Saturday, September 27, 2014

Demokrasi dan Intuisi Kita


Kebetulan, tanggal 25 September 2014, saya menonton ulang salah satu film kesukaan saya, berjudul ‘Lincoln’ (2012) yang disutradarai oleh Steven Spielberg. Sepanjang sejarah, sangat sedikit film yang membahas khusus mengenai produk undang-undang, dan ini adalah salah satu yang terbaik. Film ‘Lincoln’ tidak membahas Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat ke 16, melainkan membahas kelahiran Amandemen ke 13 Konstitusi Amerika Serikat, yang kemudian dikenal sebagai undang-undang yang melarang perbudakan.

Film ini menyajikan drama pengesahan amandemen konstitusi di House of Representative (DPR) yang sangat menarik, mirip dengan yang kita saksikan belakangan ini di DPR kita. Bahkan di tahun 1865, strategi perjuangan menuju pengesahan produk perundangan sudah terjadi: ada dua kubu berseteru, ada pelobby, ada transaksi, ada negosiasi. Disinilah keindahan film ini, yang begitu jujur menampilkan sisi busuk dari sebuah proses politik. Busuk, namun menghasilkan produk yang baik.

Dari proses pengesahan Amandemen ke-13, peranan Presiden Abraham Lincoln sangat dominan. Beliau menerima tantangan berat dalam perjuangannya. Fraksinya kalah suara di parlemen, Perang Saudara yang sedang berkecamuk juga menambah bebannya. Tapi, ia dengan gigih memperjuangkan Amandemen ke-13 – bahkan mempertaruhkan reputasinya sendiri dengan ‘berbohong’ mengenai delegasi dari Negara Konfederasi yang ingin berdamai. Apa yang membuat Lincoln begitu gigih memperjuangkan penghapusan perbudakan?

“Intuisi” kata Lincoln ketika berkali-kali ditanya mengenai hal ini. Intuisi, bahwa sebenarnya esensi demokrasi yang dijunjung tinggi oleh Konstitusi Amerika Serikat bertentangan dengan asas perbudakan. Intuisi, bahwa hak yang sama untuk semua warga negara harusnya berlaku juga bagi warga kulit hitam. Intuisi, bahwa kemerdekaan yang begitu kuat diperjuangkan oleh imigran kulit putih Amerika Serikat, harusnya juga berlaku bagi imigran kulit hitam dan semua bangsa. Lincoln kemudian meminta anggota Senat mendengarkan ‘intuisi’ mereka masing-masing sebelum melakukan voting. Apakah perbudakan itu sejalan dengan asas demokrasi yang begitu mereka junjung tinggi, atau berlawanan?

Dengan intuisi inilah kemudian Amandemen ke-13 disahkan tanggal 31 Januari 1865. Ada pro, ada kontra, kondisi riuh, dan kesamaan hak antar ras baru 200 tahun kemudian bisa benar-benar dihapuskan. Tapi, kubu pro-Amandemen menang.

Jakarta, 25 September 2014. Sayang sekali, kita tidak punya Abraham Lincoln, yang rela berjibaku demi tercapainya sebuah idealisme demokrasi. Kita juga tidak punya Thaddeus Stevens, seorang senator yang gigih memperjuangkan amandemen. Yang kita punya adalah usaha Koalisi Merah Putih untuk menggusur pilkada langsung, tindakan walk-out dari Partai Demokrat yang melancarkan tindakan ini, dan diketoknya palu yang mengecewakan rakyat.

Konon, toh demokrasi bisa melalui mekanisme demokrasi. Toh, negara-negara maju lainnya juga menggunakan sistem representasi. Malahan, pilihan langsung melanggar sila ke-4 Pancasila. Apakah benar begitu?

Mari kita bicara mengenai ‘intuisi’ dalam penafsiran demokrasi. Inilah yang menjadi pegangan Lincoln dan Thaddeus Stevens dalam memperjuangkan Amandemen ke-13. Ini pula yang perlu kita pegang dalam menilai keabsahan pilkada langsung. Secara intuitif, apakah pemilihan kepala daerah secara langsung sejalan dengan demokrasi, atau bertentangan?

Demokrasi dalam bahasa Yunani berarti ‘kekuatan rakyat’. Lawan katanya adalah aristokrasi yang artinya ‘kekuatan elit’. Kekuatan rakyat diterjemahkan sebagai kondisi dimana warga negara memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka (http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi). Maka, secara intuitif, semakin definitif warga negara bisa menentukan pilihan pemimpinnya, semakin ideal pelaksanaan demokrasi di negara tersebut. Bukan berarti demokrasi tidak bisa terwujud tanpa representasi – tetapi demokrasi pemilihan langsung adalah bentuk demokrasi yang lebih murni. Karena melalui representasi , elit DPR dan DPRD sangat bisa kemudian berubah menjadi aristokrasi – kekuasaan golongan elit semata.

Tadinya saya berencana menulis artikel untuk melaporkan gilang gemilang kemenangan pilihan langsung rakyat untuk pilkada, dan menyamakannya dengan Amandemen ke-13 Konstitusi Amerika Serikat. Sayangnya, sejarah berkata lain. Mungkin, intuisi para wakil rakyat di Senayan berbeda dengan intuisi saya, seorang warga negara biasa...

Jakarta, 27 September 2014

1 comment:

  1. Sip artikelnya mencerahkan..

    ffilsafatmazhabkepanjen.blogspot.com

    ReplyDelete