Tuesday, August 4, 2009

Indonesia Harus Berani Menjadi Sempurna

“I come from the country where it is OK to be mediocre. Infact, pursuing perfection is seen as something unusual”
Agnes Monica, dalam wawancara dengan Channel News Asia mengenai usahanya mencapai kesempurnaan dalam industri musik.

Pertama-tama, saya terkejut melihat Agnes Monica di televisi asing. Selain Agnes, mungkin hanya Anggun, orang Indonesia yang namanya bisa berkibar di dunia musik internasional. Namun, yang membuat saya lebih terkesan adalah komentar Agnes tentang Indonesia, negara asalnya. Ia menjelaskan bahwa ia ingin mencapai kesempurnaan dalam industri musik, baik dari kualitas suara, kualitas video klip, maupun manajemennya. Namun, usahanya ini harus dilakukan dengan ekstra keras, karena menjadi sempurna bukanlah prioritas bagi kebanyakan orang Indonesia. Dan, ketika saya renungkan, Agnes benar.

Saya tersenyum sendiri mengingat komentar rekan saya ketika menyaksikan sebuah acara di Discovery Channel tentang sulitnya melakukan pengeboran minyak di lepas pantai sebuah negara Skandinavia. Betapa rig-nya harus dibuat di pelabuhan yang jaraknya jauh, lalu ditarik dengan kapal laut berkelok-kelok melewati lekukan fjord, melawan badai dan ombak, sampai mencapai tujuan. “Wah, kalau di Indonesia, kalau ditanya apakah minyak di pantai bisa diambil, jawabnya pasti: susah Pak! Cari tempat lain saja!” begitu kata teman saya sambil terkekeh. Begitu pula dengan proyek-proyek raksasa seperti kereta bawah tanah, membuat pesawat A-380, dan lain-lain. Semuanya dianggap sebagai proyek ‘gila’, yang tidak mungkin dilakukan di Indonesia. Padahal, justru Indonesia-lah yang menjadi pelopor proyek ‘gila’ tersebut.

Waktu negara-negara Asia masih baru saja lepas dari belenggu penjajahan, sebuah eforia melanda kawasan ini. Negara-negara seperti India, Burma, Malaysia, Singapura, Taiwan, bahkan Cina, yang sudah merasakan pahit getir penjajahan, kini menjadi merdeka. Bangsa yang dididik kerdil sejak lahir - selalu diajarkan bahwa mereka - kita - berada sederajat lebih rendah dari sang penjajah, sederajat lebih bodoh, dan sederajat lebih kotor, mendadak merdeka. Dan Soekarno, Bapak Bangsa Indonesia, berada di barisan paling depan. Beliau menyadari betul apa yang dibutuhkan oleh bangsa-bangsa ini: kesetaraan. Bangsa-bangsa ini harus mendobrak batasan-batasan feodal yang diturunkan penjajah, dan membentuk sebuah identitas baru.

Maka, mulailah Indonesia menjadi pelopor. Dengan usaha sendiri - walaupun terseok-seok - tentara Indonesia berhasil merebut Irian Barat dari Belanda. Kemudian dibangunlah proyek-proyek mercusuar seperti Monas, Jembatan Semanggi, dan Air Mancur Bundaran HI. Mengapa disebut mercusuar? Karena Soekarno melihat Indonesia sebagai mercusuar - sebuah menara tinggi yang memancarkan cahaya, memandu kapal-kapal lainnya agar tidak tersesat dalam kegelapan! Bukan saja bangunan, tetapi juga program-program serupa, seperti Konferensi Asia Afrika, Ganefo, dan lain-lain!

Kalau kita berbicara dengan orang-orang yang hidup di era 1950-an, mereka akan masih ingat, bagaimana imaji dunia internasional terhadap Indonesia pada waktu itu. “Indonesia” kata seorang rekan asal Taiwan, “Dulu jadi pusat perhatian. Jakarta dulu jadi simbol kemajuan Asia!” katanya bersemangat. Ya - kita pernah bisa seperti itu. Monas dan Semanggi dibangun jauh sebelum Shanghai, Seoul, atau Bangkok mulai membangun proyek-proyek seperti itu. Jadi, kita bisa! Bukan hanya Monas, tapi mahakarya bangsa kita seperti Borobudur dan Prambanan - yang tidak kalah dengan Angkot Wat atau Great Wall, menjadi saksi bahwa sebenarnya Indonesia bisa.

Lalu, apa masalahnya? Mengapa kita sekarang kelihatannya sulit untuk maju? Bahkan untuk mempertahankan satu-satunya mahkota kita, kejayaan di olahraga bulutangkis - itu saja begitu sulit. Ya - karena bangsa ini lupa, bagaimana menjadi sempurna!

Dalam masyarakat kita sekarang ini, ada rasa pesimisme yang begitu besarnya. Rasa pesimisme ini begitu besarnya, sampai-sampai menjadi penghalang utama kemajuan bangsa kita. Bahkan hutang IMF yang dulu rasanya menggunung itu, kini telah lunas. Tapi, rasa pesimisme sebagai akibat dari eforia reformasi, masih belum sirna juga. Rasa inilah yang membuat kita menjadi bangsa gampangan - maunya yang gampang-gampang saja. Susah sedikit saja, maka proyek-proyek ini menjadi terbengkalai karena dicap sebagai ‚terlalu susah’. Lihat saja proyek jalan tol - dimana-mana nampak palang-palang beton yang berkarat tak terurus, sebagai simbol kemandekan kita. Padahal, di negara-negara seperti Cina, jalanan dibuat dalam hitungan hari saja. Di Indonesia, sudah bertahun-tahun, rugi pula!

Kita sudah lupa bagaimana caranya menjadi sempurna. Toleransi kita begitu besarnya, sampai-sampai orang yang masih berjuang menjadi sempurna sering dianggap ‘gila’. Bagaimana masyarakat umum menilai Ugo Untoro, Garin Nugroho, atau Ayu Utami? Dibandingkan dengan sinetron asal jadi, atau bintang film asal cantik? Bahkan ketika sebuah bank ingin mengedepankan bulutangkis, bukan atlit sungguhan, melainkan bintang sinetron yang jadi simbolnya! Nah, itulah sebabnya. Kita menjadi cepat puas, dan lupa mengejar kesempurnaan. Padahal, strive for perfection - atau kesungguhan mengejar kesempurnaan, adalah kunci kesuksesan sebuah bangsa - bahkan sekecil Singapura sekalipun.

Usaha ini tidak mudah, karena masyarakat sudah terlanjur diserbu oleh semua yang serba instan. Namun, masih belum terlambat! Media harus mengedepankan kisah-kisah orang yang mengejar kesempurnaan sebagai teladan - dari peraih Kalpataru, sampai juara Olimpiade Matematika. Mereka harus menghiasi halaman depan, bukan di paling belakang atau terselip di pojok kecil. Film, mengundang peranan besar. Buktinya, film Laskar Pelangi - yang mengisahkan tentang mengejar kesempurnaan - bisa laku keras! Namun, masih terlalu sedikit genre film seperti itu. Bangsa Amerika adalah contoh bagaimana industri film bisa memupuk nasionalisme dan kebanggaan sebagai bangsa Amerika. Perlu kerja sama antara pemerintah dan masyarakat seni, namun hal ini bisa dicapai. Kalau Anda berpikir usaha ini mustahil, mungkin Anda juga dirasuki pikiran ‚asal gampang’. Mari kita raih kesempurnaan dalam mengajar masyarakat tentang arti mengejar kesempurnaan!

Kunshan, 3 Agustus 2009

No comments:

Post a Comment