Yang Ditukar dan Tersanjung 27!

Betul kan apa kata saya. Salahkan Punjabi atas tragedi ini!

Sebuah satir. Kemiripan dengan dunia nyata hanya kebetulan belaka. Sumpah, ini ngarang semua! Foto diambil dari berita2bahasa.com

Harnaz



Wednesday, January 14, 2015

Kelayakan dan Kepatutan



layak 1 /la·yak / a 1 wajar; pantas; patut: berikanlah mereka kehidupan yg --; 2 mulia; terhormat: krn jasanya, dia mendapat kedudukan yg --;--

pa·tut a 1 baik; layak; pantas; senonoh: perbuatan baik itu -- dipuji; tidak -- seorang anak melawan orang tua; diperlakukan dng --; 2sesuai benar (dng); sepadan (dng); seimbang (dng): rumahnya kurang -- dng jabatannya yg tinggi itu; 3 masuk akal; wajar: pd hemat saya tuntutan mereka itu tidak boleh dikatakan tidak --; 4 sudah seharusnya (sepantasnya, selayaknya): orang yg berjasa kpd negara -- diberi penghargaan; penjahat itu -- dihukum seumur hidup; 5 tentu saja; sebenarnya: -- ia tidak sanggup membayar utang krn uangnya sudah habis;


Saya bukan ahli undang-undang dan saya bukan ahli ilmu pemerintahan. Jadi, mustahil saya jika ikut membahas isu hangat pemilihan Kapolri dari sisi hukum maupun ilmu pemerintahan. Yang saya lumayan tahu daripada tempe yang lain adalah soal bahasa. Jadi, ijinkan saya menyajikan sedikit pemikiran mengenai penggunaan bahasa Indonesia dalam drama panggung politik paling mutakhir di Indonesia belakangan ini. 

Saya menyoroti dari kata-kata yang digunakan untuk melukiskan kriteria pengujian calon pemimpin lembaga negara oleh DPR - bahasa Inggrisnya fit and proper test - dalam bahasa Indonesia adalah uji kelayakan dan kepatutan. Nama uji ini menjelaskan hakikat daripada pengujian yang dilakukan - yakni memastikan bahwa calon yang lulus uji adalah orang yang layak dan patut menduduki jabatan tersebut.

Definisi kata layak ada pada bagian awal tulisan ini, yang diambil dari Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (kbbi.web.id). Yang pertama artinya adalah wajar - wajarlah kalau seorang polisi menjadi kepala kepolisian, bukan? Masak seorang nelayan yang menjadi kepala polisi! Kemudian arti lainnya adalah pantas. Jika seseorang memiliki karir yang bagus, memiliki usia yang cukup matang, sudah cukup berpengalaman, maka layaklah ia menjabat. 

Kata layak juga mengandung makna khusus: sesuatu yang mulia, terhormat. Layak bukan saja berarti sedang, tapi lebih: sesuatu yang luar biasa.

Kata patut mirip dengan kata layak, namun memiliki nuansa lain: kesusilaan. Kata 'senonoh' sepadan dengan patut, yang berarti sesuatu yang tidak hanya benar dan mulia, tetapi juga sesuai dengan norma susila. Arti berikutnya adalah sepadan dan seimbang, bahwa kemampuan seseorang seimbang dengan jabatannya. 

Arti kata patut kemudian bertambah: wajar dan masuk akal. Artinya dalam batas kewajaran - walaupun seorang anak jenius usia 12 tahun mungkin layak menduduki jabatan, tapi belum tentu masuk akal atau wajar. Lalu arti berikutnya adalah sudah seharusnya atau sepantasnya: sudah sepantasnyakah sebuah jabatan dipangku oleh yang bersangkutan? 

Kata layak dan patut jauh lebih kaya daripada fit dan proper dalam bahasa Inggris. Dalam kedua kata ini terkandung sebuah ukuran nilai, norma, susila, dan kewajaran. Baik saja tidak cukup, pandai saja tidak bisa. Ada nilai kesempurnaan disana, yang dituntut dari sebuah jabatan. 

Menurut Anda, apakah prinsip kelayakan dan kepatutan terpenuhi?

Salam,

Harnaz