Sunday, August 16, 2009

Terkenang Sungai Lasolo

Terkenang masa nan lalu
Berdua di taman bunga
Bersumpah setia bergurau bersama
Tapi sayang sekejap sahaja

Lagu itu mengalun sayup-sayup di pagi buta. Baru saja ia selesai sholat subuh ketika ia menyalakan radio transistor satu-satunya di rumah itu. Sebuah rumah yang sederhana, lebih tepat disebut bilik. Diluar sana masih gelap gulita, namun langit di ufuk timur sudah sedikit memerah, seolah meregang menggeliat menyiapkan diri untuk datangnya matahari pagi.

Ia mengenakan kaus putih yang digantung di kamarnya. Kaus yang sudah lusuh dan bau, karena sudah berhari-hari tidak dicuci. Ia semula duduk, ingin mengistirahatkan tubuhnya. Walaupun hari masih pagi, tubuhnya terasa sangat, sangat lelah. Ia merenung, membayangkan apa yang telah dilakukannya. Begitu banyak kematian, begitu banyak perjuangan dan darah yang tertumpah. Tiba-tiba, wajah-wajah yang dulu dikenalnya, yang kini sudah sirna jiwanya tertebas kelewang atau tertembus peluru, berkelebatan di hadapannya. Sejak semalam. Itulah sebabnya, tidurnya kurang nyenyak tadi malam.

Di luar sana, nyaris tidak ada angin. Hujan sudah mengguyurnya selama berhari-hari, menambah sulit perjalanan yang dilaluinya. Tahukah Anda, bahwa alam pun bisa senyap? Di musim hujan, biasanya ada jeda dimana tidak ada hujan, namun sebelumnya hujan lebat, dan sesudahnya akan hujan lebih lebat lagi. Pada saat itu, biasanya disebut jeda hujan, alam seolah diam. Binatang pun senyap, angin tewas. Semuanya seolah takzim, dalam persembunyiannya masing-masing, tidak berani keluar sarang. Menunggu. Menunggu hantaman hujan yang akan datang. Menunggu gelontoran ribuan kubik air dari langit yang akan menghajar mereka tanpa henti. Bernafas, bukan lega, tapi siaga. Sayup-sayup, hanya aliran Sungai Lasolo yang terdengar deras di kejauhan.

Terkenang masa nan lalu
Berdua di taman bunga
Bersumpah setia berjanji bersama
Tapi sayang sekejap tak lama

Cemas terasa seluruh tubuhku
Terlihat tanda dijari manismu
Tanda ikatan tak boleh ganggu
Gugur segala cita-cita

Tinggal la tinggal kekasih
Semoga engkau berbahagia

Ia terkejut mendengar sayup-sayup lagu itu. Badannya basah kuyup, setelah menyebrangi sungai Lasolo yang sedang meluap karena banjir. Di pagi buta seperti ini, dinginnya seperti menusuk tulang. Ransel yang dibawanya terasa semakin berat, apalagi sesudah tercelup air.

Ia mengibaskan kepalanya sambil mengerjap. Ia harus memastikan, bahwa alunan musik ini bukan mimpi! Alunan tersebut hilang, namun kemudian muncul kembali. Benar! Ini bukan mimpi! Di depan sana, hanya nampak alang-alang setinggi dahi manusia dewasa. Ia bergerak perlahan, langkah demi langkah dititinya diatas kubangan becek di tepi Sungai Lasolo. Sebuah tanah asing, jauh dari tanah asalnya.

Ia harus melangkah dengan hati-hati. Alam saat itu seolah sunyi senyap, jeda hujan. Nyaris tidak ada angin, dan semua binatang juga nampaknya bersembunyi di sarang mereka masing-masing. Berarti, akan datang hujan yang lebih deras lagi dari kemarin. Sementara ia melangkah, seekor ular nampak berkelebat, melarikan diri karena tempat persembunyiannya terinjak. Ia bergidik, kemudian melangkah lagi menuju datangnya alunan musik dari depan sana.

Terkenang masa nan lalu
Berdua di taman bunga
Bersumpah setia berjanji bersama
Tapi sayang sekejap tak lama

Cemas terasa seluruh tubuhku
Terlihat tanda dijari manismu
Tanda ikatan tak boleh ganggu
Gugur segala cita-cita

Selamat tinggal kekasih
Semoga engkau berbahagia

Ah, lagu itu. Lagu itu tiba-tiba menggetarkan emosinya, mengingatkannya pada masa lalu. Ketika segalanya masih indah. Ia terkenang masa kecilnya, ketika bermain di sebuah pelataran di kampungnya. Ayahnya yang keras, biasanya memanggilnya pulang untuk sholat maghrib. Iapun berlari menuju rumahnya. Dari jauh, nampak pintu rumah itu, seolah berpendar di tengah cahaya matahari yang mulai melemah. Darimanapun ia datang, petualangan apapun yang dialaminya seharian itu, semuanya berakhir di pintu itu, pintu kebahagiaan. Pintu tempat ia kemudian mengambil wudhu, lalu menceritakan petualangannya pada saudara dan orang tuanya. Seperti sarang yang hangat, dan siap menyambutnya setiap saat.

Dalam hatinya, mendadak ada rasa iri. Iri pada ular, yang kini berdiam aman di sarangnya. Iri pada burung-burung, yang kini sedang meringkuk dalam kehangatan sarangnya diatas pohon, satu keluarga beserta anak-anaknya. Iri pada tikus tanah, yang kini sedang berkerumun menghangatkan diri di dalam lubang sarangnya. Sementara ia, ia sendiri, tanpa sarang, apalagi rumah. Keluarganya tercerai-berai, hanya melalui surat ia bisa mengontak mereka. Itupun tak jelas kapan sampainya, atau apakah sampai, atau apakah ia masih bisa menerima balasannya. Atau, malah tidak dibalas sama sekali.

Mendadak ia merasa sesak. Sebuah batu berat seperti menimpa dadanya pagi itu. Ia berdiri, melangkah menuju pintu. Dalam hatinya, ia merenung dengan dalam. Kisah hidupnya seolah terpapar di dalam benaknya. Perjuangan demi perjuangan, perang demi perang. Kemenangan demi kemenangan, namun diakhiri dengan sebuah kekecewaan yang mendalam. Ia tersenyum sendiri. Ia pernah bersumpah, tidak akan kalah oleh senjata. Dan benar - dengan senjata, ia selalu menang. Justru dengan perkataan ia kalah. Justru dengan rantai komando, cita-citanya hancur. Lalu, untuk apa semuanya ini? Apakah semuanya sia-sia? Bagaimana dengan ribuan orang yang mati - apakah kematian mereka juga sia-sia?

Ia bergidik. Ia melangkah keluar, sekedar untuk menghirup udara segar. Alunan musik yang masih mengalun, membawa hatinya pergi melanglang buana ke suatu tempat yang jauh. Suatu tempat dimana ia masih punya sarang. Suatu tempat dimana ia diterima, ia dirawat, dan ia dihangatkan. Tiba-tiba dalam hatinya terbayang pintu itu. Pintu kecil itu, pintu rumah masa kecilnya dulu.

Tiba-tiba ia tersentak. Ia melihat seseorang mengendap di kejauhan. Gawat! Naluri tentaranya mendadak bangkit, seperti seekor harimau yang baru sadar, bahwa beberapa pemburu telah melacaknya. Ia segera berbalik, dan berlari ke arah tepian rumah. Dengan refleks, ia mengeluarkan granat tangan yang selalu disimpannya di dalam saku celananya. Granat tangan, yang disiapkannya untuk menghadapi keadaan darurat. Seperti ini.

Dor! Dor dor dor dor! Dor dor dor dor!

Serentetan tembakan terdengar di udara, disertai derap langkah tiga orang - dari arah berbeda - yang berlari ke arahnya. Lalu, semua gelap.

Terkenang masa nan lalu
Berdua di taman bunga
Bersumpah setia berjanji bersama
Tapi sayang sekejap tak lama

Ia memeriksa mayat itu dengan hati-hati. Sebuah granat tangan nampak dalam genggamannya yang kini sudah lepas. Baju putihnya bersimbah darah.

„Benar, ini orangnya?“ tanyanya.
„Benar! Kita berhasil. Ayo kita kontak Mako di Pakue!“ kata rekannya.

Alunan musik itu pun berhenti, seolah mengikuti gerak alam yang nampaknya semakin sunyi. Rintik-rintik hujan mulai terasa membasahi padang rumput di tempat mereka berdiri. Sebentar lagi, pasti akan turun hujan lebat.

Kunshan, 8 Agustus 2009

Catatan: Seperti dikisahkan Hendro Subroto, Kahar Muzakkar tewas ditembak oleh tim yang dipimpin Kopral Umar, setelah membuntuti Kahar selama berminggu-minggu. Kopral Umar memastikan bahwa yang disergap adalah Kahar Muzakkar, karena mendengar lagi ‘Terkenang Masa Nan Lalu’ dari radio transistor dalam rumahnya. Hanya Kahar Muzakkar yang boleh punya radio transistor di wilayah itu. Di tepi Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, Kahar Muzakkar tewas, mengakhiri pemberontakannya.

1 comment:

  1. JIKA ANDA BUTUH ANKA GHAIB HASIL RITUAL 2D.3D.4D. SGP & HK DI JAMIN 100% JEBOL JIKA BERMINAT SILAHKAN HUB KI AGEN RUSMAN DI NMOR (_0_8_2_3_3_4_2_2_2_6_7_6_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB then’z room’x sobat

    JIKA ANDA BUTUH ANKA GHAIB HASIL RITUAL 2D.3D.4D. SGP & HK DI JAMIN 100% JEBOL JIKA BERMINAT SILAHKAN HUB KI AGEN RUSMAN DI NMOR (_0_8_2_3_3_4_2_2_2_6_7_6_) JIKA INGIN MENGUBAH NASIB then’z room’x sobat

    ReplyDelete