Tuesday, August 4, 2009

Indonesia, Tanah Air Beta!

Ketika diberi tahu mengenai kemungkinan keharusan untuk pindah keluar negri, saya terhenyak. Akhirnya, yang diduga-duga, datang juga. Yang selama ini didiamkan saja, dianggap bisa, kini mencuat dan muncul mengancam: bahwa kepindahan keluar negri, negri yang sedang berkembang pesat, negri yang konon bersih, rapi, dan sangai piawai berbisnis. Lalu apa masalahnya? Mengapa saya kok malah ragu-ragu?

Kadang-kadang saya tidak mengerti, mengapa saya begitu cinta pada negri ini. Setiap kali keluar negri, saya selalu berhasil menemukan hal-hal yang saya rindukan dari Tanah Air, hal yang kadang-kadang tidak diduga sama sekali. Contohnya, ketika tinggal di Eropa selama setahun, saya malah stress. Mengapa? Karena, di Eropa, semuanya begitu rapi, teratur, dan tertib. Lho, bagus bukan? Betul, dalam bulan pertama. Tapi, setelah berjalan dua-tiga bulan, saya stress juga: rumah bentuknya sama semua, jalanan bentuknya sama semua, bangunan bentuknya sama semua. Tidak ada ukir-ukiran pintu a la Jepara, atau bangunan berwarna hijau mencolok seperti yang berdiri di sebelah kanan jalan Tol Jagorawi sekitar Sentul, atau rumah-rumah panggung yang tinggi seperti di Bangka. Yang ada hanya rumah kotak-kotak, dengan jendela kotak berteras bunga - itu saja. Warnanya muda semua, dari kuning sampai merah. Tiba-tiba, keteraturan ini, membuat saya bosan bukan main! Saya pun lari ke hutan. Di hutan, pasti banyak tanaman, banyak binatang yang bermacam-macam. Di hutan, pasti ada keragaman! Tapi, setelah mendaki puncak gunung, saya kecewa. Hutannya pun isinya cuma pohon pinus, pinus, dan pinus! Jenisnya pun sama. Tidak ada pakis, tidak ada ilalang, bahkan semanggi pun tidak ada. Waduh, kok begini ya?

Tanpa terasa, menjadi orang Indonesia adalah menjadi biasa akan keragaman. Biasa melihat beragam rumah dengan desain berbeda: ada yang gaya Sunda, Jawa, Bugis, atau Batak. Trotoar pun berlainan: ada yang tegelnya coklat muda, ada yang berpetak-petak abu-abu, ada juga yang dari batu bulat. Lihat, tegel yang masih bagus dibongkar, sementara jalan yang belum ada trotoarnya dibiarlah berlumpur! Kalau ditanya, jawabannya: kan ada lagunya? Itulah Indonesia.... (mengikuti lagu Indonesia Tanah Airku). Herannya, adalah keberagaman ini, kekacauan ini, keamburadulan ini, yang justru saya kangeni ketika beraad di luar negri?

Teman saya ada yang berkata, bahwa saya adalah satu-satunya orang yang betah di Indonesia, padahal sering keluar negri. Yang lainnya, kata teman saya itu, selalu mengomel ketika pulang ke Indonesia, melihat betapa kacau dan ngerinya negara ini. Sayalah satu-satunya yang selalu merasa bersyukur ketika pesawat saya mendarat di Jakarta, ketika saya menapaki tegel batu bata merah yang sudah kusam, dengan langit-langit yang sudah menghitam karena usia. Sayalah yang selalu bernapas lega, ketika mencium aroma tembakau kretek di udara, ketika menghirup hawa penuh polusi di teras bandara. Tawaran taksi dari orang-orang berpakaian serampangan dan bertampang seram, buat saya seolah-olah bagai nyanyian merdu penyambutan warga yang baru pulang. Otot-otot saya terasa santai, kulit saya seolah bernapas lega, disergap hawa lembab nan hangat dari sore yang panas di Jakarta.

Ketika saya di Eropa, saya pernah ditanya oleh rekan saya. Mereka sangat terkesan dengan sikap saya yang mau membaur, yang mau ikut di setiap kegiatan mereka. Mereka mengeluh, ada kaum imigran yang bertahun-tahun tinggal di tanah mereka, tapi bahasa mereka pun tidak pernah disentuhnya, katanya. Mereka terkesan, bahwa saya bisa beradaptasi dengan mereka. Mereka lalu mengamati, bahwa walaupun mereka tahu bahwa negara asal saya banyak diberitakan sebagai negara brengsek pendukung terorisme, penuh dengan bencana alam dan gempa bumi, tetapi saya selalu nampak gembira ketika pulang, dengan tas penuh oleh-oleh. Bahkan warga negara yang lebih makmur saya terlihat sedih ketika pulang dari Eropa, kata mereka. Lalu mengapa saya kok tidak betah di negeri mereka yang aman tentram? Saya kemudian juga berpikir, iya, mengapa begitu ya? Mengapa saya begitu mencintai negeri asal saya, padahal negeri ini punya sejarah diskriminasi terhadap kaum saya?

Kemudian saya memperoleh jawabannya. Saya bilang, bahwa kalau saya pindah ke Eropa, maka saya akan frustrasi. Mengapa? Karena: mau apa saya di Eropa? Semuanya sudah ada, sudah maju, sudah bagus. Ekonomi kuat, teknologi maju, peraturan jalan, tata tertib lancar. Lalu, saya mau apa? Apa yang bisa saya sumbangkan untuk Eropa? Tidak ada. Saya akan duduk diam, menikmati sistem sosial yang nyaman, sampai tua dan mati karena bosan. Sementara di negeri saya? Banyak yang masih semrawut, banyak yang masih bisa dibenahi! Bahkan kalau saya sibuk bekerja untuk membangun negara saya pun, seumur hidup saya nampaknya tidak akan cukup. Saya akan mati sebagai seorang pekerja yang sibuk, yang sudah berbuat banyak, yang hanya bisa mewariskan pekerjaan pada generasi yang akan datang. Saya akan berguna, dan itulah mengapa saya kerasan! Saya juga akan membuat dunia semakin adil, karena bukankah tidak adil, bahwa di dunia global ini, yang kaya semakin kaya? Negara kaya bisa mengundang semua orang pintar di dunia untuk menjadi warganya, sehingga negaranya dari kaya menjadi semakin kaya? Sementara negara yang miskin, akan semakin miskin? Nah, biarlah saya menjadi penyeimbang. Biarkah saya tinggal di negara saya yang miskin ini, karena saya dikaruniai akal budi yang cerdas oleh Tuhan. Biarlah saya pertanggung jawabkan ilmu yang saya pelajari untuk Tanah Air saya.

Karena tawaran tadi, akhir-akhir ini saya banyak merenung. Apa sih yang membuat saya bahagia? Dimana saya merasa bahagia? Apakah di Eropa, negeri serba makmur dan teratur? Apakah di Asia Timur, yang penuh kesempatan dan sedang giat membangun? Apakah ketika saya berjalan-jalan di Magnificent Mile di Chicago, ataukah ketika saya sedang memandang ke arah Sungai Yanpu di atas menara TV Shanghai? Ataukah ketika saya sedang berdiri di tengah padang pasir di Tamil Nadu, India? Atau ketika saya sedang memandang warna ganggang kemerahan di tepi laut dalam perjalanan dari Incheon ke Seoul? Kalau bukan itu semua, lalu kapan terakhir kali saya merasa tenang, bebas, gembira?

Terakhir kali? Hmm, pastinya ketika saya berdiri di sebuah buritan kapal nelayan. Akhir kencang menerpa kulit saya yang bernapas lega ditengah lembabnya hawa lautan. Matahari nampak mulai condong ke Barat. Entah hukum Fisika apa yang mengharuskannya, tiba-tiba langit menyala ungu kekuningan, ketika sinar matahari mulai terhalang oleh gunung yang nampak mencuat begitu saja dari permukaan laut. Sayapun mengambil kamera saya dan berusaha megambil fotonya - namun sia-sia, karena aturan fokus dan diafragma paling canggih sekalipun tidak akan bisa menangkap aura alam ini. Sayapun meletakkan kamera, duduk di buritan paling ujung, dan menikmati pemandangan yang luar biasa ini, sambil terangguk-angguk diguncang gelombang kecil. Cipratan air laut membasahi kulit saya, seolah sebagai penyegar setelah siang yang panas. Lagu ’Welcome To My Paradise’ terdengar di latar belakang. Disanalah, saya merasa gembira. Di selat antara Manado dengan Gunung Manado Tua. Di sebuah kapal yang membawa saya dari Labuhan Bajo ke Pulau Komodo. Diatas perahu nelayan yang mengarungi Pulau Menjangan di Kepulauan Karimunjawa. Diatas kapal, diantara pulau-pulau. Di Indonesia, tanah air beta!

Jakarta - Shanghai, 23 November 2008
Harry Nazarudin

No comments:

Post a Comment