Sunday, September 21, 2014

Bernegara di Jalanan Kita


Kunjungan sahabat saya untuk pertama kali ke Indonesia baru-baru ini membuat saya terhenyak. Mereka berasal dari sebuah negara maju di Eropa, dan kami sudah kenal bertahun-tahun. Saya selalu ‘mengiklankan’ betapa indahnya Indonesia kepada mereka, sampai 12 tahun setelah kami pertama kali berkenalan, akhirnya mereka memberanikan diri terbang ke Indonesia.

Yang membuat saya terhenyak bukan reaksi mereka ketika mencicipi petai goreng atau melihat kawah berasap di Bandung. Tetapi, reaksi mereka terhadap kondisi lalu lintas di Indonesia. Betapapun saya menjelaskan supaya mereka jangan kuatir, bahwa saya sudah bisanya berkendara di neraka ini, tidak membuat mereka nyaman. Motor, mobil, pejalan kaki, mendadak melintas, menerobos... neraka! Metromini berhenti semaunya. “Mengapa minibus itu berhenti? Apakah dia tidak peduli pada mobil yang mengantri dibelakangnya?” tanya teman saya. “Mengapa polisi membiarkannya terjadi?” tanyanya lagi. Saya bingung mau menjawab apa.

Ingatkah Anda, kapan terakhir jalanan kita ‘berwibawa’? Ingatkah Anda, kapan kita berkendara dengan nyaman, polisi ditakuti karena jujur dan menegakkan peraturan, dan lalu lintas teratur rapi? Saya ingat di tahun 1980-an, jalanan kita masih relatif berwibawa. Semua pengendara motor wajib menggunakan helm. Sepeda motor berjalan di jalur paling kiri. Menerobos lampu merah adalah pelanggaran besar. Melawan arus apalagi!

Sekarang, bolehkah saya berargumen, bahwa kemajuan suatu negara bisa dinilai dari lalu lintasnya? Siapa yang tertib, seperti Singapura, Malaysia, Austria, berarti negaranya maju. Yang berantakan, seperti India, Bangladesh, Pakistan, berarti belum maju.  Nah, kalau saya boleh bertanya, apakah Indonesia mengalami kemajuan atau kemunduran sejak tahun 1980-an?

Jika Anda berpendapat lalu lintas tidak penting untuk dibenahi, nanti dulu. Di bawah ini ada beberapa poin mengenai lalu lintas kita yang perlu kita cermati:

1.       Lalu lintas menunjukkan budaya. Apakah Indonesia bangsa yang beradab atau biadab? Mohon maaf, jika menilai dari perilaku bangsa kita di jalan raya, yang terakhir lebih tepat, terutama di kota besar. Kalau ingin menunjukkan Indonesia beradab dan berbudaya, marilah mulai dari jalan raya! Niscaya setiap tamu asing menghargai keteraturan kita, bukan geleng-geleng melihat absennya aturan di jalanan kita.

2.       Jalan raya adalah simbol kewibawaan negara. Dimanakah hadirnya negara dalam kehidupan kita? Diluar urusan setahun sekali seperti KTP atau bayar pajak, negara hadir tiap hari dalam perjalanan kita. Diantara mobil saya dan mobil sebelah, ada negara yang mengatur. Dan, kinerja negara pun paling mudah dinilai dari sini. Jika negara absen di jalan raya, mungkin saja negara sudah tidak ada bagi rakyatnya!

3.       Citra polisi perlu diperbaiki di jalan raya. Ya! Jujur saja, dimanakah Anda paling sering melihat seorang berseragam kepolisian? Densus 88? Brimob? Bukan – polisi lalu lintas tentu saja. Ingin memperbaiki citra kepolisian? Mulailah dari polisi lalu lintas! Disinilah kepolisian memiliki jendela dimana setiap rakyat bisa melihat dan menilainya, setiap hari.

4.       Angkutan umum perlu jadi teladan di jalan raya. Ini yang saya tak habis pikir – mengapa di Jakarta semua bus, metromini, dan kopaja ‘kebal hukum’? Mereka bisa membunuh siapa saja, melempar penumpangnya di tengah jalan, dan tidak ada yang menyentuhnya. Di negara maju, angkutan umum justru adalah teladan penegakan hukum. Merekalah simbol kehadiran negara, simbol tegaknya undang-undang. Apakah segitu susahnya menertibkan bus dan konco-konconya yang sebenarnya dijalankan atau diatur oleh BUMD atau negara?

5.       Galakkan iklan layanan masyarakat berlalu lintas. Terlalu sedikit kita mendengar dan membaca, betapa berbahaya bermotor tanpa helm, betapa merusaknya sikap berteduh semaunya ketika hujan, atau betapa kejinya berhenti sembarangan. Daripada iklan pencitraan, mungkin lebih baik uang negara dialirkan membuat iklan layanan masyarakat untuk perbaikan lalu lintas!

Belakangan ini, dalam politik, terjadi sebuah trend yang kurang menyenangkan. Sikap mengalah, yang menjadi keunggulan politik Indonesia selama puluhan tahun, mulai menghilang. Yang ada adalah sikap ingin menang dengan segala cara, sikap tidak mau mengalah, yang penting saya menang.

Apakah sikap ini terasa familier? Jangan-jangan, seorang pejabat yang biasa berkendara dijaga oleh voorijder yang garang memaki kendaraan lain supaya minggir, merasa beliaulah yang berhak jadi penguasa negara ini. Jangan-jangan, jagoan bermotor yang tadi pagi lebih baik ngotot adu jotos daripada mengaku salah (boro-boro minta maaf), nantinya akan ngotot dilantik jadi pejabat walaupun sudah terdakwa korupsi. Jangan-jangan, kernet bus yang biasa melintas semaunya di Slipi, kelak menjadi pengusaha yang menjadikan OB sebagai direktur demi mendapatkan proyek.

Jangan-jangan, pandangan Radhar Panca Dahana di koran Kompas beberapa waktu lalu salah. Jangan-jangan, sebuah revolusi mental bisa terjadi tanpa proses panjang antar-generasi, namun hanya dengan merevolusi cara kita berkendara. Jangan-jangan, jika rakyat diajar santun di jalanan, jika negara bisa berwibawa tanpa korupsi di jalanan, jika rakyat bisa mengaku salah dan minta maaf di jalanan, revolusi mental bisa bergulir lebih cepat. Atau sebaiknya saya mengganti ‘jangan-jangan’ dengan ‘mudah-mudahan’?

Saran saya sederhana: wahai pemerintah, mulailah jadi teladan bagi rakyat di jalan raya. Jalan raya adalah sekolah bernegara. Jika ingin bernegara dengan beradab, beradablah dulu di jalanan!

Salam,

Harnaz

No comments:

Post a Comment