Thursday, February 5, 2015

Cintailah Presidenmu!



“Bebek berjalan berbondong-bondong, akan tetapi burung elang terbang sendirian”

Soekarno

Yogyakarta, 19 Desember 1948. Pelabuhan udara Maguwo, Yogyakarta. Taruna Kasmiran, yang bertugas menjaga Bandara Maguwo, sudah gugur di pagi hari beserta setengah kompi pasukannya, ketika mendadak diberondong senjata Belanda. Jam 5.45, 9 pesawat Mustang dan 5 pesawat Kitty Hawk milik Belanda membombardir bandara Maguwo. Kolonel D.R.A van Langen diberi tugas memimpin 2600 pasukan Belanda dengan perintah yang jelas: “Tangkap Soekarno dan seluruh kabinet ilegal-nya”. Tidak sudi Belanda menyebutnya ‘Presiden’. Negara yang baru lepas dari kekejaman Hitler ini, rupanya tidak belajar, malahan ingin berlaku sama kejam pada negara jajahannya. 

Pasukan Kol. van Langen akhirnya mencapai Gedong Agung, tempat Presiden Soekarno baru saja menyampaikan salam perpisahan pada Jenderal Sudirman yang pergi bergerilya. Ajakan untuk ikut bergerilya ditolak oleh Presiden. Beliau kuatir, jika Presiden Republik Indonesia kabur menghilang ke hutan, maka lenyap pula hakikat bangsa Indonesia itu sendiri. Maka, seperti Sri Sultan yang menghadapi Kol. van Langen dengan dada tegap, Presiden Soekarno pun diborgol bak pesakitan dibawah senyum sinis pasukan van Langen.

Presiden – lembaga kepresidenan – adalah lembaga terpenting di Indonesia. Sebelum ada KPK, kepolisian, DPR, Tim Sembilan, KPU, dan lain-lain, yang ada hanya Presiden dan Wakil Presiden. Embryo bangsa ini lahir dari lembaga kepresidenan. Kita bukan bangsa yang kemerdekaannya adalah hadiah dari penjajah. Kita bukan bangsa yang lahir lengkap dengan proses transisi dan legitimasi. Kita hadir melalui seorang Presiden, yang mampu menginspirasi jutaan warganya untuk setia, mengangkat senjata, dan meregang nyawa demi lahirnya sebuah negara.

Namun, dengan berjalannya demokratisasi yang begitu cepat, lembaga kepresidenan kini mengalami abrasi. Jaman Soekarno, Presiden adalah dewa. Ia pemimpin, ia penginspirasi bangsa. Jaman Soeharto, presiden adalah sakral. Jangankan mengancam pemakzulan seperti sekarang – bisik-bisik miring saja bisa membuat Anda menghilang.

Bagaimana dengan sekarang? Memang, Undang-Undang Pemilu menyelamatkan lembaga kepresidenan dengan membuat rakyat bisa memilih langsung Presidennya, sehingga kesakralannya terjaga. Tapi, lembaga kepresidenan kini nelangsa, karena rakyat yang baru melek politik ini menyandera Presiden dengan segala harapan yang mustahil. Presiden dilecehkan. Presiden dikerjain. Presiden di-bully. Sedikit saja salah, bahkan anggota keluarganya tak luput dicaci publik. Yang lain boleh korupsi. Yang lain boleh brengsek. Tetapi, Presiden suci. Apakah ini adil?

Di tengah isu yang marak soal lembaga kepresidenan akhir-akhir ini, saya hanya ingin mengingatkan – cobalah untuk proporsional dan adil pada lembaga kepresidenan yang kita pilih langsung dan kita cintai bersama. 

Ingat, DPR sudah meluluskan uji kelayakan dan kepatutan bagi seseorang tersangka korupsi oleh KPK. Ingat, Kompolnas mencalonkan seorang calon kapolri yang pernah memiliki rekening gendut, dan kini malah menggantinya dengan seseorang yang sama buramnya. Partai politik yang konon memekik merdeka dan berjuang untuk rakyat, kini berbondong-bondong pura-pura bingung, sementara Presiden berdiri sendirian menghadapi publik. Presiden kembali diancam, bukan oleh Belanda, tapi oleh bangsanya sendiri.

Cintailah presiden kita. Ingatlah bahwa embryo Indonesia, DNA Indonesia, urat nadi dan definisi bangsa Indonesia, dikandung oleh presiden. Bukan DPR, bukan polisi, bukan KPK, bukan partai politik.

“Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”

Soekarno

Harnaz, 5 Februari 2015

No comments:

Post a Comment