Tuesday, August 4, 2009

Esensi sebuah Negara

Baru-baru ini, ada komentar yang membuat saya terhenyak. Asalnya dari salah satu teman saya yang pernah berkecimpung di dunia politik. Ia kebetulan adalah pengritik tajam pemerintah. Ketika diskusi kami menjadi hangat, dia mengatakan satu hal:

„Kalau begitu, ngapain kita mempertahankan NKRI, kalau ternyata NKRI tidak bisa mensejahterakan penduduknya? Negara kan sebuah kontrak sosial, dengan tujuan supaya warganya sejahtera. Kalau tujuan itu tidak tercapai, ya bubarkan saja! Jual saja Sumatera pada Singapura, atau Kalimantan pada Malaysia! Atau, kita lebih baik dijajah lagi saja, asalkan lebih makmur!” katanya dengan keras.

Saya saking terhenyaknya sampai kehabisan kata-kata. Di satu sisi saya tidak mau membantah terlalu keras dan menyebabkan yang bersangkutan tersinggung, tapi di sisi lain saya ingin meledak karena tidak setuju. Namun, bicara dengan seorang politikus begini, saya harus mencari argumen yang tepat. Waktu itu, saya tidak sempat menjawab karena belum menemukan argumen saya. Setelah beberapa hari, barulah saya memahaminya, dan menuliskannya di artikel ini, sekadar sebagai pernyataan pendapat.

Apakah tujuan suatu negara adalah mensejahterakan penduduknya? Dan, apakah jika tujuan itu tidak tercapai, negara tersebut boleh dibubarkan? Jawabannya menurut saya jelas: TIDAK, TIDAK, dan TIDAK!

Pertama-tama, kesejahteraan - yang disini diterjemahkan secara ekonomi - bukanlah satu-satunya tujuan negara. Kalau iya, itu namanya bukan negara, tapi perusahaan. Perusahaan juga kontrak sosial, dimana sekelompok orang bergabung, dengan satu tujuan: menghasilkan kemakmuran (atau keuntungan). Perusahaan ini bisa besar, bisa kaya, bahkan melebihi suatu negara. Perusahaan bisa berkembang melampaui batas wilayah negara, beranggotakan manusia dari berbagai bangsa. General Motors misalnya, perusahaan otomotif AS, memiliki perputaran uang dan jumlah pekerja yang melebihi budget dan penduduk banyak negara. Namun, esensinya tetap hanya satu: menghasilkan keuntungan. Kalau esensi ini tidak tercapai, ya bubar jalan. Tidak ada gunanya mempertahankan perusahaan yang merugi, mau sebesar apapun anggotanya. General Motors pun diumumkan pailit. Jutaan orang, dengan sejarah puluhan tahun, pernah dipimpin manajer terhebat sedunia, punya pahlawan-pahlawan teknologi, namun tetap saja sebuah perusahaan. Begitu rugi, ya tutup saja.

Negara, adalah lebih dari sekedar untung-rugi. Negara adalah identitas, esensi sebuah bangsa. Itulah sebabnya eksistensi negara bisa bertahan walaupun merugi. Kuba, misalnya. Negara komunis kecil ini bertahun-tahun dihantam embargo dan diskriminasi oleh negara tetangganya yang adidaya, Amerika Serikat. Begitu terkucilnya Kuba, sehingga negara ini tidak mampu membangun gedung-gedung, membuat jalan tol, atau membangun bandara supercanggih. Negara kecil ini secara ekonomi merana, namun bangga. Bangga pada pemimpinnya, bangga pada identitasnya. Alhasil, Kuba tetap bertahan, bahkan berkembang dengan caranya sendiri. Kini, Kuba, dengan segala keterbatasannya, punya sistem pelayanan kesehatan terbaik di seluruh dunia. Gratis pula! Pendidikan seni dan budaya berjalan baik, sampai-sampai Kuba menjadi pusat perkembangan musik dan tarian latin. Komoditas yang ada dijaga dengan baik: cerutu Kuba, hingga kini masih mendunia. Akhirnya, masyarakat Kuba menjadi masyarakat yang berhasil, walaupun miskin. Kuba tidak bubar karena merugi. Untung-rugi, Kuba tetap ada. Itulah identitas sebuah bangsa!

Definisi negara memang adalah sebuah kontrak sosial. Namun, kemudian, kontrak ini berkembang menjadi identitas. Disini, menurut saya, ada perbedaan antara tahun 1950-an dengan sekarang.

Dulu, negara benar-benar merupakan kontrak sosial. Sebagai ekses dari Perang Dunia II, di tahun 1940-an, banyak negara jajahan di Asia memperoleh kemerdekaannya, baik dengan tangan sendiri maupun diberikan oleh penjajahnya. Lahirlah Malaysia, Indonesia, Singapura, Burma, dan banyak lagi. Ketika Indonesia akan disatukan pun, muncul keberatan dari Indonesia Timur yang ingin mendirikan negara sendiri. Sampai kemudian dicapai kompromi, disertai sikap kenegarawanan yang luar biasa dari para pemimpin saat itu, yang membuat Indonesia menjadi Indonesia seperti sekarang. Usaha untuk menyatukan Timtim, misalnya, gagal, karena rakyat Timtim tidak menyetujui kontrak sosial tersebut. Jadi, pada waktu itu, negara dibuat berdasarkan ’persetujuan’ - persamaan tujuan, untuk merdeka bersama. Lalu, apa yang terjadi setelah itu?

Mulailah terjadi proses pencarian jatiditi yang panjang. Saya pernah melihat sebuah pameran foto yang sangat mengesankan. Pameran foto ini adalah karya seorang fotografer Belanda yang berkeliling Nusantara untuk mengabadikan detik-detik Indonesia merdeka, lewat denyut masyarakatnya. Saya terharu, sangat terharu menyaksikan foto-foto itu. Foto Bung Karno yang sedang berpidato, dengan mulut terbuka berteriak lantang, tangan menunjuk, dan belasan mikrofon di depan wajahnya, meneriakkan kemerdekaan Indonesia. Seorang anak SD, dengan bangga, menenteng peta ‚Indonesia’, berjalan bertelanjang kaki namun dengan senyum bahagia. Ketika Bung Karno dan Bung Hatta naik kereta ke Jogya, ribuan rakyat menanti di perjalanan, mengangkat tangan mereka. Mereka tidak kaya - banyak yang datang bertelanjang kaki, bajunya lusuh, badannya kurus kering. Namun, di wajah mereka, tersungging senyum yang lebar dan wajah yang sumringah. Wajah seorang merdeka! Wajah bangsa yang merdeka.

Kalau dipikir, rasa-rasanya bangsa Indonesia di tahun 1950-an lebih bahagia daripada sekarang. Mengapa? Padahal, keadaan ekonomi kita sangat morat-marit saat itu. Inflasi mencapai ratusan persen. Kita tidak punya apa-apa, tidak ada mall, tidak ada jalan tol. Bahkan gedung bertingkat pun jarang, apalagi teknologi. Harga-harga tidak stabil, produksi tersendat-sendat. Namun, nampaknya, setiap foto orang Indonesia saat itu selalu penuh senyum, penuh bangga, padahal miskin. Saya punya cover depan majalah National Geographic edisi khusus HUT RI tahun 2008 yang saya simpan. Judul artikel itu adalah ’Sang Raksasa Muda’, catatan seorang jurnalis AS mengenai Indonesia tahun 1950-an. Disana, nampak sosok Bung Karno, dengan kopiah dan pakaian dinas, berdiri di depan meja kerjanya di ruang dinas kepresidenan. Ruang dinas itu nampak menyedihkan - kosong, tanpa komputer, telepon canggih, atau sekadar kalkulator. Yang ada ada meja yang bersih, setumpuk dokumen yang rapi, dan lukisan Soedjojono ’Pahlawan Kemerdekaan’ tergantung di dinding. Namun, senyum Bung Karno mengungkapkan rasa percaya diri yang luar biasa, sehingga kesederhanaan itu menjadi kebahagiaan tersendiri. Juga kalau kita melihat wajah rakyat yang mendengarkan pidato Bung Karno - tidak satupun yang terlihat sedih.

Mengapa?

Karena, walaupun miskin, pada saat itulah bangsa Indonesia punya jatiditi. Seperti dituturkan Pramoedya Ananta Toer, Bung Karno paham betul, bahwa Indonesia sebagai bangsa belum punya identitas pada masa itu. Yang ada, hanyalah ’kontrak sosial wilayah bekas jajahan Belanda’, Untuk itu, Bung Karno adalah yang pertama dan satu-satunya presiden yang berkonsentrasi penuh pada ’Nation and Character Building’ - pembangunan karakter dan bangsa Indonesia. Ia paham betul, bahwa bangsa ini perlu sati identitas, perlu satu nilai, yang dipegang dan dijunjung tinggi bersama. Lahirlah Pancasila, konsep kebangsaan, dan proyek-proyek mercusuar seperti Monas dan Senayan. Melalui pidato-pidatonya, Bung Karno berulang kali menekankan prinsip kebangsaan dan kebanggaan sebagai bangsa. Sehingga, Indonesia berubah dari sekedar kontrak sosial menjadi sebuah bangsa yang sesungguhnya - bangsa dengan indentitas, kebanggaan, dan nasionalisme sendiri.

Itulah juga sebabnya, di masa Orde Baru sampai sekarang, yang terjadi adalah kebalikannya. Kita kaya - sudah tidak miskin lagi (fakta bahwa Anda mengernyitkan dahi ketika saya bilang bahwa kita kaya, ikut mendukung argumen saya). Ekonomi sudah berkembang. Kita sudah punya jalan tol, sudah punya mall. Inflasi terkendali, krisis moneter maha dahsyat sudah terlewati, bahkan pertumbuhan ekonomi kita tercatat positif di waktu krisis. Standar kehidupan meningkat - kalau ortu saya dulu bisa makan di restoran sebulan sekali, saya, kini, bisa setiap hari ke MacD atau KFC. Tapi, apa yang terjadi? Bangsa ini semakin menjadi sedih, muram, terpuruk. Doa syafaat di gereja, dari tahun 1998 sampai sekarang, masih bertemakan ’Tuhan, selamatkan kami dari keterpurukan kami’. Terpuruk terus, tidak bangun-bangun lagi. Padahal rupiah stabil. IHSG mencapai 2.100. Mengapa kita terpuruk terus?

Mengapa?

Karena, kita melupakan Nation and Character Building. Dulu, dibawah Bung Karno, kita miskin, tetapi bangga. Sekarang, kita kaya, tetapi rendah diri. Ada faktor lain dalam sebuah negara selain kemakmuran, selain ekonomi. Ada faktor lain yang membuat sebuah negara bertahan, walaupun miskin sekalipun. Faktor itu adalah identitas. Sekarang, negara ada sebuah identitas. Manusia tanpa identitas, di dunia moderen ini, adalah mati. Banyaknya jutawan yang bunuh diri ketika krisis menunjukkan bahwa bukan uang yang mereka khawatirkan - melainkan kehilangan identitas dan reputasi. Ini lebih mengerikan sampai-sampai mereka rela bunuh diri meskipun masih kaya raya. Sampai sekarang, semua presiden selalu berfokus pada ekonomi, perkembangan, kesejahteraan. Padahal, ada satu aspek yang sangat perlu diperhatikan: nation and character building!

Dengan demikian, ide membongkar negara ini dan menjualnya kepada asing saya tolak mentah-mentah. Karena, negara bukan ada hanya karena kontrak sosial. Negara adalah identitas kita. Dan identitas ini harus kita pertahankan, kita perjuangkan, kalau perlu sampai mati. Negara yang ’menjual’ identitasnya - dan mau dipecah sampai jadi remah-remah - sampai sekarang tidak pernah bangkit lagi, misalnya negara-negara Balkan. Karena, mereka salah menilai komoditas mereka yang paling berharga - identitas, yang diberikan oleh pemimpin besar Joseph Broz Tito. Demikian pula masalah identitas yang akan menjadi pelik di Iraq, karena tanpa Saddam, orang Iraq kehilangan identitasnya. Indonesia punya identitas. Kita masih punya satu identitas yang sama, satu bahasa yang sama. Satu keyakinan bahwa semua orang sama di mata hukum dan pemerintahan, bahwa semua orang berhak dihargai sebagaimana mestinya, tanpa membedakan unsur suku, agama, ras, dan antar-golongan. Satu paham, Pancasila, yang mencakup identitas ideologi Indonesia. Identitas inilah alasan mengapa Indonesia harus dan akan tetap ada. Identitas inilah yang membuat kita bertahan dari gempuran komunis maupun desakan sayap kanan. Identitas ini, yang dibangun oleh Bung Karno, yang diwariskan kepada kita, dan yang wajib kita pertahankan sampai mati.

Jakarta, 16 Juni 2009
Harry Nazarudin

No comments:

Post a Comment