Friday, November 14, 2014

Ganti Nama Koalisi DPR!

 

Kondisi DPR saat ini masih ricuh. Walaupun tuntutan rakyat sudah jelas, bahwa yang diinginkan adalah jabat tangan dan kerja sama, tapi yang ada baru jabat tangannya saja. Kerja sama-nya belum. Bahkan kelihatan sulit sekali, kedua kubu masih saling klaim, saling serang. Sepandai apapun seorang politisi menyembunyikan perasaannya dengan senyum ketika berjabat tangan sambil disorot TV, tetap saja publik bisa melihat keengganan dan kepalsuan senyumnya. Apakah sebabnya bisa sampai begini? Adakah jalan keluarnya?

Ada satu usulan yang sangat mudah dan sederhana yang ingin saya sampaikan. Yakni: ganti nama koalisi DPR, jangan MERAH PUTIH atau INDONESIA HEBAT. Mengapa? Sebegitu pentingnyakah sebuah nama?

Nampaknya, ya. Prof. Daniel Kahneman adalah seorang profesor psikologi yang memenangkan hadiah Nobel 2002 melalui penelitiannya di bidang perilaku manusia dalam kegiatan ekonomi. Dalam bukunya, “Thinking Fast and Slow” (2011, Farrar, Straus and Giroux), Kahneman berbicara mengenai sesuatu yang disebut anchoring. Fenomena anchoring adalah memprovokasi alam bawah sadar melalui sebuah kata atau gambar tertentu, yang kemudian mempengaruhi keputusan seseorang.

Misalnya begini. Pernahkah Anda pergi ke supermarket dengan rencana membeli gula, tetapi membawa pulang dua karton jus jeruk? Ketika sampai di rumah, Anda bingung sendiri. Kenapa jadi beli jus jeruk? Tentu saja – faktor yang mempengaruhi alam bawah sadar Anda sudah tidak ada, karena Anda ada di rumah. Tetapi di supermarket, kebetulan perusahaan jus jeruk menempel gambar besar-besar dimana-mana. Gambar jeruk segar, yang terbelah, oranye mempesona. Tulisannya pun menggoda: “Minumlah jus jeruk, agar tubuh Anda segar seketika!”. Tiba-tiba, Anda merasa haus. Tiba-tiba, Anda kepingin sekali jus jeruk. Inilah kekuatan anchoring!

Tidak hanya dengan gambar, anchoring juga bisa berlaku pada kata-kata. Itulah sebabnya perusahaan periklanan sudah tahu sejak lama untuk menghindari kata-kata negatif dalam iklan. Misalnya, daripada berkata “jangan membuang sampah sembarangan”, lebih baik berkata “buahlah sampah pada tempatnya”. Terasa lebih sopan bukan? Kata “jangan” berkonotasi melarang, galak, sok tahu. Sementara “buahlah” lebih akrab, berupa ajakan, dan mengandung empati.

Ingatkah kita, darimana asal nama MERAH PUTIH dan INDONESIA HEBAT?

Ya – dari pertarungan pemilihan presiden paling sangar sepanjang sejarah Republik Indonesia. Sebuah pertarungan yang diakhiri dengan kemenangan tipis, melalui penyangkalan demi penyangkalan sampai hampir menghentikan ekonomi negara. Pertarungan penuh siasat, yang menempatkan rakyat melawan rakyat, kawan atau lawan.

Apa yang terjadi jika slogan pemilihan presiden yang sudah usai, dan harusnya beres, kini dipakai lagi di DPR? Kata ‘MERAH PUTIH’ akan memprovokasi alam bawah sadar baik sisi kawan maupun lawan, yang dilawan dengan ‘INDONESIA HEBAT’ yang sama buruknya. Padahal, sejak dulu Panwaslu sudah mahfum mengenai efek ini. Itulah sebabnya ada minggu tenang sebelum pemilu, dimana semua slogan, kata-kata kampanye, foto, dan iklan partai dihapus. Supaya pikiran rakyat kembali tenang, tidak dipengaruhi slogan apapun, dan bisa memilih sesuai dengan nuraninya.

Jika Pilkades saja menerapkan minggu tenang, mengapa di tingkat nasional justru slogan pilpres digunakan terus sampai ke DPR? Dengan memori begitu buruk, bagaimana DPR bisa damai jika masih ‘meneruskan’ nama dan perseteruan pilpres yang sudah usai?

Mari kita usulkan untuk mencoba mengganti nama koalisi. Sebuah langkah sederhana yang tidak sulit bukan? Misalnya, KOALISI BERSATU dan pihak lainnya KOALISI KEBANGSAAN. Biar semua benar-benar mulai sesuatu yang baru, dan melangkah bersama dengan identitas baru: sesama anak bangsa yang saling membantu satu sama lain, demi rakyat.  

Harnaz

No comments:

Post a Comment