Tuesday, August 4, 2009

Ulasan Buku “Saya Terbakar Amarah Sendirian”

Wawancara Andre Vltchek dan Rossie Indira dengan Prmaoedya Ananta Toer

« Setelah dihujani dengan budaya yang seperti ini selama berpuluh tahun, negeri ini hanya tahu dan kenal satu saja : hiburan, terutama perjuangan ke arah tempat tidur dan peternakan diri….
Jadi dua pilar yang dibangun pasca tahun 1965 adalah hiburan dan penindasan »
Bab V, Budaya dan Jawanisme, halaman 65.

« Jangan banyak bicara, harus langsung bertindak ! Obatnya hanya revolusi, tidak ada yang lain. »
Bab XI, Revolusi: Masa Depan Indonesia?, halaman 121.

Wawancara dengan Pramoedya Ananta Toer, yang sering disebut di buku ini sebagai penulis terbesar di Indonesia dan bahkan Asia Tenggara, membuat hati saya seperti teriris sembilu. Bukan karena kesedihannya, penderitaannya, maupun perjuangannya, tetapi karena pandangannya terhadap Indonesia sekarang ini. Pandangan yang begitu miris, tetapi benar.

Pram menghabiskan sebagian besar hidupnya di penjara. Beliau ditangkap tanggal 13 Oktober 1965, dan baru bisa bebas tahun 1992, itupun setelah menolak wajib lapor. Ketika ia masuk penjara, Indonesia sudah ditepi jurang untuk jatuh ke dalam lembah kekelaman Orde Baru, namun sisa-sisa idealisme perjuangan, nilai-nilai Indonesia merdeka, serta program ‘Nation and Character Building’ dari Soekarno masih ada. Sesudah itu, bersamaan dengan hari-hari kelam Pram di penjara, Indonesia mengalami pula metamorfosis kelam yang terbalik - dari kupu-kupu menjadi ulat.

Di penjara, Pram disiksa. Bukan secara fisik, dengan kekerasan, atau dengan metode penyiksaan a la Guantanamo. Pram lebih kuat dari itu - dan penguasa waktu itu juga sadar, bahwa Pram harus dipatahkan dengan cara yang lebih keji lagi. Pram adalah penulis yang cinta menulis dan hidup untuk menulis. Pram melawan dengan menulis, jiwanya adalah seorang penulis. Apa yang bisa mematikan hidupnya ? Ambil pena dan kertas darinya, maka Pram pun akan mati pelan-pelan ! Begitu kira-kira. Jadi, hukuman Pram nampak sederhana saja : dilarang menggunakan pena atau pensil sekalipun, dan tidak boleh memegang atau melihat kertas selembarpun. Di jaman sekarang ini, dimana rakyat membayangkan ‘penyiksaan’ adalah tamparan di muka seorang putri yang terpaksa menjadi pembantu dalam sinetron kita, hukuman ini nampak tidak masuk akal.

Bagi seorang penulis sungguhan seperti Pram, hukuman ini lebih berat dari hukuman mati, seperti menghukum hidup seorang terdakwa pembom bunuh diri. Iapun nyaris runtuh, namun tetap melawan. Di dalam penjara, ia justru menuliskan salah satu karya terbaiknya, yakni terkenal dengan ‘Tetralogi Buru’. Bagaimana caranya ? Pram mendiktekan cerita karangannya pada rekan sepenjaranya, yang kemudian menuliskannya. Dengan konsisten, Pram menjalin cerita, mengatur plot demi plot, menarik benang merah, dan mempertahankan sifat karakter cerita, hanya berdasarkan pikirannya saja, tanpa bisa mengoreksi, atau meninjau kembali apa yang sudah ditulis. Dan, Pram menulis tentang Indonesia : padahal, ia kini menderita, karena Indonesia. Luar biasa ! Sebuah bukti keteguhan hati, kebulatan tekad, dan perjuangan gigih yang tiada taranya.

Pram pun akhirnya keluar dari penjara, dan Indonesia mengalami satu lagi masa baru, yang dikenal dengan masa reformasi. Ketika Pram menghirup udara bebas di Indonesia, apa yang ditemukannya ? Negara ini dalam keadaan busuk ! Katanya tegas. Tidak seperti kebanyakan orang yang latah melafalkan ‘Indonesia sedang terpuruk’ atau ‘bangsa ini dalam proses pembusukan’, Pram bisa mendefinisikan dengan tepat : mengapa Indonesia busuk dan apa obatnya. Saya selalu tidak suka dan akan menentang habis jika mendengar seorang latah melagukan terpuruknya Indonesia seletah krisis moneter (yang sudah 10 tahun berlalu!). Tapi, terhadap Pram, saya kehabisan kata-kata.

Mengapa Indonesia terpuruk ? Yang pertama, karena Indonesia sebenarnya adalah sebuah bangsa yang baru, yang tidak memiliki budaya, karakter, dan prinsip kebangsaan sendiri. Satu-satunya daya pengikat Indonesia adalah sama-sama pernah dijajah Belanda - sebuah ironi dalam kehidupan kebangsaan kita. Bagaimana dengan budaya Indonesia yang kaya dari Sabang sampai Merauke, dengan batik, songket, dan tenun, dengan tari piring dan tari pendet ? « Apa yang kita kenal sebagai budaya Indonesia adalah budaya lokal dan daerah saja ! » kata Pram (hal. 47). Budaya Indonesia yang sebenarnya justru belum lahir dan harus dicari ! Itulah sebabnya Soekarno, pendiri negara Indonesia, sangat mengedepankan ‘nation and character building’ dalam pidato-pidatonya. Beliau sadar, bahwa beragam budaya daerah ini harus diejawantahkan menjadi sebuah budaya Indonesia yang merasuk kedalam jiwa setiap insan bangsa dalam bentuk etos kerja, semangat kebersamaan, kekeluargaan, dan persatuan. Nah! Kalau selama ini kita selalu berpijak pada pengertian yang salah tentang ‘budaya Indonesia yang kaya’, bagaimana kini kita tidak terpuruk?

Yang kedua, adalah sebuah konsep yang sangat menarik yang ditunjuk secara keji oleh Pram: prinsip Orde Baru. Indonesia memang sial: belum selesai proses ‘nation and character building’ dari Soekarno, kita kebagian Orde Baru, yang dengan cakap mengerdilkan nilai-nilai bangsa menjadi dua: penindasan dan hiburan. Jadi, kebebasan pers, kemerdekaan pribadi, prinsip kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, diganti dengan penindasan. Budaya yang menjunjung tinggi kebebasan individu, seni yang bebas menyuarakan paraunya kehidupan di luar sana, dibungkam dan didegradasi menjadi tontonan hiburan - yang arahnya ditebak dengan jitu oleh Pram - hanya ke arah tempat tidur dan peternakan diri (‘beternak diri’ yang dimaksud adalah berbuat yang aman saja, yang nyaman saja, seperti hewan ternak). Dan ini terjadi terus-menerus sampai-sampai lahir sebuah generasi baru yang hanya mengerti penindasan dan hiburan - generasi muda masa kini, termasuk saya.

Apa ciri-cirinya? Lihatlah televisi kita: penuh dengan sinetron-sinetron yang menjijikkan, munafik, dan memuakkan. Plot yang murahan, karakter yang cetek, konflik yang dangkal. Betapa satu persatu pertunjukkan memuakkan ini menyesakkan televisi kita di sore hari, membius kehidupan puluhan juta warga Indonesia dengan ide-ide palsu. Tapi, coba lihat rating pemirsa dari sinetron ini! Betapapun dihujat dan disetujui kebusukannya, namun tetap saja sinetron ini yang paling banyak ditonton. Mengapa? Bukan salah televisinya atau pemerintahnya - salahkanlah generasi muda hasil peternakan diri, yang tidak tertari dengan berita, dengan ilmu pengetahuan, namun maunya dibius oleh segala sesuatu yang centang perenang - tokoh yang jahat jahat sekali, yang baik luar biasa baik. Tokoh picisan, yang tidak mengajarkan tentang kehidupan! Saya tidak mengerti, mengapa begitu banyak orang terbius dengan acara-acara seperti ini dan tidak menghiraukan berita atau siaran yang lebih bermutu. Ternyata, inilah hasil dari generasi yang mengerti budaya sebagai hiburan!

Lalu apa hasil penindasan? Pram punya cerita ketika ia pertama kali ‘diamankan’ oleh aparat. Yang pertama dialaminya adalah sekelompok orang, yang menutupi mukanya dengan sarung, melempari rumahnya dengan batu. Begitu kerasnya, sampai-sampai kaca jendela dan pintu depan rumahnya ambruk. Tapi, setiap kali Pram keluar, kelompok ini pun lari menghilang. Begitu Pram masuk lagi, mereka datang kembali, dan seterusnya. Pram pun mempertanyakan: mengapa mereka lari? Apakah mereka - yang berjumlah banyak dan membawa batu - takut kepada seorang Pram yang kurus kering dan terbatuk-batuk karena terlalu banyak merokok?

Inilah produk penindasan: kepengecutan! Jaman dulu, sudah lazim seorang anak laki-laki berkelahi di sekolah. Caranya adalah satu lawan satu, dan sesudah keluar pemenangnya, mereka pun saling bersalaman. Sekarang? Tawuran! Puluhan lawan puluhan, kalau perlu belasan mengeroyok satu orang. Tidak ada SATU orang yang berani maju - orang Indonesia hanya berani kalau beramai-ramai! Jumlah seolah menjadi pembenaran tindakan, padahal hanya menyembunyikan kepengecutan. Inilah sebabnya Indonesia kekurangan pemimpin, selalu terhuyung-huyung sendirian, dan sampai sekarang tidak memiliki seorang Soekarno baru. Karena, sudah menjadi budaya bahwa beraninya Indonesia selalu beramai-ramai! Keroyokan! Dan tidak ada satupun orang yang mau mati konyol menjadi pahlawan! Persis sinetron, bukan?

Satu-satunya aset budaya yang dimiliki Indonesia, yakni bahasa Indonesia - kinipun sedang mengalami degradasi yang luar biasa. Kalangan elit bangsa ini justru merasa lebih pintar, lebih keren, lebih intelek, ketika menyelipkan kata-kata berbahasa Inggris ke dalam pembicaraannya. Bahkan untuk sebuah institusi pendidikan, yang begitu penting menentukan arah bangsa kita di masa depan melalui mencetakan generasi baru, tidak memiliki (atau menggunakan) istilah bahasa Indonesia: lihatlah ‘International School’ atau ‘Global Standard School’ yang kini menjamur seperti cendawan selepas hujan. Kalau bahasa menunjukkan bangsa, bagaimana bangsa ini akan maju kalau bahasanya sendiri tidak keren, tidak canggih, dan kurang intelek? Mengapa kita terlena dan terbujuk dalam arus deras yang bercap-cip-cup dalam bahasa Inggris, yang kadang-kadang secara Inggris sendiri tidak benar?

Lalu apa obatnya? Satu kata - REVOLUSI - dijawab dengan gamblang oleh Pram. Bukan reformasi, bukan rekonsiliasi, bukan regenerasi, tapi REVOLUSI. Apa itu revolusi? Bukan cuma gerakan, tetapi sebuah gebrakan! Gebrakan yang mendobrak sendi-sendi rapuh, mencerabut akar-akar busuk, dan menghancurkan fondasi busuk. Revolusi adalah Che Guevara yang bergerilya puluhan tahun di hutan-hutan. Revolusi adalah Mao yang membakar seluruh jejak Cina kuno dalam Revolusi Kebudayaan. Revolusi adalah mengobrak-abrik sistem penjajahan Belanda dan Raja-raja lokal dan menggantinya dengan kemerdekaan. Revolusi itu makan korban, butuh pengorbanan, dan rela berkorban. Siapa yang memimpin ini? Generasi muda tentu saja. Satu-dua orang, yang tidak terpengaruh oleh pembodohan dan pendegilan selama bertahun-tahun. Generasi muda yang tegar dan siap menghadapi trik-trik kotor penguasa yang ingin bertahan. Generasi muda, yang rela berkorban, berjuang demi Indonesia! Generasi muda, seperti Anda dan saya.

Revolusi!

Jakarta, 29 Oktober 2008

No comments:

Post a Comment